23. DI DEPAN TUGU CIVITAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Gue nggak nyangka lo bisa secantik ini.” Langit menghampiri Jatu yang tengah duduk bersantai dengan kedua orang tuanya di salah satu sudut aula.

Selama acara wisuda tadi, matanya tidak lepas dari sosok Jatu. Meskipun terlihat pangling, dia masih mengenali perempuan itu. Celana jeans yang berganti kain batik, sepatu kets yang berubah menjadi high heels, ditambah dengan make up minimalis, tapi sangat manis.

“Jangan ngeledek, dong. Gue udah berasa jadi ondel-ondel, tau!” Jatu memukul lengan pria itu.

Langit meringis. Namun, bukan karena sakit. Dia hanya sedih karena sadar tak bisa memiliki gadis secantik itu.

“Nggak. Sumpah, lo cantik banget!” Langit tersenyum. “Dandan di salon mana?”

“Raven,” jawab Jatu sambil cengar-cengir.

“Gretongan, ya? Dasar!” umpat Langit. Yang kembali disambut tonjokan pelan Jatu.

“Ini yang namanya memberdayakan masyarakat,” kilah Jatu sambil manggut-manggut, menunjukkan ekpresi bijak.

Langit menyeringai. Tidak akan pernah ada habisnya beradu argumen dengan perempuan itu.

“Ngomong-ngomong, kenalin dong,” bisik Langit sambil melirik ke arah orang tua Jatu yang tengah menikmati nasi kotak.

Jatu memicing. “Buat apa?”

“Buat apa, kek,” jawab Langit sambil mengangkat kedua bahu dan mengulum senyum.

Jatu mencibir, tapi tak urung memenuhi permintaan itu. “Ibu, ayah, kenalin. Ini Langit.”

Pria yang disebut namanya segera berdiri. “Halo, Bu, Pak.” Langit menyapa sambil menyalami kedua orang tua itu. “Saya Langit. Tadinya calon suami Jatu. Tapi keduluan sama senior,” ucapnya yang disambut dengan cubitan Jatu.

“Jangan dengerin, Bu. Emang orangnya suka ngebanyol,” ucap Jatu sambil cengar-cengir.

Mendengar itu, Langit berdecak. “Itu fakta, Jat. Meskipun pahit, jangan ditutup-tutupi,” ujarnya dengan nada bijak.

“Apa, sih. Jangan ngadi-ngadi, deh,” balas Jatu dengan sorot mata yang semakin tajam.

Suara deheman memecah adu argumen di antara keduanya. Membuat setiap mata berpaling.   “Bapak, sih, nggak keberatan. Dulu-duluan ngelamar aja.”

Tanpa diduga, Gugum, ayah Jatu angkat bicara. Baginya semakin cepat Jatu menikah, semakin baik. Karena tugasnya sebagai seorang ayah, purna sudah. Memiliki anak gadis yang terlambat menikah adalah ketakutan terbesarnya. Maka, siapa pun yang datang untuk melamar anak perawan itu akan dipersilahkannya.

“Hush!" Sebuah pukulan pelan mendarat di paha Gugum. "Bapak nggak boleh gitu. Gimana kalo didengar sama…,” ucap Wulan, ibunda Jatu, sambil celingak-celinguk.

“Didengar sama siapa? Orangnya juga nggak datang,” celetuk ayah Jatu, pedas.

Dahi Langit berkerut. Dia memandangi dua orang tua di depan, lalu perlahan mengerti siapa yang tengah jadi bahan pembicaraan. “Emang Pak Ti--”

“Jatu ke depan dulu, ya!” potong Jatu. “Mau foto sama teman-teman.” Gadis itu segera menarik lengan Langit agar menjauh dari kedua orang tuanya.

Dengan tergopoh, Langit mengikuti langkah-langkah Jatu. Padahal, dia baru saja ingin melakukan pendekatan pada keluarga gadis itu. Mungkin saja peluangnya kembali terbuka melalui jalur calon mertua.

Jatu baru melepaskan lengan Langit ketika mereka berada di luar aula. Gadis itu lalu mencari tempat di salah satu kursi yang disediakan di teras aula. Dengan gerakan hati-hati, ia duduk di sana.

Langit lantas mengikuti apa yang dilakukan Jatu. Dia meraih salah satu kursi di samping gadis itu, lalu menariknya hingga mereka duduk berhadap-hadapan.

“Dosen lo nggak datang?” selidik Langit sambil memandangi mata Jatu.

Jatu melirik pria itu, lalu menggigit bibir. Meskipun tahu siapa yang dimaksud Langit, tapi ia tidak berniat menjawab secara terang-terangan.

“Itu dosen gue, ada di mana-mana,” jawabnya sambil menunjuk beberapa pengajar UNI. Ada yang mengenakan toga, adapula yang mengenakan pakaian biasa.

“Lo tau siapa yang gue maksud.” Tanpa menoleh ke arah yang ditunjuk Jatu, Langit kembali berkata  dingin.

Jatu tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Lo kira gue cenayang yang bisa tau isi pikiran lo?” celetuknya sambil mengulum senyum.

Langit menghela napas, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. “Dosen duda beranak satu itu nggak datang?” tanyanya penuh penekanan.

Gadis itu memalingkan wajah, berusaha menghindari tatapan Langit. Masih teringat jelas pesan dari Titan tadi malam. Hanya empat kata. Tidak ada penjelasan lain. ‘Besok saya nggak datang.’

“Pak Titan lagi ada urusan penting,” lirih Jatu. ‘Gue yakin itu alasannya nggak bisa datang,’ sambungnya dalam hati.

“Sepenting-pentingnya urusan itu, masa nggak bisa datang ke wisuda calon istri,” komentar Langit sinis, dengan penekanan pada kata ‘calon istri’.

Senyum Jatu tertahan. Ia tak tahu harus berkomentar apa untuk kata-kata Langit yang begitu menghujam di dada. Kata-kata yang meski pahit, tapi mewakili pemikirannya.

Langit memutar tubuh. Melayangkan pandang ke arah sekitar. Ada rasa perih melihat sang pujaan hati merana di hari bahagia itu.

“Ngomong-ngomong, Pak Yoga ada hubungan spesial sama Raven?” tanya Langit ketika melihat pasangan itu tengah berfoto di photobooth. Yoga dengan setelan yang amat rapi, sedangkan Raven terlihat anggun dengan tambahan buket bunga di tangan.

Jatu mengangguk pelan. “Kenapa? Lo nyesel?” tanyanya.

Yang ditanya segera menggeleng tegas. “Nggaklah. Sampai hari ini, penyesalan gue cuma satu." Langit menghela napas panjang. "Kenapa gue nggak dilahirkan tiga belas tahun lebih cepat?” tanyanya lirih.

Jatu mengernyit, tak mengerti. Pria itu memang selalu memiliki pemikiran yang ajaib. “Kalo lahir lebih cepat, lo nggak bisa temenan sama gue dong,” komentarnya.

“Nggak apa-apa. Yang penting lo bisa milih gue buat nemenin lo di sisa hidup lo.” Langit berkata lirih, membuat Jatu tak enak hati. Lagi-lagi topik itu kembali diungkit.

“Sejujurnya, gue nggak ngerti pola pikir perempuan zaman sekarang. Banyak pria muda yang lebih tampan, tapi kenapa malah milih duda atau bujang yang nyaris kadaluarsa?” keluhnya, seolah-olah tengah bermonolog-ria.

Jatu terkikik mendengar keluhan itu. “Karena yang matang, lebih menantang,” jawabnya asal.

Langit mendengkus. “Apa perlu gue nginep dioven dulu, biar matang?” tanyanya dengan mata melotot, pura-pura marah.

Jatu makin terbahak. “Boleh boleh. Lo coba aja. Siapa tau berhasil. Kalo pun nggak, ya, nasib."

Langit mencibir mendengar komentar tak bertanggungjawab itu.

“Tantangan generasi muda kayak gue, makin berat aja.” Pria itu menghela napas, seperti tengah memikul beban berat. “Selain bersaing sama generasi se-angkatan, gue juga harus bersaing sama generasi lawas.”

Jatu kembali terbahak melihat tingkah pasrah Langit. Ia pun menepuk pelan pundak pria itu. “Lo jangan sedih gitu, Lang. Positif thinking, dong. Suatu saat lo pasti pasti ketemu jodoh lo. Mungkin jodoh lo adalah generasi se-angkatan, atau generasi senior, atau mungkin belum dilahirkan,” ucapnya, lalu kembali tertawa.

Langit melirik Jatu sambil memonyongkan bibir. Selama beberapa saat keduanya tertawa. Bagi Langit, momen itu adalah sebuah kebahagiaan. Sementara bagi Jatu, seperti pelepasan kekesalan.

“Jat," panggil Langit ketika tawa keduanya mulai mereda. "Lo yakin dia benar-benar serius sama lo?” tanyanya.

“Ya ampun, Lang. Udah berapa kali lo nanyain hal itu.” Jatu menatap pria di hadapan. Entah sampai kapan tema ini menjadi bahan pembicaraan mereka. 

"Gue nanya ini sebagai sahabat lo. Boleh dong?" Langit meminta persetujuan.

Jatu bergeming. Keduanya memang sepakat untuk menjaga hubungan persahabatan. Mereka tak ingin, masa-masa perjuangan bersama musnah begitu saja hanya karena rasa yang tidak saling berbalas.

“Pak Titan serius. Gue yakin itu,” jawab Jatu pelan, tapi penuh keyakinan.

Langit memandangi wajah Jatu. Dia tak rela gadis secantik itu disia-siakan oleh pria tak bertanggung jawab.

“Kalo emang serius, harusnya dia berani nunjukin status lo ke orang-orang. Ngumumin hubungan kalian. Seperti yang dilakuin Pak Yoga ke Raven. Toh, lo udah bukan mahasiswanya lagi,” ucap pria itu, dingin.

Langit lalu memalingkan wajah, menatap wisudan-wisudawati yang tengah hilir mudik. “Gue nggak ngerti sama pikiran duda itu. Dan lebih nggak ngerti kenapa lo milih dia”.

Jatu kembali menatap sekilas pada Raven. Sebenarnya, ada rasa cemburu menyeruak. Ia juga ingin diperlakukan seperti sang sahabat. Orang tercinta menghadiri wisudanya, memberi sebuket bunga, dan secara tidak langsung mengumumkan hubungan mereka pada dunia.

Jatu menunduk. ‘Jangankan lo, Lang. Gue aja sulit untuk ngerti jalan pikiran Pak Titan,’ gumam Jatu dalam hati.

Sang dosen memang sulit dimengerti. Sama seperti ketika Titan membagikan bunga ke seluruh mahasiswi yang mengikuti sidang skripsi di jurusan, kecuali Jatu. Hingga membuat banyak mahasiswi mulai menyalahartikan bentuk perhatian itu. Beberapa di antaranya bahkan terang-terangan mulai menggoda Titan.

Sementara Jatu? Satu-satunya bunga yang diterima saat pengumuman hasil sidang adalah sebuket mawar dari Langit.

Tiba-tiba, kalimat Langit kembali terngiang. ‘Harusnya dia berani nunjukin status lo ke orang-orang.'

“Jat." Panggilan Langit menghentikan lamunan Jatu. "Tunggu bentar, ya!”

Tanpa memunggu jawaban, pria itu berlari ke arah kerumunan. Meninggalkan Jatu yang masih hanyut dalam renungan. Yang hanyut dalam kebimbangan.

Selama lebih dari lima menit, Jatu duduk sendiri. Jauh berbeda dengan teman-temannya yang asyik mengabadikan momen di sana-sini. Setelah lelah menanti, ia pun memutuskan untuk beranjak dan kembali membersamai orang tuanya. Namun, Langit sudah berdiri di hadapan dengan keringat yang mengucur di kening.

“Nih!” pria itu mengulurkan sebuah teddy bear bertoga dan setangkai mawar merah.

Gadis itu bergeming sambil memandangi bingkisan yang disodorkan. Ada rasa enggan untuk menerimanya. Ia takut hal tersebut akan disalahartikan oleh Langit.

“Ambil aja. Ini tanda persahabatan. Anggap aja formalitas. Kayaknya lo adalah satu-satunya wisudawati yang nggak megang bunga atau boneka,” desak Langit saat melihat keraguan Jatu.

Dengan berat, Jatu menerima bingkisan itu. Ia yakin, Langit berniat baik. Bukankah pria itu sudah tahu bahwa ia akan menikah dengan Titan?

Thank you,” ucap Jatu.

Your welcome,” balas Langit. Ada rasa haru bercampur bahagia di hatinya. “Kalo tahu hari ini lo nggak dapet apa-apa, gue pasti udah nyiapin boneka seukuran lo dan bunga raksasa.”

Jatu menatap pria itu, sambil mengerutkan dahi. “Maksud lo, bunga Raflesia?” celetuknya yang disambut tawa Langit.

Setelah beberapa saat tertawa bersama, Langit kembali berdehem. “Mumpung lo lagi cantik, kita foto di sana, yuk.”

Langit menunjuk ke arah Tugu Civitas yang menjadi ikon kampus mereka. Selama ini, dia bercita-cita berfoto dengan gadis itu di sana. Paling tidak, bisa mengobati rasa sakitnya jika tak bisa berfoto dengan Jatu di pelaminan.

Tugu setinggi sepuluh meter itu berada di halaman aula utama. Bentuknya menyerupai Monas dengan warna cokelat tua. Di bagian depannya terdapat patung buku yang tengah terbuka lebar, menandakan semangat belajar yang harus terus dimiliki setiap civitas akademika.

Jatu menimbang sejenak, lalu mengangguk. Tak ada salahnya mengabadikan gambar dengan pria itu. “Yok, lah. Tapi jalannya pelan-pelan, ya. Soalnya, ini kali pertama gue pake kain ketat sama sepatu hak tinggi,” ucapnya sambil melirik ke arah bawah.

Langit mengangguk. “Kan, latihan buat nikahan nanti,” celetuknya dengan tenggorokan tercekat.

Jatu menyeringai, bingung hendak memberikan respon apa. Ia pun memilih untuk terus melangkah menuju tugu ikonik itu. Sementara Langit mengikuti di arah belakang.

Bagi mahasiswa UNI, acara wisuda belumlah sempurna jika belum berfoto di depan Tugu Civitas, lengkap dengan toga masing-masing. Maka tak heran jika antrian di sana mengular. Butuh waktu lebih dari lima belas menit hingga Jatu dan Langit mendapat kesempatan berfoto di sana.

Langkah-langkah keduanya saat menapaki tangga-tangga tugu, diantar oleh tatapan-tatapan cemburu dari ratusan wisudawati. Berpadu dengan gumaman-gumaman yang tak enak didengar. Membuat Jatu tidak enak hati. Selama sejenak, ia menyesali karena telah mengiyakan permintaan Langit.

“Sst, jangan didengerin,” ucap Langit saat melihat ketidaknyamanan di wajah Jatu. Dia lalu meraih pundak gadis itu, membimbingnya untuk berdiri tepat di depan tugu.

Dengan bantuan rekan mahasiswa yang lain, beberapa foto di tugu berhasil didapatkan. Membuat Langit tersenyum puas. Keinginannya terkabul sudah.

Karena keinginannya telah terpenuhi, pria itu lalu mengantar Jatu kembali pada orang tuanya. Setelah beberapa menit berbasa-basi, dia pun pergi. Ada rasa bahagia dan tidak sabar yang mendobrak-dobrak di dada.

🌹🌹🌹🌹🌹

Jatu baru saja mengoleskan salep pereda nyeri otot di betis. Kaki-kakinya masih terasa pegal karena terlalu lama mengenakan high heels sambil mondar-mandir ke sana-sini. Setelah mengoleskan salep itu, rasa hangat yang menjalar mulai meringankan kekakuan otot-otot.

Ia lalu melihat ke arah cermin. Menimbang-nimbang untuk mengoleskan salep yang sama di bibir. Otot-otot bibirnya juga terasa pegal karena terlalu banyak tersenyum di depan kamera seharian tadi.

Di tengah keasyikannya berpikir, sebuah notifikasi pesan masuk. "Siapa yang ngirim pesan malam-malam gini?" sungut Jatu, tapi tak urung membuka pesan tersebut.

(BUKA GRUP FB ALUMNI UNI! SEKARANG!!!!!!)

Sebuah pesan dengan capslock jebol dan overdosis tanda seru. Jatu melihat pengirimnya. Raven. Ia sontak menelan ludah. Jika sang sahabat bertindak seperti itu, berarti ada hal penting yang telah terjadi. Segera diturutinya perintah tersebut dengan hati berdebar-debar.

🌹🌹🌹🌹🌹

Brak!

Buku setebal lebih dari 800 halaman membentur dinding kamar. Hampir-hampir saja pria itu hilang akal dan membanting ponselnya. Namun, segera tersadar bahwa dia masih memerlukan benda pipih tersebut untuk keperluan penting lain. Maka, buku yang tengah tergeletak di nakas menjadi sasaran amukannya.

Titan menenggelamkan wajah dalam telapak tangan. Giginya gemeletak. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu. Masih teringat jelas postingan yang dibagikan di Grup FB Alumni UNI. Dua orang wisudawan tengah berfoto di depan Tugu Civitas.

Sebenarnya, foto sejenis bukanlah hal yang baru. Namun, di mata Titan, semua yang ada dalam postingan itu membuatnya murka. Senyum terkembang dari dua orang di dalam foto, buket bunga dan boneka yang dipegang salah satunya, hingga caption yang dituliskan. Singkat, tapi mampu mengobrak-abrik hatinya.

(Gladi resik photo session di pelaminan.)

“Lagi-lagi bocah itu!” geramnya dengan mata berkilat.

🌹🌹🌹🌹🌹

Cie... cie... Ada yang ngamuk.

Btw, kira-kira seperti inilah penampakan Jatu berkebaya tanpa toga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro