IKRAR TIGA KELINGKING

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Botol air mineral di hadapanku tinggal seperempat. Sementara satu porsi roti bakar nutella, satu porsi pisang bakar keju cokelat, dan sepiring kentang goreng, sudah raib entah ke mana. Maaf, aku bohong. Tentu saja aku tahu keberadaan mereka. Tepat di dalam perutku.

Sebenarnya, aku tidak setuju dengan pertemuan di Coffee Campus ini. Bagaimana tidak? Saat aroma kopi menguar di seluruh ruangan, aku harus berpuas diri dengan sebotol air mineral. Kalo cuma minum air putih, kenapa juga harus ke sini? Mungkin itu yang ada di benak para pengunjung lain. Sungguh, aku pun ingin menikmati segelas kopi seperti mereka, jika saja lambungku tidak cerewet. Kena kafein sedikit, dia ngambek.

Pada awalnya, sosok yang ingin menemuiku memberikan dua pilihan lokasi pertemuan: Coffee Campus atau Rainbow Café. Namun, karena tahu persis karakter sosok tersebut, aku lebih memilih Coffee Campus. Jika pembicaraan hari ini tidak lancar, dan ia memutuskan tak mau membayari makananku, paling tidak dompetku tidak jebol.

Aku kembali menyeruput air mineral. Sesekali melihat jam di tangan. Empat puluh menit lagi café ini tutup. Namun, sosok itu masih belum datang.

Selagi asyik menggerutu, ekor mataku menangkap satu sosok menjulang tengah berjalan tergesa dengan seorang gadis kecil berkucir satu. Dengan setengah berlari, mereka akhirnya memasuki Coffee Campus.

"Maaf, saya telat. Kami dari bandara." Alih-alih salam, sosok itu langsung mengucapkan kata maaf, lengkap dengan alasan keterlambatan. Ia pasti tidak mau menyinggung perasaanku.

"Nggak apa-apa. Silahkan duduk," ucapku sambil menunjuk kursi kosong di hadapan.

Anak beranak itu pun segera duduk bersampingan. Aku menyeksamai wajah keduanya. Ah, aku memang tidak salah pilih. Sang papa cukup tampan, sementara anaknya sangat lucu menggemaskan. Meski tidak memiliki ikatan darah, hubungan keduanya sangat akrab.

"Jadi, ada perlu apa?" tanyaku to the point. Aku ingin buru-buru pulang dan rebahan. Serius!

"Em... ng... anu... begini, sebenarnya...." Sosok pria itu tampak terbata-bata.

"Jadi, Ahjuma, papa tuh nggak setuju sama ending seperti ini!" tukas gadis perempuan itu.

"Oh." Aku mengangguk-angguk. Wait! Tunggu! Apa maksudnya panggilan tadi? Aku pun berdehem. "Ahjuma? Siapa yang kamu panggil ahjuma tadi?" tanyaku dengan mata melotot.

Sang ayah segera menyikut pelan lengan bagian atas putrinya. "Maaf, Sensei. Maaf!" Pria itu langsung menundukkan kepala.

Mata melototku mulai kembali ke ukuran normal. Sensei? Ah, aku tiba-tiba merasa seperti Aoyama Gosho dan Eichiro Oda. Sontak, senyumku mengembang. Setidaknya, sang ayah tahu cara menghormati orang yang ingin dimintai bantuan.

"Kenapa kamu nggak setuju?" tanyaku ringan, berusaha terlihat bijak.

"Begini, Sensei...."

Pria itu membasahi bibir. Mungkin dipikirnya aku akan tergoda. Huh! Tentu saja iya! Maksudku, tentu saja tidak!

"Pertama, saya, Titan Bhaskara, adalah tokoh utama cerita ini. Apa gunanya saya hadir dari bab satu ketika ending-nya justru merugikan saya? Saya nggak terima!"

Aku melipat tangan di meja. "Kamu pikir, tokoh utama harus selalu mendapat ending bahagia?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Titan malah bertanya lagi, "Kedua, di blurb dituliskan bahwa saya sedang mencari calon ibu sambung untuk Amore. Tapi, kenapa ujung-ujungnya tujuan itu tidak tercapai?" tanyanya lagi.

Aku berpikir sejenak. "Memang kamu pikir semua tujuan harus tercapai?" tanyaku balik.

Sosok itu sontak terdiam.

"Kalo kaya gitu, aku nggak setuju ahjuma pakai namaku untuk jadi judul!" tegas Amore.

Aku berpaling. Lagi-lagi gadis kecil itu memanggilku ahjuma. Dipikirnya aku siapa, heh? Yang lebih penting, dia tidak mau aku memakai namanya untuk judul. Lalu, aku harus mengganti judul cerita ini dengan apa? Si Penikung yang Beruntung? Astaga! Bagaimana jika orang-orang berpikir bahwa ini cerita fabel?

"Hei, Anak Kecil! Ending seperti itu bisa terjadi awalnya karena kesalahan papa kamu," tukasku. Mencoba membuat gadis kecil itu mengerti.

Amore sontak berpaling pada sang papa. "Kata papa, ini karena kesalahan yang nulis cerita," rajuknya.

"Em...." Titan terbata. "Lagian, kamu kenapa pakai acara kabur, sih?" omelnya pada gadis kecil itu.

"Loh, kalo aku nggak kabur, terus akhirnya tinggal di Amsterdam, memang papa nggak bakal nangis?" ledek Amore.

"Yang nangis siapa? Kamu atau papa?" tantang si pria dewasa.

Aku geleng-geleng melihat perdebatan kedua anak beranak di hadapan. Jika hanya untuk menyaksikan hal itu, lebih baik aku pulang dan rebahan. "Jadi, saya sudah bisa pergi?" tanyaku memotong debat keduanya.

"Jangan, Sensei!"

"Jangan, Ahjuma!"

Keduanya melarang hampir bersamaan, membuatku bingung harus melotot atau tersenyum.

"Sensei, bisa nggak ending ceritanya diubah?" tanya Titan. Kali ini, ia memasang ekpresi yang terlihat sangat serius.

"Diubah gimana?"

"Gimana, kek. Yang penting happy ending."

"Bukannya akhir cerita ini juga happy ending? Raven happy ending sama Yoga. Jatu happy ending sama Langit. Kamu happy ending sama Amore," ujarku.

"Maksud saya, happy ending yang sesuai blurb. Jatu akhirnya menikah dengan saya dan jadi ibu sambung Amore," terang Titan.

Aku mengetuk-ngetukkan jari di meja. "Gimana, ya? Sulit, sih. Masalahnya, kesalahan krusial kamu ada di bab 32."

"Saya akan memperbaiki kesalahan itu. Saya janji!" ucap Titan sambil mengulurkan kelingking kanan.

Alih-alih menyambut kelingking itu, aku memilih untuk berpikir. Menimbang-nimbang segala kemungkinan. Setelah beberapa menit, aku akhirnya membuat keputusan.

"Oke. Akan saya coba ubah. Tapi, ada beberapa syarat."

"Apa?" Pria itu tampak tak sabar.

"Pertama, saya nggak bisa ubah ending di Wattpad. Tapi, kamu punya kesempatan di novel. Gimana?" tawarku.

"Nggak apa-apa. Yang penting, saya mendapat happy ending yang lengkap. Sesuai blurb."

Aku mengangguk-angguk. "Kedua, kesalahan fatal kamu ada di bab 32. Jadi, kita akan mengulang adegan itu. Kamu harus berubah, jika ingin hasilnya berubah."

"Akan saya lakukan!" ucapnya lagi.

"Ketiga, semua nggak instant. Dalam arti, saya nggak bisa tiba-tiba naruh pintu ajaib di bandara, sehingga Amore bisa langsung pulang ke rumah sebelum kamu terima telepon dari Dinda. Jadi, akan ada perjalanan panjang, berliku, dan rumit yang harus ditempuh semua tokoh, terutama kamu, Jatu, dan Amore, sebelum kalian bersatu."

Pria di depanku mengerutkan kening, tampak ragu-ragu. "Kira-kira sepanjang apa?"

Aku menghitung jari jemari. "Mungkin sampai part 45 atau 46."

"Baik. Saya siap. Asal masalahnya jangan rumit-rumit amat," tawarnya.

"No tawar-tawar!" tegasku. "Udah minta tolong, nawar-nawar lagi. Kamu pikir saya pedagang baju di Tanah Abang?" Aku menggerutu.

"Baik, Sensei!" ucapnya sambil menundukkan kepala. "Maaf."

Aku kembali mengangguk, lalu melanjutkan. "Ke... yang keberapa sekarang, ya?"

"Keempat, Ahjuma!"

Aku mendelik.

"Keempat, Seonsaengnim," koreksi gadis itu.

Aku tersenyum. Gadis kecil itu cukup pintar beradaptasi. "Keempat," aku menoleh ke kanan dan kiri, "ini rahasia. Tidak boleh ada satu pun tokoh yang tahu rencana ini. Kalo nggak, semua akan kacau. Tidak natural. Oke?" ucapku setengah berbisik.

Kedua anak beranak pun mengangguk.

"Termasuk kalian berdua," tambahku.

Keduanya saling berpandangan, tak mengerti.

Aku segera mengambil pil yang selalu kubawa untuk berjaga-jaga. "Setelah minum pil ini, dalam sepuluh menit, kalian akan melupakan pertemuan dengan saya. Dan semua akan kembali seperti sebelum part 32. Gimana?" tanyaku sambil menyodorkan pil tersebut.

Aku bisa melihat kedua anak beranak itu ragu-ragu.

"Bagaimana saya bisa membuat keputusan yang tepat, jika lupa apa yang harus dilakukan?" tanya Titan.

"Kamu harus yakin sama diri kamu sendiri," omelku.

Kulihat pria itu mengangguk. Lalu dengan tangan bergetar, Titan -yang disusul Amore- segera mengambil pil dari tanganku. Mereka pun menenggaknya.

Kemudian, Titan mengulurkan kelingking kanannya. "Buatlah happy ending yang lengkap untuk kami," pintanya.

Gerakan itu diikuti oleh Amore. "Janji, ya, Seonsaengnim." Gadis itu meminta hal yang sama.

Aku bisa melihat kecemasan di mata keduanya. Aku tahu, mereka pasti khawatir rencana ini tidak berjalan lancar. Namun, aku tak akan mengecewakan mereka. Dengan segera, kusambut dua kelingking itu.

Sore itu, janji tiga kelingking telah terikrar di salah satu kedai kopi di mana aku tidak bisa menikmati kopi. Dan, pekerjaanku pun bertambah. Jiangkrik!

🌹🌹🌹🌹🌹

Dua tersangka yang bikin kerjaan saya bertambah.

🌹🌹🌹🌹🌹

Noted :

Yang berminat mengikuti ending versi lain dari cerita ini, mohon bersabar menanti kabar selanjutnya. 🙏😁

Atau bisa berteman di FB saya @ Nita Simamora

Atau pantengin FB dan IG karospublisher di Karos Publisher.

Terima kasih
Thank You
Gamsahamnida
Arigatou Gozaimasu

🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro