1. THE DEMOCHOLIC

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ceklek!

Gagang pintu terbuka pelan. Di balik sana, seraut wajah mungil mengintip ke dalam ruangan. Tatapannya langsung tertuju pada tokoh utama yang tengah berdiri di dekat white board sembari menggenggam sebuah buku di tangan kanan. Sementara tangan kirinya terselip di saku celana. Seperti biasa.

"Siang, Pak," ucap Jatu dari balik pintu berwarna cokelat. Sederet gigi putih dengan ginsul di bagian kanan menghiasi wajahnya. Mata bulatnya terus menatap sang tokoh utama. Namun, sosok jangkung itu tak jua memberi tanggapan.

Pria di depan kelas itu tetap bergeming. Meskipun menyadari ada satu sosok yang menanti perhatian, dia tetap enggan memotong ucapan. Lisannya terus saja fasih menjelaskan tentang lembaga pendidikan inklusi pada para mahasiswa yang duduk menyimak.

Tiga menit berlalu dalam ketidakpastian. Mau tidak mau, sosok di balik pintu harus mengerahkan segala keberanian. Berbekal nekad dan ketidaktahumaluan, gadis itu menyelinap masuk, mengendap-endap menuju kursi kosong di barisan kedua.

"Siapa yang ijinin kamu duduk?"

Sebuah suara bass menghentikan langkah Jatu. Gadis itu segera berdiri tegap karena terkejut dan membalik tubuh dengan cepat, layaknya prajurit yang diperintah untuk balik kanan.

"Kirain boleh langsung duduk, Pak. Habisnya, bapak lagi serius banget. Saya kan nggak enak mau motong-motong," ucap Jatu tanpa rasa bersalah.

"Jam dua kurang dua puluh tiga." Titan melirik jam di pergelangan kiri. "Kamu telat berapa menit?"

Jatu menggaruk kepala yang tidak terasa gatal. Bukannya tidak suka pelajaran hitung-hitungan. Hanya saja, otaknya masih penat akibat aktivitas yang baru dilakukan. Namun, gadis itu tetap berusaha menjawab pertanyaan dari pria itu dengan harapan akan diperbolehkan mengikuti perkuliahan. Dengan jari seolah-olah menulis di udara, ia pun mulai menghitung.

"Limaa..., lima puluh dua menit, Pak," ucap Jatu setelah beberapa detik berpikir.

"Berapa menit toleransi keterlambatan di kelas saya?" kejar Titan.

"Lima belas menit, Pak." Jatu menjawab sambil menyunggingkan senyum. Ia berharap, senyum itu mampu meluluhkan hati dosen di hadapan.

Titan berbalik arah dan mulai melangkah menuju meja. Lalu mengambil posisi setengah duduk di meja, sembari menyedekapkan kedua tangan.

Melihat hal tersebut, Jatu tiba-tiba bergidik. Ia paham betul akan ritual yang dilakukan. Dalam hati, gadis itu pun mulai menghitung. Seperti biasa, hanya butuh sepuluh detik hingga dosen itu memanggil sang terdakwa.

"Sini!" Titan melirik ruang kosong di samping kiri.

Dengan langkah enggan, Jatu menuruti perintah tersebut. Ia tidak menyangka akan sesial itu, kembali menjadi papan target sang sniper, gelar yang diberikan para mahasiswa untuk Titan. Dosen itu memang tidak suka berceramah panjang lebar, tapi kalimat-kalimat pendeknya bak peluru yang diluncurkan oleh penembak jitu. Tembus tepat di jantung.

Titan memandangi sang mahasiswa dari ujung kepala hingga kaki. Kemeja longgar, celana denim belel, sepatu kets, serta pashmina yang kedua ujungnya diikat ke belakang. Gaya boyish menjadi ciri khas Jatu. Di bagian tali ransel, tergantung jaket almamater hijau yang menjadi kebanggaan.

"Habis demo di mana?" Titan menyimpulkan setelah memindai penampilan Jatu. Lagipula, dia sudah paham kebiasaan sang mahasiswi.

"DPRD, Pak," jawab Jatu sambil menunduk.

Sedetik kemudian gadis itu mengangkat wajah. "Sebenarnya udah selesai dari jam dua belas, Pak. Tapi pas pulang, ban motor saya bocor. Saya dorong-dorong nyari tukang tambal ban. Dari Patung Kuda sampai Kwitang, loh, Pak. Sumpah! Kaki saya pegel banget." Jatu buru-buru melengkapi jawaban dengan cerita yang dramatis. Ia berharap hal tersebut akan memunculkan simpati.

Jatu lalu menghempaskan bokongnya ke lantai, sambil memijat-mijat kedua betis. "Heran deh, kenapa tukang tambal pada menghilang pas tahu ban motor saya bocor? Apa bapak pikir ini sebuah konspirasi?" tanyanya sambil mendongak. "Eh, saya ijin duduk, ya, Pak."

Pria itu mendengkus saat mendengar permohonan ijin yang sangat terlambat itu. "Kenapa nggak sekalian bolos? Kan lumayan buat ngilangin pegel-pegel." Tanpa simpati, Titan memojokkan sang terdakwa. Seperti biasa.

Jatu meringis. Sebenarnya, ia ingin sekali menjalankan saran yang diberikan. Namun, jatah bolosnya di kelas sang dosen sudah habis. Jika nekad tidak masuk lagi, bisa dipastikan ia tidak lulus di mata kuliah ini.

"Better late than never, kan, Pak?" Jatu mengutip quotes sang dosen, sambil mengangkat-turunkan kedua alisnya.

Titan menghela napas berat. Mahasiswi yang satu ini benar-benar menguji kesabarannya. Kata-kata bijak yang dikutip memang miliknya, tapi saat itu dilontarkan bukan untuk alasan keterlambatan kuliah.

"Nggak bosan demo terus?" tanya Titan tajam.

Jatu menggeleng mantap. "Nggak, Pak. Bapak nggak pernah demo, sih. Jadi nggak tahu sensasinya."

"Huh! Sensasi." Titan kembali mendengkus. "Jujur aja, kamu demo mau cari apa? Uang?"

"Ya ampun, Pak. Saya nggak senista itu." Jatu merengut.

"Jatu nyari calon suami, Pak." Sebuah suara terdengar dari deretan bangku mahasiswa, yang disambut dengan cekikikan yang lain.

Jatu melotot pada sumber suara yang terdengar bahagia, seolah-olah berhasil melemparkan bensin ke api yang menyala. Ia tahu pasti teman-temannya sengaja. Mereka senang melihat posisinya sekarang, tengah beradu argumen dengan sang sniper. Sebuah hiburan di tengah materi kuliah. Apalagi di siang hari, saat di mana kelopak mata seperti digantungi barbel seberat satu kilogram.

"Kamu demo buat nyari calon suami?" tanya Titan heran.

"Nggaklah, Pak." Jatu mendelik, berusaha menyanggah. "Tapi kalo emang ketemu, sih, alhamdulillah," lanjutnya sambil terkikik. "Tapi, bukan itu tujuan utamanya, kok, Pak."

"Lantas?"

"Tujuan saya demo adalah mewujudkan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pengabdian pada masyarakat," ucap Jatu bijak.

Mendengar kalimat itu, pikiran Titan melayang ke belasan tahun silam. Tak dipungkiri, dia pun pernah melakukan aktivitas yang sama. Dengan alasan yang sama. Dia bahkan mengajak gadis yang dicinta untuk membersamai mewujudkan Tri Dharma ketiga. Namun, jawaban yang diterima cukup menohok, 'Saya lebih suka mewujudkannya dengan poin kedua, penelitian dan pengabdian'.

Titan menelan ludah. Berusaha melupakan kilasan masa lalu. "Emang mewujudkan Tri Dharma harus dengan demo?" tanyanya.

"Salah satunya, sih, Pak. Masalahnya, saya bisanya itu doang." Jatu kembali memamerkan ginsulnya. "Ini bentuk pengabdian saya, Pak. Suara rakyat yang disampaikan oleh mahasiswa kan lebih didengarkan oleh pejabat."

"Kamu yakin?"

"Setidaknya, seperti itu kondisi seharusnya. Jikapun ada variabel-variabel lain, itu di luar kuasa saya. Yang penting, saya telah berusaha menunaikan kewajiban Tri Dharma. Nggak kaya itu tuh, yang di pojok sana. Kerjaannya Madam Rose-an mulu!" Jatu memonyongkan bibir ke arah teman-temannya, memastikan bahwa mereka juga perlu mendapat tembakan dari sang sniper.

"Iri bilang, bos!" Sebuah suara terdengar dari barisan kursi yang kembali disusul cekikikan.

"Madam apaan?" tanya Titan.

"Madam Rose, Pak. Aplikasi nyari jodoh," jawab Jatu.

Titan kembali geleng-geleng mengetahui kelakuan para mahasiswa. "Bukannya fokus nyari judul skripsi, malah sibuk nyari jodoh." Sang dosen menatap pada beberapa mahasiswa yang ditunjuk Jatu.

"Ini juga buat motivasi, Pak. Biar cepet-cepet lulus. Soalnya, udah punya pendamping wisuda." Salah satu di antara mereka membela diri, yang disambut persetujuan dari yang lain.

Titan mengangguk mengerti, lalu kembali menoleh pada Jatu. "Setidaknya, teman-teman kamu punya motivasi untuk cepet-cepet lulus. Kalo kamu?" tanyanya.

Urusan dengan gadis di samping harus segera diselesaikan. Mahasiswanya itu sudah berada di semester tujuh. Sebagai pendamping akademik, Titan merasa harus mengingatkan Jatu untuk fokus kuliah, agar bisa lulus tepat waktu.

"Saya juga punya motivasi buat cepat-cepat lulus, kok, Pak."

"Apa?" tanya Titan dengan nada meremehkan.

"Saya mau lanjut kuliah lagi, Pak," jawab Jatu mantap. "Kalo bisa di luar negeri, sih."

Titan tersenyum sinis. "Mau ngapain kuliah di luar negeri? Demo lagi?"

"Hah?" Jatu terperanjat mendengar pertanyaan itu. "Saya sih nggak sempat kepikiran demo di luar negeri, Pak. Tapi, sepertinya ide bapak cukup brilian. Demo di hamparan salju depan Kedubes. Wah, instastory saya pasti makin cakep. Terima kasih, Pak. Akan saya pertimbangkan masukan itu," ucap Jatu dengan ekspresi wajah sok serius.

Titan mengusap wajah, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesabaran. Dirinya harus lebih dewasa, lebih matang dalam menghadapi bocah ingusan di samping.

"Rektorat, DPRD, MPR, Istana, Balai Kota." Titan menyebutkan tempat-tempat yang pernah dilontarkan Jatu sebagai tempat demo. "Terus Kedubes. Jadi, tempat mana lagi yang rencananya mau kamu datangi buat demo?"

"Mmm...." Jatu memainkan kedua bola mata sambil mengetuk-ngetukan telunjuk ke bibir, seolah-olah sedang berpikir keras. "Hati bapak!" seru Jatu "Jadi, kapan saya boleh demo di sana?" tanyanya yang disambut seruan dari teman-teman sekelas.

Titan tersedak saat mendengar kalimat itu. Raut wajahnya berubah seketika, tak tahu harus merespon apa. Peluru di tangannya seolah-olah habis, tak bersisa. Dia tak menyangka, mahasiswi tomboi itu berani merayunya.

Mendapati sang dosen salah tingkah, Jatu segera menutup mulut dengan tangan kiri, menahan tawa yang hampir lepas. Tidak salah jika dirinya selalu terpilih menjadi orator demo. Urusan retorika memang keahliannya. Termasuk merayu sang dosen duda.

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Hai... Hai...

Karena hari ini tanggal cantik, chapter satu saya post lebih awal, ya. Buat pemanasan. Siapa tau jadi pengen ikutan demo ke pak dosen.

Ekspresi Titan pas denger mau didemo.

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Next chapter update awal Januari 2021.

Terima kasih sudah mampir. 🙏
See you next year. ❤️❤️❤️


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro