MAUT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari itu, dengan hari biasamu taklah sama
Bisa jadi hari itu bagaskara tak lagi menyapa
Ia hanya menganggapmu mega yang tak nyata
Mega hampa yang halangi cahyanya.

Hari-hari mu sebelum hari itu
Penuh lika liku yang tak kau tahu
Pagi hari kau dengarkan panggilan Tuhanmu
Kau tarik lagi kemul menutup kepalamu.

Hari mu yang biasa
Masih kau lewati tanpa kenal gundah
Berapa purnama lagi, agar kita berjumpa
Disini masih setia kutunggu, setidaknya kau kuberi waktu.

Esok hari pun masih sama.
Terlewat dengan mudah, kau tak kenal tanda.
Kulemparkan baja, bebal sekali kau terima.
Masih lama, kuharap kau masih bisa berubah.

Satu, dua, tiga.
Jam pasir ini mulai kehilangan bulirnya
Kau mulai rasakan beda pada raga
Siang malam kau bertanya, ada apa?

Harusnya kau tak menoleh ke lain arah
Menatap ia yang tak bisa memberimu berkah
Sekali saja salah langkah
Sesal kau terima, tiadalah hidayah.

Tak ada salah kaprah
Tiadalah guna guna
Semuanya yang kau terima
Tiada lain adalah prosesnya.

Jalani dengan berani
Orang memilih, pasti tahu arti
Sesat dirimu sendiri tak lain karena kurang membekali
Maka terimalah, apa yang kau tuai dari awal mula berdiri.

Hari hari berlalu bagai desing peluru
Aku ingin tertawa melihatmu yang membeku
Wahai manusia, tidakkah kau tahu?
Meringkuk bak bulu, tak hentikan hitungan mundurku.

Dulu satu dua tiga, sekarang tiga dua satu.
Bila kau dengarkan aku, jam pasirku tak lagi menderu
Tandanya kau sudah kehabisan waktu
Haha. Selamat bertemu.

Satu tarikan, perlahan yang semu
Berkumpul di tenggorokan, sanak saudaramu berseru
Lelah aku mendengar keluh,
Maaf, tak bisa kuhentikan bila sudah di kerongkonganmu.

Katakan halo, pada alam yang baru
Selamat atas leha-lehamu
Terimalah pembalasan dari pencipta-Mu
Salahmu sudah lupakan eksistensiku.

Tentanda, Maut.

***

Pub: 21 Nov

Puisi ini lolos seleksi lomba cerpen oleh Penerbit Anlitera, dan menjadi salah satu karya dalam buku cetaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro