#2 Ch: Chester

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Laki-laki muda itu memasuki ruangan depan. Dia ditemani oleh seorang perempuan muda di belakang punggungnya. Sekilas pandang, perempuan itu pacarnya.

"Hai! Selamat sore!"

Suara sapaan lelaki itu memenuhi hampir seluruh ruangan.

Aku mendengar bisikan dari si perempuan. "Ches, kau yakin kalau kita tidak salah memasuki rumah?"

Si laki-laki menjawab dalam bisikan juga, "Tentu saja benar. Bukankah kita juga mendapatkan alamat ini secara tidak langsung dari si Tuan Pengacara Cherlone?"

Tuan Pengacara Cherlone -- sepertinya pernah kudengar nama julukan itu. Tanpa ada perintah langsung dari otakku, tahu-tahu saja aku sudah menemukan jawabannya.

Tuan Pengacara Cherlone itu nama julukan untuk Sarron Cherlone. Profil, data lengkap, alamat, bahkan sampai foto dan beberapa video rekamannya terpampang jelas di 'hadapan' diriku.

Sekali lagi, aku dibuat bingung oleh kemampuan diriku sendiri.

"Kalau begitu, aku harus memanggil lagi," ungkap si lelaki itu memberitahukan pacarnya akan inisiatif tindakannya kemudian.

"Selamat sore!"

Aku sudah tidak tahan lagi. Ke manakah penghuni rumah ini?

"Selamat sore," sahutku menyahut salam itu.

Sambil menatap sang pacar, lelaki itu berkata kepadanya, "Bisa kau dengar kalau rumah ini berpenghuni?"

"Tuan Muda, aku dengar suaramu meski kau pakai nada rendah," sindirku telak.

Mereka tampak kaget, terutama si laki-laki.

Setelah dia kaget, otakku berhasil menangkap aliran energi serta gelombang yang memancar dari pikirannya. Rupanya dia bukanlah orang biasa. Mata, telinga, dan penciumannya tampak waspada, selain berusaha mencari-cari keberadaan diriku.

Lalu dia berjalan dari ruang depan, tanpa meminta persetujuan dari pacarnya. Sikapnya bagaikan seekor hewan liar yang asyik mengintai mangsanya dengan begitu agresif.

Merasa asing dengan lingkungan baru, perempuan itu diam saja di posisi semula. Namun kemudian, berniat membantu usaha diam-diam sang pacar, dia mencoba bertanya, "Maafkan kami, Tuan rumah. Di mana kau berada?"

Ada sesuatu di hatinya yang mendorong si perempuan melihat ke arah... diriku -- ya, tepat sekali! Ke arah diriku. Perasaanku jadi tak karuan. Kaget, gugup, malu, pasrah, dan rendah diri bercampur menjadi satu. Sungguh aneh, aku tidak merasakan detak jantung punyaku sendiri.

Sorot matanya menusuk relung... -- apakah aku masih memiliki hatiku sendiri?

"Tidak ada orang di seluruh penjuru rumah ini!" mendadak laki-laki itu berseru dengan kencangnya. "Kita sudah dibohongi! Atau, mungkinkah suara pria yang tadi itu palsu?"

Aku merasa tersinggung.

"Hati-hati bicaramu, Tuan Muda! Jangan anggap dirimu merasa paling tahu isi rumah ini. Kalian baru menginjakkan kaki di sini!"

Perempuan itu memalingkan wajahnya dari arah menatap diriku.

Gelombang energi dari kepala si laki-laki belum berhenti. Keyakinanku semakin bertambah kalau dia mampu mengontrol bakat khususnya ini. Ya, memang bakat khusus. Sejak berabad-abad lamanya, peradaban mengenalnya sebagai indigo.

Tunggu, sejak kapan aku jadi bisa mendeteksi kemampuan indigo?

Lelaki itu berusaha bersikap tenang. Aku bisa membaca jelas bahasa tubuhnya. "Oke, kau benar -- kami baru saja menginjakkan kaki di sini. Masalahnya adalah -- sebagai tuan rumah -- kenapa kau tidak mau menyambut kami?"

Tanpa berpikir panjang, kuberondong dia dengan ucapan, "Kau yang memasuki rumah ini tanpa izin -- lebih tepatnya, berdua bersama pacarmu. Kulihat dengan sangat jelas, kalian memasuki pekarangan depan, sebelum menggunakan kunci warna cokelat itu untuk membuka pintu kayu. Semua ruangan di sini kau masuki dengan penuh kecurigaan dengan -- sekali lagi -- tanpa izin."

"Kalau kau memang ada, tunjukkan dirimu!" lelaki itu kehilangan kesabaran juga.

Sebelum aku sempat membalas, sambil melihat kembali ke arah diriku, si perempuan berseru pada pacarnya, "Jangan pakai emosi, Ches! Coba kau ingat-ingat lagi pengalaman pertama kita memasuki rumah keluarga Cherlone di Area London."

"Apa yang kau maksudkan?" tanya laki-laki itu melunak.

Perempuan ini pintar. Dengan satu kalimat, dia berusaha melakukan dua hal. Pertama, memancing pacarnya untuk melihat ke arah diriku. Kedua, memancing diriku untuk terus bersuara sehingga pacarnya itu menyadari kehadiranku.

"Kenapa kau berbicara seperti layaknya manusia yang punya emosi? Pertama, tidak ada sistem komputer rumah yang mengucapkan serangkaian kalimatmu tadi itu. Dan yang kedua, tidak ada rumah tua kecil begini yang punya sistem komputer rumah."

Laki-laki yang tentu saja pacarnya itu cuma melongo. Dia sudah berada di sisi perempuan itu saat berkata padaku, "Ternyata kau cuma ada di balik kamera."

"Satu hal lagi--," si perempuan mengoreksi dugaanku tadi dengan tenang namun tajam menusuk, "--kami bukan sepasang kekasih, melainkan saudara kembar. Namaku Cheryl, dan dia itu Chester."

Itulah awal pertemuan sekaligus perkenalan kami bertiga. Aku dengan duo Chester dan Cheryl. Tanpa kuduga, Cheryl bukanlah sosok yang baru kukenal sekarang. Kami pernah bertemu di masa lalu kehidupan kami.

☆☆☆☆☆

Gimana dengan part cerita pertama di wattpad ini?
Tentu saja, Christevan dipertemukan dulu dengan si duo detektif kembar, Chester dan Cheryl. Ada yang udah bisa menduga ke arah manakah jalan ceritanya?

Untuk memudahkan melanjutkan membacanya, silakan:

1.Jika bisa, buka aja dari link berikut:
https://tinlit.com/read-story/4326/17624

2.Jika tidak, carilah promosi Chapter 3 APC di wall akun wp saya di tgl. 21 Des 2019 pk. 11.59 pm (tanpa menyertakan link cerita di wattpad)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro