32. Stay Strong, Zelts! (Kiranti)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama: Kiranti Dewi Mawadah
Jurusan:
1. Romansa
2. Teenfict

❤❤❤

Wanita berumur 25 tahun itu berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Mata kekuninganku tak mau balas menatapnya. Aku sudah muak dengan semua yang dilakukan perawat itu. Semua bualannya mengenai ‘berjuanglah untuk hidup’ atau ‘mencari tujuan agar tetap hidup’ sudah membuat telingaku bosan. Seakan ia tak memiliki topik lain yang bisa dibahas.
Aku sudah menyerah dengan semuanya. Seakan terlahir sial, kini aku tak lagi punya tujuan hidup. Orangtuaku sendiri tak pernah mempedulikanku, padahal aku sudah melakukan banyak hal demi mendapat perhatian mereka. Aku sudah mencoba menjadi anak pintar dengan semua sertifikat yang aku dapatkan sejak bangku sekolah dasar hingga kuliah, tetapi mereka tidak peduli. Saat aku mencoba hal lain untuk mendapatkan lirikan mereka dengan memakai obat terlarang, mereka semakin tidak peduli. Sampai  penyakit ini datang, mereka berakhir dengan menatapku jijik dan cepat-cepat menyuruhku pergi.
Di sisi lain, dokter bilang aku sangat beruntung, penyakitku diketahui dengan cepat, tak sampai setahun sejak virus itu ada dalam tubuhku. Aku mengernyit heran, apanya yang berutung jika sudah ada penyakit seperti ini? Dokter bilang semakin cepat ditemukan, maka kemungkinan untuk hidup lebih lama akan semakin besar. Awalnya aku takut, tetapi sejak melihat reaksi otangtuaku saat itu, aku jadi tidak peduli lagi.
“Berdasarkan tes kemarin, sepertinya Zelts sudah tidak berniat untuk memakai NAPZA lagi, ya?”  wanita dengan label nama ‘Azure Magnolia’ itu berbasa-basi lagi setelah duduk di sebelahku.
Aku meliriknya dengan setengah hati, lalu menjawab bersama dengan uap yang keluar dari mulutku, “Tidak ada alasan bagiku untuk memakainya lagi.”—ya, aku sudah menyerah mencari perhatian orang di sekitarku.
“Kalau begitu kau harus sering-sering meminum obatmu, jika kau melakukannya, mungkin kau akan diperbolehkan untuk keluar dari tempat rehabilitasi ini. Ah, kudengar menu hari ini adalah Quiche dengan jamur! Habiskan makananmu, ya? Jangan kau sisakan seperti biasanya,” bujuknya dengan mata besar dan berbinar.
Aku menghela nafas panjang. Baik minum obat  atau makan, rasanya aku malas untuk melakukan keduanya. Sama sekali tidak ada kegiatan yang menarik minatku, kerjaanku sehari-hari hanya berkeliling taman, lalu duduk di bangku ini sambil menikmati hawa dingin yang menusuk. Setelah itu, Azure pasti akan datang saat semua pekerjaannya selesai. Seperti saat ini.  Terus saja seperti itu setiap hari, berputar-putar seperti kaset yang rusak.
“Lalu, jika ada masalah ceritakan saja! Orang-orang di sini, terutama aku, akan mendengar semua ceritamu!” ucapnya dengan penuh semangat. Aku memutar mataku saat melihat sikap sok perhatiannya, tetapi itu tentu saja bagian dari pekerjaannya.
“Pergilah dan kerjakan saja pekerjaanmu,” balasku ketus.
Azure tersenyum maklum mendengarku, ia seperti sudah terbiasa dengan hal itu. “Semua  pekerjaanku sudah selesai. Sebenarnya jam kerjaku sudah habis hari ini.”
Aku berdecak sebal dalam hati. Terkadang aku kesal dengan sifat keras kepala dan pantang menyerahnya untuk mendekatiku. Beberapa orang di rehabilitasi ini berkata jika Azure kemungkinan besar menyukaiku.
Itu hal yang tidak mungkin. Tidak ada keuntungan baginya untuk tetap bersamaku. Azure bersikap sangat peduli seperti itu hanya karena aku salah satu dari pasiennya atau bisa saja karena dia merasa iba kepadaku—satu-satunya pasien rehabilitasi dengan virus HIV di sini—atau karena tidak pernah ada yang datang untuk melihatku. Jadi, dia sangat sering menemaniku di saat senggang dan mengganti bunga-bunga di kamarku.
Apa itu hal yang biasa dilakukan oleh seorang perawat wanita?
“Apa kau tidak ingin masuk untuk menikmati penghangat ruangan dan jeruk mandarin? Aku baru ingat jika kita dapat banyak hari ini!” ajakannya memecahkan kesunyian yang nyaman.
“Masuk saja sendiri, aku lebih suka mati kedinginan di luar sini.”
Beban pada bangku yang kami duduki berkurang. Azure tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapanku. Wajahnya dengan jelas mengatakan jika ia tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan, tetapi sayangnya aku tidak sedang bercanda.
Dia terlihat kesal dengan ucapanku. “Tolong jangan mengatakan hal itu, Zelts! Kau seharusnya bersyukur sudah diberi kehidupan. Kau harus menjalaninya dengan sungguh-sungguh dan tidak berputus asa!”
Aku memicing. “Meskipun kau bertugas untuk merawatku, jangan campuri urusanku. Urusi saja 1.492 pasienmu yang lain.”
“Mana bisa begitu?!”
“Kau sangat berisik! Lagipula jika aku mati tidak akan ada yang peduli padaku. Kau di sini juga karena pekerjaanmu, kan?! Jika kau tidak dibayar, kau tidak akan melakukan hal ini. Atau kau merasa kasihan padaku? Aku tidak butuh itu.  Apa gunanya mengurusi urusan orang lain?”
“Tentu saja ada! Aku peduli padamu bukan karena uang! Karena pekerjaanku ini akhirnya aku bertemu denganmu! Aku tidak mungkin membiarkanmu mati! Memangnya salah jika aku mengasihanimu dan ingin berada di dekatmu? Kau selalu sendirian, tidak pernah ada yang datang menjengukmu atau menanyakan kabarmu! Jika bukan aku yang melakukannya siapa lagi?! Apa kau tidak suka dengan keberadaanku? Sendiri itu tidak menyenangkan, kan?! Kau saja tidak menyukainya!”
Aku menahan nafasku seketika saat mendengar bahwa Azure memang hanya mengasihaninya. Tatapan mata wanita itu begitu membara, seakan keinginan untuk berada di sampingnya adalah impiannya yang harus ia dapatkan.
“Berhenti menggangguku! Aku tidak ingin dekat dengan siapapun lagi. Mengenal orang lain hanya akan berakhir menyakitkan. Pada akhirnya semua akan pergi dan tidak peduli padaku! Apanya yang teman? Mereka pergi saat tahu aku sakit!Dan bersikap baik padaku, tapi… tapi…”
Aku menunduk dalam dan mencengkeram jaket yang melapisi dadaku. Rasanya menyakitkan saat mengingat mereka yang pergi semakin menjauh dan tak pernah menoleh sekalipun kepadaku. Rasanya memang memalukan saat membiarkan air yang mengalir dari sudut mataku jatuh ke atas tumpukan tanah yang membeku, tetapi rasa sesak di dada lebih menyakitkan, bahkan bibir yang kugigit hingga berdarah pun tidak ada apa-apanya.
“Tidak ada gunanya aku tetap hidup. Tidak ada lagi yang membutuhkanku. Lebih baik aku mati dan sendirian saja,” keluhku. Tatapanku berubah kosong , rasanya aku semakin putus asa setelah menceritakannya pada Azure.
Tangan kecil itu menggenggam lengan jaketku dengan gemetaran. Aku tidak mencoba menepisnya, rasanya fisikku sama lelahnya dengan batinku. Aku ingin cepat-cepat mengakhiri semuanya. Diam-diam aku melirik Azure yang menunduk dengan bahu bergetar, sedikit bertanya-tanya tentang apa yang terjadi  dengannya, meski sejujurnya aku sedikit tidak peduli.
“…intaimu,” bisiknya dengan suara parau yang tidak jelas. Aku memiringkan kepalaku heran, sekali lagi, aku enggan untuk membuka mulut hanya untuk sekedar mengatakan ‘apa’. Namun,  Azure tiba-tiba saja mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata. Pupilku mengecil kala ia menarik nafas dalam dan berkata, “Aku mencintaimu! Aku akan selalu ada di sampingmu, meski hanya aku saja yang ada di sini, karena itu janganlah kamu berputus asa dan tetaplah hidup.”
Itu pernyataan yang mengejutkan. Kupikir apa yang dikatakan orang lain tentang Azure yang menyimpan perasaan kepadaku hanya bualan semata, mendengarnya langsung seperti itu adalah hal yang tak pernah kusangka sebelumnya. Ia menjadi orang pertama yang berkata akan selalu ada di sisiku dengan tulus. Tidak pernah ada orang yang menunjukkan kegigihannya hanya untuk bersamaku, si brengsek yang  kesepian.
Hanya saja, aku menggeleng setelah terpaku beberapa menit. Aku hanya  orang dengan virus HIV dalam tubuhku, tak ada obat, tak ada jalan keluar, satu-satunya hal yang dapat menghilangkannya adalah dengan pergi dari dunia ini. “Kau tidak akan bahagia denganku. Carilah orang lain yang akan bersamamu lebih lama daripada diriku.”
“Itu tidak benar! Setiap saat aku melihatmu, aku selalu bahagia. Aku ingin kau merasakan hal yang sama. Aku ingin kau tersenyum bahagia saat melihatku, seperti yang biasa aku lakukan padamu. Tidak usah pedulikan penyakitmu. Setiap orang pasti akan mati, cepat atau lambat. Tidak ada yang tahu kapan seseorang akan mati, jadi… tolong… hiduplah. Ayo berbagi kebahagiaan bersamaku.”
Aku menatap wanita yang lebih muda setahun dariku itu tidak percaya, “Kenapa kau melakukan itu?”
Azure mengangkat wajahnya, mata birunya yang berkilauan itu memberikan tatapan yang tak pernah kuterima sebelumnya, sebuah tatapan tulus yang aku idamkan dari orang-orang di sekitarku. Tangannya menggenggamku dengan erat, seakan ingin berbagi kehangatan yang sama.  “Karena aku mencintaimu, aku ingin berbagi kebahagiaanku. Jika kau tetap hidup, aku berjanji aan memberikan semua yang tak pernah kau dapatkan. Kau hanya manusia biasa yang butuh bahagia. Tenangkan dirimu, lalu coba cinta dirimu jika kamu memang belum bisa mencintaiku.”
Pandanganku kembali mengabur karena tumpukan air yang menerobos ingin keluar. Aku tidak pernah mebayangkan bagaimana rasanya jika seseorang menaruh seluruh perhatian mereka kepadaku, yang kulakukan hanyalah terus mengemis dan mengemis, berharap mereka menoleh meski hanya sebentar dengan senyum palsu mereka. Namun perasaan ini lebih dari yang aku harapkan. Kebahagiaan yang tak terkira seakan mengatakan jika aku adalah pria paling bahagia sedunia saat ini.
“Aku akan sangat senang jika kau mau hidup untukku,” lirih Azure dengan senyum dan pipi kemerahan, tangannya terus menggenggamku dengan erat.
“Aku hanya perlu tetap hidup dan berada di sampingu saja, ‘kan?” tanyaku mencoba memastikan. Azure mengangguk mantap seakan air matanya tak pernah kekuar.
“Tentu saja! Lalu aku akan memberikan semua yang tak pernah kau dapatkan! Sebenarnya kebahagiaan itu datang dari diri sendiri, tidak perlu memintanya dari orang lain, tetapi adakalanya bahagia itu juga berasal dari orang lain.”
Aku tersenyum kecil dan mengangguk. Mungkin ini memang saatnya untuk berubah dan tidak menyerah pada diri sendiri, mungkin memulai hidup baru tidak semudah yang dibayangkan, tetapi jika ada Azure di sampingku,  aku akan merasa lebih tenang.

--- The End ---

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro