WHEN WE COLLIDE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

!!! VOMMEN VOMMEN !!!!

Happy reading...

Sesampainya di rumah, Hermione segera membaringkan pria itu di kasurnya dan mulai menyelimutinya. Dia tidak berani jika harus menggantikan baju pria itu. Hermione mengambil kursi dan membawanya ke sisi kasur. Hermione duduk di sebelahnya sambil berkelana di dalam pikirannya. Siapa sebenarnya pria ini? Aku merasa sangat familiar dengan rambut pirang yang klimis itu. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat.

Sambil memandangi tubuh pria itu yang dibalut pakaian koyak, perhatiannya tersita pada kalung perak yang melingkari leher pria itu. Kalung yang indah. Pujinya dalam hati. Sepertinya aku akan menyimpan ini. Pasti akan sangat berguna suatu saat. Dengan pria ini yang juga aku manfaatkan, tentu saja.

Hermione menggerakkan tangannya untuk mengambil kalung itu dari leher sang pria pirang lalu menyimpannya di dalam kantong bajunya.

Beberapa saat kemudian, Hermione bisa merasakan pria itu mulai bergerak. Dia mulai sadar. Hermione terlalu gugup bahkan hanya untuk sekedar bertanya bagaimana keadaan pria itu.

"Akh." Erang pria itu sambil mengarahkan tangan pada dadanya yang berdenyut nyeri.

"Kau sudah sadar, syukurlah." Ucap Hermione pelan.

Melihat manusia dengan bulu di sekujur tubuhnya membuat drako bergidik ngeri. Dengan refleks dia langsung duduk dan berusaha mundur ke belakang hingga dia tertahan oleh dinding. "Siapa kau?"

Draco berpikir bertemu dengan serigala di tengah hutan sudah cukup buruk baginya. Tapi sepertinya itu bukan apa-apa dibanding dengan pemandangan yang ada di sebelahnya sekarang ini. Tempat di sebelahnya duduk manusia dengan bulu coklat sempurna yang menyelimuti seluruh tubuhnya dan juga mata hazel yang berkilau.

Hermione berdiri dan mencoba berjalan selangkah mendekati Draco. "Stop. Apa yang kau lakukan? Menjauh dariku!" Pria dengan rambut platina itu kini berdiri dan mencoba berjalan menjauh dari makhluk berbulu itu. Meski tubuhnya masih merasakan sakit yang tak tertahankan, Draco memilih untuk menjauh daripada dia harus mengambil resiko kehilangan anggota tubuhnya karena dilahap makhluk buas ini.

"Jangan paksakan dirimu, bodoh! Tubuhmu terluka." Omel Hermione.

"Oh ya? Dan apa pedulimu pada lukaku? Kalau akan menghilangkan rasa sakit itu dengan memasak daging untuk jadi makan malam mu?" Shit! Di mana tongkat?!. Draco terus mundur selangkah demi selangkah hingga tubuhnya ditahan oleh nafas berukuran sedang yang di atasnya terdapat beberapa barang. Tanpa pikir panjang lagi, Draco langsung melemparkan seluruh barang itu pada si monster.

"Hei, itu barang-barangku. Hentikan! Kubilang hentikan, bodoh!" Hermione berusaha melindungi dirinya dari benda-benda yang dilempar oleh Draco, hingga akhirnya sebuah mangkuk kayu kotor mengenai tepat di kepala Hermione. Dia benar-benar jengah karena sikap Draco dan kini dia dibanjiri emosi.

"HENTIKAN!" Suara Hermione meraung dan menggema di seluruh ruangan sehingga rasanya sampai memekakan gendang telinga Draco.

Hermione berjalan cepat kearah Draco dan menatap pria itu dengan mata yang tajam. "Kalau kau ingin pergi maka pergilah! Aku akan membiarkanmu pergi, tapi jangan harap tongkatmu akan ku kembalikan." Ancamnya.

Tentu saja. Kau brilian Hermione. Dia pasti bisa dimanfaatkan. Draco terdiam menatap monster itu dengan tatapan yang sama tajamnya.

Sialan kau monster! Aku akan buat kau menyesal melakukan ini!. Draco tidak tahu apa yang harus dikatakannya. sepertinya peluang hidupnya kali ini adalah dengan tinggal di sini sementara waktu sampai dia bisa mendapatkan kembali tongkatnya.

"Fine. Apa yang kau inginkan monster?"

"Bisakah kau sopan sedikit? Aku sudah menyelamatkan nyawamu." Hermione benar-benar dongkol melihat wajah pria itu. Kenapa dia merasa sangat tidak asing dengan wajah pucat yang angkuh itu?. "Aku akan mengembalikan tongkatmu dengan beberapa syarat tertentu."

Draco kini menautkan alisnya. "Jadi apa yang kau harapkan? Aku berterima kasih karena kau sudah menyelamatkanku, lalu kini aku harus menjadi kacung mu?"

"Anggap saja begitu, itu dinamakan simbiosis mutualisme. Setidaknya kau akan mendapatkan tongkatmu kembali, kan?"

Dasar monster licik. dia tahu aku tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa tongkatku. "Baiklah akan kulakukan. Sekarang kembalikan tongkatku."

"Sabar sebentar pirang, aku yakin tubuhmu perlu istirahat. kembalilah ke kasur jadi kita bisa mendiskusikan syarat agar tongkatmu bisa kembali." Hermione tersenyum licik. Draco hanya bisa mendengus kesal dan kembali ke kasur lusuh itu.

Sebenarnya Draco tidak bisa memungkiri kalau monster itu ada benarnya. Rasa sakit yang tadi sempat hilang karena pikirannya sempat teralih, kini terasa lagi bahkan lebih sakit dari sebelumnya. Dia merasa seperti sedang berperang dengan tubuhnya sendiri.

"Jadi, siapa namamu?" Tanya Hermione.

Draco mendelik. "Apa pentingnya aku menyebutkan namaku?" Kini wanita berbulu itu benar-benar merasa naik pitam karena makhluk pirang yang ada di hadapannya.

"Apa pertanyaanku sulit? Aku hanya ingin tahu namamu. Haruskah Aku memanggilmu setan pirang?" Ya, Hermione memang merasa itu adalah panggilan yang paling tepat untuk pria ini. Lihat saja penampilannya. Tubuh kurus dengan kulit pucat seperti mayat, dan ewh! Mata dengan lingkaran hitam yang mengerikan.

Mendengar kata setan pirang, Draco melotot. "Apa kau buta? Bagaimana mungkin pria setampan aku kau panggil dengan nama setan pirang?"

Reaksi pria itu sempat membuat Hermione tersenyum kecil. Lucu.

"Namaku Malfoy. Draco Malfoy."

Seketika itu juga, senyuman hilang dari bibir Hermione. Mendengar nama itu dia merasa seperti tersambar petir. Kenapa dari banyaknya manusia dan penyihir yang ada di dunia ini, yang ditemuinya adalah Draco Malfoy? Dan dia bahkan mengizinkan pria itu untuk berbaring di kasurnya?! Oh, I'll be goddamned. Dia menghembuskan nafas berat.

"Jadi, apa yang akan ku lakukan untuk bis-" perkataan Draco terpotong oleh satu kata dingin yang dikeluarkan oleh Hermione.

"Pergi."

Kini Draco kebingungan. 2 menit lalu makhluk ini memintanya untuk tinggal, dan sekarang dia malah diusir. Pria itu baru akan bertanya, namun Hermione lebih dulu menginterupsi.

"Jangan bertanya. Aku tidak jadi memberimu syarat untuk bisa pergi dari sini. Tongkat mu ada di nakas tadi. Ambillah dan cepat pergi dari sini."

Draco hanya diam. Tanpa bertanya apapun lagi, dia segera berdiri dan berjalan menuju ke nakas yang disebut oleh Hermione. Ternyata benar. Tongkatnya ada di sana bersama dengan sebuah kotak persegi panjang yang dibalut dengan kain tipis.

Ada apa dengannya?. Hanya kalimat itu yang kini mengendap di pikiran Draco. Pria itu berjalan ke arah luar dan membuka pintu kayu oak yang sudah sedikit keropos. Begitu pintu itu terbuka, hawa dingin menusuk hingga ke tulang rusuknya. Tapi dia tetap keluar dan menutup pintu itu.

Hermione masih terdiam di tempat duduknya. dia tidak menyangka kalau dia akan bertemu lagi dengan orang yang sangat dibencinya selama bersekolah di Hogwarts. Ya, Draco Malfoy. bocah arogan dan angkuh yang selalu memanggilnya dengan sebutan 'Mudblood'. Tapi apa yang dilakukannya hingga sampai ke Skotlandia?. Tidak mungkin dia sekedar iseng mendaki gunung dengan hanya menggunakan kemeja dan membawa tongkat.

Flashback~~~

- 1 Minggu sebelumnya -

Draco merasa sangat frustasi saat ini. Dia hampir selalu mengurung diri di kamarnya. Tidak ada yang berani memasuki kamarnya kecuali narcissa, Theo, dan Blaise. bahkan Bunty yang biasanya merapikan kamar tuan mudanya itu tidak berani memasuk jika tidak diperintahkan oleh narcissa.

5 tahun lalu, kehadiran Astoria lumayan membuat Draco tenang, tapi itu tidak berlangsung lama. Setelah 2 bulan mereka bersama, Astoria hilang begitu saja dan tidak pernah terlihat lagi hingga kini. Kehilangan senyum Hermione selama bertahun-tahun membuat Draco stres berat. Ditambah pernikahan Ron Weasley dengan salah satu anak ravenclaw, yaitu Cho Chang. Bagaimana perasaan Granger ketika pria itu malah menikah dengan salah satu temannya?.

"Kemana sebenarnya kau pergi, Granger?" Bisik Draco pada udara.

Tepat setelah kalimat itu keluar dari tenggorokan nya, pintu kamarnya terbuka. Di ambang pintu berdiri dua orang lelaki yang sangat dikenali oleh Draco. Tak lain dan tak bukan adalah Theodore Nott dan Blaise Zabini. Mereka k pun masuk dan menutup kembali pintu berwarna putih gading itu.

"Jadi... kau masih frustasi dengan hilangnya Granger?" Tebak Theo. Dan memang benar. Draco tidak bisa memungkiri hal itu karena itulah yang dirasakannya sekarang.

Theo memutar mata coklatnya. "Oh ayolah, mate. Mungkin ini pertanda kalau kau memang harus merelakannya, bahkan si Weasley itu sudah menikah dengan wanita lain karena percaya Granger tidak akan kembali."

Theo tidak tahu kalau kalimat itu ternyata bisa menyulut amarah Draco. Pria itu menatap Theo dengan tatapan dingin dan tajam.

Dia berdiri dan berjalan dengan tenang ke arah Theo. Dengan satu gerakan cepat, Draco mendorong Theo ke dinding dan mencekik pria itu.

"Hey, tenanglah kawan." Blaise berusaha menetralkan suasana, tapi dia tetap menjaga jarak dari Draco. Dia tidak berani maju memisahkan Draco dan Theo karena itu artinya dia dengan sukarela mendaftarkan dirinya sendiri di St. Mungo dalam waktu dekat.

Pria bermata kelabu itu tidak menghiraukan Blaise, dia masih menaruh tatapan marah pada Theo. Dan sekalipun pria yang dicekik itu berusaha untuk menjauhkan Draco darinya, hal itu sia-sia.

"Granger masih hidup. Dan aku sangat yakin tentang itu. Dan soal si weasel-bee itu, dia tidak lebih dari bajingan. Hanya itu yang perlu kau tahu."

Perlahan Draco menjauhkan tangannya dan melepaskan leher Theo. Dia mengambil napas panjang untuk menetralisir emosinya.

"So, kedatangan kalian pasti bukan tanpa alasan, kan? Ada apa?" Tanya draco to the point.

Kini Blaise yang akhirnya angkat bicara. "Kau benar sekali, mate. Aku dan Theo kemari untuk mengajakmu pergi ke Skotlandia."

"Skotlandia?" Kini kedua alis Draco menyatu karena bingung.

"Ya, Skotlandia. Aku ingin mengunjungi Nott manor yang ada di sana." Sambung Theo. "Ditambah, ini juga adalah permintaan dari ibumu agar kau bisa ikut, jadi kau tidak terus-menerus menjadi manusia gua di sini."

Draco terkekeh kecil. Memang benar jika Theo memanggilnya dengan sebutan manusia gua. Dia jarang sekali keluar dari kamarnya, penampilannya berantakan, dan bahkan janggutnya juga sudah mulai tumbuh. tapi sejauh ini dia tidak memiliki niat untuk meninggalkan kasurnya. "apa yang membuatmu berpikir kalau aku akan mau ikut denganmu?"

"Berhentilah menjadi orang dungu, Drake. Hilangnya Granger bukan berarti kau juga harus kehilangan akal sehatmu."

"Theo, kau tahu betul apa jawabanku. Apa tidak akan pergi."

Wajah Theo kini berubah menjadi datar. Menyadari akan terjadi adu mulut Yang panas, Blaise mundur perlahan dan mendudukkan dirinya di sofa milik Draco.

Wajah Theo kini berubah menjadi datar. Menyadari keadaan di sekitarnya yang akan semakin panas, Blaise mundur perlahan dan mendudukkan dirinya di sofa milik Draco.

"Kau harus belajar untuk berhenti memikirkan dirimu sendiri, Drake. jangan hanya karena masalah ini kau menolak untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitarmu. Kau tahu betul ibumu sangat khawatir padamu."

Dalam hatinya, Draco memang merasa sudah sedikit kelewatan. Dia berhenti berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan hanya memikirkan Granger. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Semua akan jauh lebih buruk jika dia berada di sekitar orang-orang.

"Tidak, Theo. Itu sudah menj-"

"Jangan egois, Malfoy. Apa kau tidak pernah memikirkan ibumu barang sebentar saja? Dia terus mengkhawatirkanmu sepanjang waktu bahkan menangis, bertanya-tanya pada sekitar ada apa dengan anaknya. Tapi kau malah berada di sini dan terus memikirkan gadis yang bahkan tidak tahu ada di mana keberadaannya." Amukan Theo sudah tidak bisa dibendung lagi. Dia sangat kasihan melihat narcissa yang murung setiap kali dia datang ke manor itu. Kini pria itu menatap Draco dengan tatapan sinis. "Atau mungkin kau sudah kehilangan rasa sayang pada ib-"

"Ok cukup!" Potong Draco. Dia tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Theo sangat tahu dimana titik lemahnya. "Jangan coba-coba melanjutkan kalimat itu. Ok, aku akan ikut dengan kalian. Puas?"

Theo menyeringai karena merasa menang dari seorang Draco Malfoy. Cih, dasar pria licik. Bisa-bisanya dia menggunakan kelemahanku untuk menyerangku.

🌹🌹🌹

Lusanya, setelah menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke Skotlandia, Theo, Draco, dan Blaise pergi ke tempat dimana portkey internasional diletakkan. Ya, mereka memilih untuk menggunakan portkey karena ber-apparate dari London ke Skotlandia bukanlah sesuatu yang mudah. Jadi mereka mencari alternatif teraman.

Begitu sampai di Skotlandia, Theo langsung mengajak mereka menuju ke Nott manor dan beristirahat.

"Hey Theo, kapan kita akan mendaki gunung yang kau ceritakan itu?. Aku sudah tidak sabar untuk pergi ke sana." Tanya Blaise dengan penuh semangat. Dia memang sudah memiliki mimpi sejak lama untuk pergi mendaki gunung, dan sebentar lagi mimpi itu akan terwujud.

Draco hanya mendelik lemas. Dia sebenarnya malas untuk pergi mendaki atau sekedar berjalan-jalan di area manor, tapi Theo, bersama dengan semua akal liciknya telah meyakinkan Draco untuk ikut mendaki.

"Sabarlah mate," ujar pria berambut coklat itu, lalu melirik ke arah Draco. "Sepertinya kita akan istirahat dulu hari ini. Aku yakin gunung Pinnines tidak akan lari sekalipun kita pergi ke sana beberapa hari mendatang."

Pria bersurai pirang itu bernafas lega. untunglah Theo berbaik hati membiarkannya menenangkan pikirannya yang kusut sejenak.

🌹🌹🌹

~ 2 hari sebelum bertemu Hermione

Saat matahari sudah mencapai puncak kepala, ketiga pria slytherin itu berkemas untuk perjalanan naik ke gunung Pinnines.

"Sekarang sedang musim dingin, saat malam salju pasti akan turun lebat jadi pakailah pakaian yang tebal." Theo sudah mengingatkan itu lebih dari 4 kali siang ini. Draco dan Blaise bahkan harus menahan diri untuk tidak menyihir mulut pria itu agar diam. Draco sudah merasa menggunakan baju yang tebal. Kalau sampai Theo menyuruhnya menambah satu lapis lagi pakaian, dia pasti akan merasa berada di sauna. dia memakai kemeja biru dongker yang dibalut lagi dengan jaket snowboarding army yang cukup tebal, celana jeans hitam, dan juga sepatu boot salju.

Ketiganya telah setuju membawa tas ransel untuk membawa barang-barang. tidak mungkin mereka datang ke atas gunung hanya dengan tangan kosong. Pendaki lain- Para muggles pasti akan merasa curiga. mereka juga memilih untuk menyembunyikan tongkat mereka di dalam tas masing-masing.

Pendakian itu sebenarnya menyenangkan bagi Blaise dan Theo, tapi tidak untuk Draco. Mendengar Blaise yang terus bicara tanpa henti membuat telinga nya panas. kenapa mereka tidak bisa berjalan tanpa berkicau panjang lebar seperti itu? Dan ketika hari sudah cukup larut, mereka memilih untuk beristirahat dan membangun tenda di pos 1.

Di gunung Pinnines hanya ada 3 pos peristirahatan, karena Medan yang tidak terlalu curam. Ternyata cukup mengejutkan mengetahui tidak ada pendaki lain di sana, mungkin karena mereka menghindari waktu-waktu awal musim dingin seperti ini karena biasanya memang akan terjadi badai salju. Tapi karena Blaise yang terus merajuk seperti anak kecil, Theo dan draco memutuskan untuk tetap mendaki.

Malam ini salju tidak begitu lebat. Kedua temannya telah terlelap bahkan Draco bisa mendengar dengan sangat jelas kalau Blaise mendengkur. Namun pria bermata kelabu itu itu tak kunjung bisa memejamkan matanya. jadi dia memutuskan untuk keluar dan menyegarkan pikirannya dengan melihat bintang. Ya, banyak yang tidak mengetahui kebiasaan Draco yang satu ini. sejak dulu dia memang sangat suka melihat langit malam dan mempelajari rasi bintang. Dia mulai memasang jaket snowboarding nya lalu keluar dari tenda, tidak lupa juga dengan membawa tongkat sihir.

dia berjalan cukup jauh dengan arah lurus mencari tempat yang lapang untuk melihat langit. Draco tidak bisa melihat bintang dari dekat daerah tenda karena tempat itu masih belum cukup tinggi dan juga dipenuhi dengan pohon pinus.

lelaki itu sudah merasa berjalan cukup jauh tapi tak kunjung menemukan tempat yang diharapkannya. Tempat bodoh. Kenapa gunung ini sangat penuh dengan pohon?!. Draco hanya bisa mendengus kesal dan berbalik arah. tapi langkahnya dihentikan karena melihat beberapa meter di hadapannya berdiri dua ekor srigala putih yang menatapnya dengan liar.

Ini buruk. Alih-alih memantrai hewan itu, Draco malah berlari menuju ke arah atas. dia terlalu panik bahkan hanya untuk sekedar merapalkan mantra. Tentu saja kedua serigala itu mengejarnya, dan Draco kalah cepat. Salah satu serigala melompat dan menggigit lengan kanannya yang memegang tongkat. Pria itu meringis. Untungnya jaket yang dipinjamkan oleh Theo cukup tebal, jadi gigi serigala itu tidak langsung mengoyak dagingnya. Tapi tetap saja, darah meluncur mulus dari balik kemeja Draco. Dia menendang hewan itu hingga jatuh dan mengaing kecil.

Melihat partnernya terluka, serigala satunya tidak buang-buang waktu dan langsung mencakar bagian paha Draco. Celana jeans-nya robek dengan 3 robekan yang terbentuk dari cakar hewan itu. Kali ini Draco meringis keras dan langsung terjatuh. Begitu sang serigala putih melompat ke arahnya untuk menerkam, Draco terpaksa merapalkan mantra.

"Avada kedavra!"

Seketika hewan berbulu putih itu jatuh dan terbujur kaku di atas tubuh Draco. Serigala satunya tidak maju, dia hanya terdiam namun seketika melolong panjang. Draco yang mendengarnya pun ikut bergetar karena merinding.

Dia memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri, beberapa kali dia menoleh ke belakang ternyata serigala itu tidak mengikutinya. Dia hanya duduk dengan tatapan tertunduk memandangi jasad partnernya itu.

Draco terus berlari tanpa memerdulikan ranting-ranting pohon yang mengenai tubuhnya dan mengoyak beberapa bagian dari kemejanya.

Fajar mulai menyingsing, dia memperlambat laju kakinya bergerak. Sekarang dia kehilangan arah. Selama semalaman dia bergerak tanpa tujuan dan sekarang dia kebingungan.

Kaki Draco tidak berhenti, dia terus berjalan hingga malam berikutnya tiba. Draco merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa berputar, paru-parunya serasa terbakar, dan kakinya terus menerus berdenyut. Dia sudah tidak bisa berjalan lagi .

Malam itu, Draco merasa kalau hidupnya akan berakhir. Kefokusannya mulai memudar bersama dengan pandangan di sekelilingnya yang makin menggelap.

Flashback off~~~

Hermione merasa seperti sedang berperang melawan dirinya sendiri. Dia pasti sudah pergi. Dia tidak berniat untuk melanjutkan hubungan dalam jenis apapun dengan seorang Draco Malfoy. Tapi di satu sisi, dia juga tidak tega menelantarkan orang yang sedang terluka seperti itu.

Tiba-tiba lamunan Hermione di buyarkan oleh suara yang sangat dikenalnya.

"AWUUUUUU!" Serigala. Batin Hermione mencelos. Pria bodoh itu tidak mungkin bisa menghalau 7 serigala sekaligus. Bahkan sekalipun dia memiliki tongkat.

Wanita itu bangkit dan memakai jubahnya. "Oh Merlin, kau pasti sedang bercanda padaku sekarang."

Hermione keluar dan berlari kecil menuju ke arah hutan.

To Be Continue...

Yeeyyyyyy. Akhirnya part ini selesai juga. Ciaaahhh pada nungguin ini up pas malming yaaa 🤣 sorry ya tadi malem ada sesuatu yg harus di lakukan :) jadi aku up sekarang.

Part ini panjang ya? Iyaa ini emang lebih panjang dari yg kemaren2, soalnya aku gak kasih kepastian nih 2 Minggu ke depan bakal up atau enggak, soalnya ada kegiatan sekolah yg gak bisa di tinggalkan. Iya, UTS :'')

So, buat kalian yg juga sedang dalam masa UTS/PTS kayak aku gini...
Semangat :)

Udah ah, segitu dulu. See ya!

Salam,
- aulZAlia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro