21. MORE THAN WORDS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Hai, Jat!”

Jatu terkejut. Suara Langit mengagetkannya. Namun, ia pura-pura tak mendengar dan memilih tetap menatap monitor laptop.

Langit menarik bangku di hadapan Jatu. Tanpa izin, dia duduk di sana. Dia memang tidak memerlukan izin khusus karena area tersebut merupakan fasililtas yang disediakan untuk para mahasisiwa.

“Halow, Ja-tu.” Kali ini Langit menaikan volume suara.

Di ruang itu, dia tak perlu khawatir ada mahasiswa lain yang terganggu. Perpustakaan besar menyediakan ruang-ruang kaca yang bisa digunakan secara khusus oleh para mahasiswa. Ruangan tersebut umumnya digunakan untuk kerja kelompok, diskusi, hingga bimbingan. Juga untuk mengerjakan skripsi seperti yang dilakukan Jatu.

Jatu ingin terus berpura-pura mengabaikan Langit. Namun, rasanya tak mungkin. Mau tak mau, ia mendongak.

“Eh, elo, Lang,” sapa Jatu basa-basi. “Udah lama nggak ketemu, ya.” Gadis itu mesam-mesem.

“Yoi,” Langit mengangguk, “tepatnya 47 hari.”

“Ebuset! Lo itungin?” celetuk Jatu, setengah takjub. “Udah kaya rentenir aja.”

Langit tersenyum simpul. Dia tak peduli apapun yang dikatakan gadis di hadapan. Dirinya sudah cukup tersiksa menahan rindu. Sekedar duduk di depan Jatu sambil mendengar kalimat-kalimatnya -bahkan jika berupa omelan atau ledekan- bagi Langit tak mengapa.

Sudah sebulan lebih sejak semester genap dimulai dan Langit begitu sulit menemukan Jatu. Gadis itu tidak pernah menyambangi gedung Unit Kegiatan Mahasiswa atau duduk-duduk di saung diskusi.

Sebenarnya, mudah saja menemui Jatu dengan mendatangi gedung Fakultas MIPA. Namun, Langit tak sudi melakukannya. Dia tak mau jika sampai bertemu atau sekedar melihat sosok Titan dari jauh.

Sejak semester baru, Jatu memang sangat sibuk dengan berbagai kegiatan. Mengulang tiga mata kuliah yang cukup sulit, menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mengerjakan skripsi, serta jadwal bimbingan dengan tiga dosen.

Dua kali dalam seminggu, ia juga tetap datang ke Sakura Premier. Selain untuk mengajar Amore, Jatu juga mendapat bimbingan khusus dari Titan baik menyangkut mata kuliah yang sedang ditempuh maupun skripsi yang sedang disusun. Terkadang, ia bahkan baru tiba di tempat kost pada pukul sembilan malam. Kesibukan itulah yang membuatnya tidak pernah bersosialisasi lagi dengan mahasiswa di luar jurusan.

“Udah lama juga, ya,” lanjut Jatu, basa-basi.

Langit terkekeh. “Iya. Kaya nungguin masa nifas.”

Jatu terbelalak. Tak menyangka respon yang diberikan Langit. “Sebenernya lo anak FK apa anak FT, sih? Segala tahu nifas-nifasan.”

“Tahulah.” Langit menyeringai. “Gue kan udah belajar dasar-dasar kerumahtanggaan,” terangnya.

“Dasar-dasar kerumahtanggaan?” Jatu mengernyit. “Emang ada?”

“Ada, dong. Gue yang bikin. Demi lo,” jawab Langit sambil mesam-mesem

Seketika Jatu menunduk. Ia tidak mau pembicaraan tersebut semakin jauh.

“Mau ngerjain skripsi juga?” tanya Jatu setelah sekian menit keduanya berada dalam keheningan. Ia harus mencari topik pembicaraan baru untuk melupakan percakapan tadi.

Pria di hadapan menggeleng pelan. “Gue mau ketemu lo,” lirih Langit.

“Ketemu gue?” Dahi Jatu berkerut. “Ada perlu?” tanyanya. Semakin cepat urusan ini selesai, semakin cepat juga Langit pergi dari hadapan.

“Gue cuma kangen sama lo,” ucapnya bergetar. Nyaris menitikkan air mata. Ada rasa bahagia bercampur haru. Setelah sekian lama, akhirnya mereka bisa bertemu.

Jatu bergeming. Tak tahu harus merespon apa. Ia pun memilih untuk kembali sibuk memainkan jari-jari di keyboard laptop.

“Kita ngopi bareng lagi, yuk,” ajak Langit.

Jatu mendongak. Senyumnya tertahan. “Gue lagi sibuk banget, Lang,” respon gadis itu, lalu kembali memandang monitor laptop.

Langit mengangguk, tapi tak ingin menyerah. “Nggak harus sekarang. Kalo lo lagi lowong aja.”

“Hem.” Jatu mengangguk singkat.

Langit terus memandangi Jatu yang tengah memasang wajah serius. Ekspresi sama yang ditampakkan ketika tengah berdiskusi di ruang BEM. Ekspresi yang sudah lama tidak dinikmati oleh pria itu.

“Lagi ngerjain bab berapa, sih?” tanya Langit, mencoba mencari topik pembicaraan.

“Revisi instrumen.” Jatu menjawab singkat, tanpa mendongak.

“Udah uji coba, ya? Gue masih ngerjain bab dua, sih. Kemarin-kemarin lagi nggak bisa fokus,” terang Langit tanpa ditanya.

“Owh. Kenapa?” respon Jatu singkat. Meskipun khawatir pada jawaban Langit, tapi ia tak tega jika pria itu bercerita sendiri.

“Salah satu kebutuhan dasar gue nggak terpenuhi. Lo tau, nggak? Manusia punya tiga kebutuhan dasar. Tapi, gue rasa, gue punya empat.”

“Oh, ya?” Lagi-lagi Jatu merespon acuh tak acuh.

“Sandang, pangan, papan, dan ketemu lo,” ucap Langit. Pria itu memberi penekanan pada dua kata terakhir.

Napas Jatu tertahan saat mendengar kalimat Langit. Meski dikemas dalam format yang unik, jawaban Langit seperti dugaannya.

“Tapi, kayanya sekarang gue udah bisa fokus lagi,” tambah pria itu.

Jatu tidak memberikan respon. Ia sangat mengerti makna tersirat dari kalimat tersebut.

By the way, lo penelitian di mana?” tanya Langit lagi.

Jatu menghentikan ketikan, lalu menatap Langit. Mencoba mencari cara agar pria tersebut segera pergi. Ia benar-benar membutuhkan konsentrasi.

“Lang, sorry banget, nih. Ngobrolnya bisa nanti-nanti lagi, nggak? Gue harus buru-buru ngelarin instrumen ini,” pinta Jatu.

Gadis itu harus segera menyelesaikan perbaikan instrumen. Ia ingin memperlihatkan revisi  tersebut pada Titan, sebelum menyerahkannya pada dosen pembimbing esok hari.

Langit tersenyum. Sepertinya dia terlalu menggebu-gebu hingga ingin buru-buru menumpahkan seluruh rindu. “Sorry, sorry. Gue terlalu semangat. Gue nggak ngajakin lo ngobrol lagi, deh. Tapi, sebagai gantinya, gue boleh duduk di sini, kan?”

Tak punya pilihan lain, Jatu pun mengangguk. Lagipula ia tak memiliki hak melarang-larang pria itu menggunakan fasilitas kampus. Setidaknya, Langit membiarkannya mengerjakan revisi.

Akan tetapi, baru beberapa menit diam, Langit sudah membuka mulut lagi. “Oh iya, nih!” dia menyodorkan kotak beludru berwarna biru gelap, “oleh-oleh dari nyokap.”

Awalnya Jatu ingin meluapkan kekesalan, tapi urung saat mendengar siapa pemberinya. Ia melirik sekilas pada kotak mewah tersebut. Dengan rasa sungkan diterimanya bingkisan itu. “Emang nyokap dari mana?” selidiknya.

“U.S,” jawab Langit singkat.

Ada rasa penasaran yang menyeruak di dada Jatu. Dengan hati-hati, dibukanya kotak persegi itu. Sebuah gelang giok berwarna hijau dengan lapisan emas bergambar kupu-kupu.

Diambil dan dielusnya gelang  tersebut. Warnanya sangat memukau. Pinggirannya begitu halus. Ornamennya teramat detail.

“Cantik, sederhana, tapi berkelas. Cocok sama lo,” terang Langit.

Jatu perlahan mendongak. Ia memang menyukai gelang giok itu. Namun, menerima pemberian tersebut sama saja seperti membuka pintu hati. Padahal, hati tersebut telah menjadi milik orang lain.

“Makasih, Lang. Tapi gue nggak bisa nerima ini,” ucap Jatu.

Langit mengernyit. “Kenapa?” Suaranya berubah. Ada rasa bingung, sedih, juga kesal.

“Kayanya, ini barang mahal,” ucap Jatu sambil mengamati benda berbentuk lingkaran itu.

“Murah, kok,” jawab Langit buru-buru.

Jatu segera mengambil ponsel, lalu membuka aplikasi Google, menekan tombol discover, terakhir mengklik Google Lens. Kemudian diarahkannya kamera ke gelang tersebut. Dapat!

“1850 US dollar?” pekik Jatu tertahan. “Alasan gue buat nolak ini semakin kuat.” Ia buru-buru meletakan gelang giok itu dalam kotak. Khawatir pecah atau bahkan retak.

“Kenapa harus ditolak?”

“Lang. Harganya lebih mahal dari harga motor gue. Bahkan setara sama 60 bulanan gaji guru honor di daerah. Gue nggak mungkin pake gelang ini sambil ngobrol tentang pemerataan pendidikan,” ucap Jatu sinis.

Langit berpikir sejenak. Dia tak mau Jatu menolak pemberian tersebut. Sebelum ibunya membeli oleh-oleh, berulang kali dia mengingatkan bahwa wanita yang dicintainya tidak menyukai barang-barang mewah.

“Nyokap gue nggak bisa nemuin barang yang lebih murah lagi,” ucap Langit.

“Astaga!” Jatu mengusap wajah, “padahal gantungan kunci udah lebih dari cukup, loh,” gerutunya. “Ini terlalu berlebihan buat jadi oleh-oleh untuk gue.”

“Kata nyokap, nggak ada yang berlebihan buat calon menantu,” balas Langit.

Jatu menggigit bibir. Sepertinya ia harus bersikap lebih tegas. Gadis itu menarik napas dalam, mengatur kalimat yang ingin disampaikan. “Lang, gue sama Pak Titan akan nikah.”

Langit terbelalak. Tak terima sekaligus tak percaya. “Nikah? Lo becanda!” ketusnya.

“Gue serius! Setelah gue dapet beasiswa, gue sama Pak Titan langsung nikah.” Jatu memasang ekspresi serius.

Mendengar kalimat tersebut, Langit malah menyeringai. “Jadi, lo yakin dia serius mau nikahin lo?”

“Yakinlah! Pak Titan sendiri yang bilang,” ujar Jatu.

“Kalo dia serius, kenapa harus pake syarat?” tantang Langit. “Lo nggak pernah kepikiran kalo sebenarnya itu cuma akal-akalan dia biar lo semangat lulus dan semangat dapetin beasiswa? Setelah lo dapetin itu semua, tugasnya selesai. Dia bakal ninggalin lo!”

Mendengar kata-kata Langit, Jatu tertegun. Namun, ia segera menggeleng. “Pak Titan bukan orang seperti gitu.”

“Lo yakin?” desak Langit. Pria itu lalu menarik napas panjang, berusaha mengatur emosi yang turun naik. “Selama ini, pernah nggak dia ngomong ‘I love you’ atau kalimat sejenis itu ke lo?”

Jatu menelan ludah. Berusaha mengingat-ingat. Namun, meski telah menggali seluruh memori, ia tak menemukan adegan saat sang dosen mengucapkan kalimat sakral tersebut untuknya.

“Pernah, nggak?” desak Langit.

Jatu bergeming.

“Dari ekpresi lo, gue yakin belum pernah. Dan lo bilang kalo dia serius sama lo? Omong kosong!” Langit tak lagi repot-repot menutupi kegusaran.

“Apa pentingnya kalimat itu?” tantang Jatu.

Langit terkekeh. “’Of course, penting! Kalimat itu nunjukin kalo seorang laki-laki serius. Seperti yang selama ini gue lakuin. Kalo dia nggak pernah ngucapin kalimat itu, mungkin hipotesis gue benar. Dia cuma manfaatin perasaan lo buat memotivasi lo!”

🌹🌹🌹🌹🌹

Eonni, Eonni!”

Jatu terkejut saat Amore mengguncang tangannya. Ia segera mengerjap-ngerjapkan mata.

Eonni kenapa?” tanya gadis kecil itu, sambil menatap mata Jatu.

“Em, nggak apa-apa, kok,” jawab Jatu gelagapan. Ia merasa malu telah menjadi guru yang tidak profesional karena melamun saat tengah mengajar. Kata-kata ‘nggak kompeten’, kembali terngiang.

Eonni mikirin apa, sih?” kejar Amore. Dia merasa tak puas dengan jawaban Jatu. Tidak biasanya sang guru les melamun saat tengah mengajar.

“Em, Eonni lagi mikirin skripsi.” Jatu berbohong. ‘Baru sedetik yang lalu, sih, kepikirannya,’ tambah Jatu dalam hati. Ia tahu, jika tak juga mendapat jawaban, Amore akan terus bertanya.

“Emang skripsi itu susah, ya?” tanya Amore lagi. Dia membayangkan jika nanti telah dewasa dan kuliah, lalu bertemu dengan pelajaran bernama skripsi.

“Sedikit, sih,” ucap Jatu sambil membentuk ruang kecil antara telunjuk dan ibu jari.

Gadis kecil itu mengangguk. “Pantas Eonni makin kurus.”

“Hah?” Jatu terkejut lalu melihat tubuhnya sendiri. “Emang keliatan, ya?” tanyanya. Ia memang tahu, berat badannya turun dibanding dua bulan yang lalu.

Amore mengangguk-angguk. “Emang Eonni turun berapa kilo?”

“Dua kilo, doang, kok,” jawab Jatu sembari mengingat-ingat angka terakhir yang ditunjukan timbangan pekan lalu.

“Tapi, pipi Eonni udah nggak chubby lagi.” Amore mencubit kedua pipi Jatu.

“Aw!” Jatu meringis, pura-pura menahan sakit, lalu meraba kedua pipi itu. “Masa, sih?”

Amore kembali mengangguk. “Tapi, tenang aja. Eonni tetap cantik, kok. Ya, nggak, Pa?” tanya Amore sambil melongokan kepala ke arah ruang makan.

Titan yang tengah menyimak pembicaraan kedua perempuan itu, sontak terkejut. “Ah, em… iya.” Pria itu gelagapan.

Sejak semester baru, kegiatan les Amore dilakukan di ruang tamu. Titan yang meminta hal itu untuk menghindari putrinya meminta hal-hal ajaib lain pada Jatu.

“Iya apa, Pa?” ledek Amore yang diikuti jawilan Jatu di hidung gadis kecil itu.

“I-iya cantik,” jawab Titan.

Amore segera berlari menuju papanya, lalu bergelayut manja. “Sama Amore, cantikan siapa?”

Titan melirik. Dia khawatir itu menjadi pertanyaan jebakan. “Cantikan nenek,” jawabnya yang diikuti seruan ‘huu’ dari Amore.

🌹🌹🌹🌹🌹

Setelah jam les selesai, Amore kembali ke kamar. Kini, giliran Jatu yang mendapat les tambahan dari Titan.

Sore itu, Titan tengah memeriksa perbaikan uji coba intrumen yang telah dibuat Jatu. Sementara sang mahasiswi mengerjakan soal-soal Geometri Analitik. Ia harus mendapatkan nilai A dalam mata kuliah tersebut karena bobotnya 4 SKS.

Oppa!” pangil Jatu setelah hampir setengah jam mereka hanyut dalam kegiatan masing-masing.

Pria yang duduk berseberangan dengannya mendongak, lalu mengangkat satu alis. Isyarat agar Jatu mengatakan apa yang ingin disampaikan.

“Nggak jadi, deh,” putus Jatu. Ia merasa kurang etis untuk menanyakan hal yang saat ini tengah mengganggu pikiran.

Mendengar hal itu, Titan melanjutkan koreksian, sementara Jatu kembali mengerjakan soal-soal.

Gadis itu membaca soal, tapi pikirannya melayang. Kata-kata Langit kembali terngiang. Mungkinkah Titan hanya berpura-pura ingin menikahinya? Mungkinkah pria itu tidak pernah benar-benar mencintainya?

“O-Oppa!” Jatu kembali memanggil dengan ragu-ragu.

Titan menghela napas. Gadis itu terus memanggilnya. Namun, kalimat lanjutan yang ingin disampaikan hanya menyangkut hingga tenggorokannya.

“Kamu mikirin apa, sih? Waktu belajar sama Amore, kamu juga nggak fokus.”

“Ng-nggak, kok. Saya cuma mikirin soal ini,” Jatu menunduk, “susah banget, ya.”

Titan menahan senyum. Dia tahu ada yang disembunyikan Jatu. Entah apa.

Setelah lima menit berlalu, Jatu kembali memanggil, “Oppa!”

Titan berdehem, membuka kacamata, lalu bersedekap. Memberi isyarat bahwa dia siap mendengar apapun yang ingin diucapkan gadis itu.

Melihat respon itu, Jatu menunduk. Ada rasa takut dan ragu. Namun, rasa penasaran menempati porsi yang lebih besar. “Saya mau nanya, tapi di luar pelajaran Matematika. Boleh, nggak?”

Pria di hadapan berpikir sejenak, tapi tak urung mengangguk. Jika tak begitu, dia yakin masalah gadis itu tidak akan selesai.

“Menurut Oppa, em….” Jatu menggantung kalimat, mencari lanjutan yang tepat. “Pernyataan lisan itu, penting nggak, sih? Soalnya, oppa belum pernah ngomong I lo--”

“Pakeett!” Suara tukang paket memotong kalimat Jatu.

“Oh, udah datang. Sebentar, ya!” Titan segera bangkit untuk menyambut sang kurir di depan rumah.

Beberapa menit kemudian, pria itu kembali dengan kardus besar di tangan. Titan meletakkannya di ujung meja makan, lalu kembali duduk.

Jatu mengenali logo di kardus paket tersebut. “Tumben beli sayur lewat paket. Bukannya si mbak yang biasa beli di pasar,” komentar Jatu heran.

“Oh, kebetulan ada diskon,” jawab Titan singkat.

Jatu mengangguk. “Nggak langsung dikeluarin? Nanti busuk, loh.” Gadis itu mengingatkan.

Asisten rumah tangga di rumah Titan memang hanya dipekerjakan setengah hari, dari pagi hingga sore. Jika menunggu hingga wanita itu datang esok pagi, sayuran dan buah yang sudah dibeli dipastikan membusuk dalam  kardus.

“Nanti aja,” jawab Titan singkat. “Jadi, tadi kamu mau kamu bilang apa?”

Mendengar pertanyaan itu, Jatu terdiam. Keberanian yang telah dikumpulkan mendadak hilang. Mungkin butuh seharian untuk mengumpulkannya kembali.

“Jatu!” panggil Titan, membuat gadis itu tersadar dari lamunan. “Lanjutin lagi!”

“Saya lupa tadi ngomongin apa.” Jatu pura-pura tidak ingat.

“Tadi kamu lagi ngomongin tentang pernyataan lisan.” Titan mengingatkan sambil menahan jantung yang berdebar kencang.

Wajah Jatu berubah pias. Tak disangkanya Titan mengingat kalimat tersebut. “Em, nggak jadi, deh. Kapan-kapan aja.” Gadis itu kembali menekuni soal-soal di hadapan.

Titan menarik napas dalam, antara lega juga bersalah. Sejujurnya, dia tahu apa yang diinginkan Jatu. Namun, saat ini dirinya belum siap. Mungkin butuh persiapan, setidaknya satu bulan atau mungkin lebih, agar dia berani berkata dengan lantang.

Sementara bagi Jatu, mengulang permintaan tadi rasanya tidak pantas. Bagaimana mungkin seorang perempuan meminta laki-laki untuk membuat pengakuan? Jika cinta, harusnya pernyataan itu hadir tanpa diminta.

Jatu bertahan di kediaman Titan hingga matahari terbenam. Beberapa koreksi telah didapatkan dan akan dirapihkan nanti malam. Setelah pamit, gadis itu segera beranjak menuju motor di halaman.

“Jat!” panggil Titan saat Jatu sedang memasukkan kunci motor. “Ini!”  Kardus paket yang tiba tadi sore diletakkan di bagian depan motor.

“Sayuran?” tanya Jatu dengan senyum terpaksa. “Tapi, saya nggak ada waktu buat masak. Oppa yang masakin, aja, deh. Saya terima matengnya  di kampus.”

Titan mendelik. “Ini mangga,” ucapnya.

“Mangga?” ulang Jatu, lalu melirik kardus yang masih tertutup rapat itu. “Banyak amat. Berapa kilo?”

Titan berdehem. “Totalnya ada lima kilogram. Kalo berat brutonya 40%, masih ada tiga kilo tersisa. Kalo kamu makan ini semua, berat kamu yang hilang dua kilogram mungkin bisa terganti. Selain itu, masih ada kelebihan satu kilogram lagi untuk cadangan,” terang pria itu tanpa jeda, seperti sedang menjelaskan di depan kelas.

Jatu buru-buru membekap mulut, takut tawanya pecah dan membuat Titan tersinggung. Bagaimana mungkin ia memakan lima kilogram mangga sekaligus? Bukannya menambah berat badan, yang ada ia akan bolak-balik ke belakang.

“Makasih, Oppa,” ucap Jatu,. pura-pura terharu.

Pria di hadapan mengangguk sambil mengembangkan senyum. Dia tahu, Jatu tidak mungkin memakan semua buah itu sekaligus. Dia pun tahu bahwa penjelasannya sama sekali tidak masuk logika. Namun, itulah cara yang dipilih untuk menunjukkan bahwa dia tidak ingin gadis itu terus kehilangan berat badan.

Saat ini, Titan memang belum siap mengucapkan kalimat yang diinginkan mahasiswi itu. Namun, dengan semua yang dilakukannya, Titan berharap Jatu mengerti rasa cinta itu sudah mulai tumbuh perlahan. Pelan, tapi terus bertambah seperti deret aritmatika.

🌹🌹🌹🌹🌹

Selamat malam Gaess...

Masih ada yang melek, nggak?
Kalo nggak ada, nggak apa-apa.
Yang penting, kalo udah bangun, jempolnya aktif ya. 🤪

Btw, ternyata banyak yang penasaran sama kisah Raven dan Pak Yoga. Giman ketemunya? Gimana PDKTnya? Dll, dsbg.

Sebenarnya seru juga nyeritain pasangan ini. Tapi, kalo bahas mereka sekarang, ada pihak-pihak yang keberatan. Termasuk Langit yang takut sinarnya tersaingi. 🙄


Nih, orangnya. Udah siap tempur, kan? 😒

Jadi, khusus pasangan Raven-Yoga saya bikin di extra part aja, ya. Agar dunia tetap tentram dan damai. 😁

Sekian berpatah-patah kata pada malam hari ini.

Eh, lupa. Maaf, ya. Updatenya kelamaan. Ngabisin mangga dulu. 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro