Part 9 - Penjelasan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pulang?

Sepertinya Syifa tidak begitu serius dengan ucapannya tadi. Gadis itu kini telah mengubah haluannya.

Kaki kecilnya terus melangkah pelan ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari sekolah. Ia masih tak habis pikir dengan apa yang menjadi keputusan Andi tadi.

Nggak mau! Gue gak mau kalo Marco harus ngehancurin semuanya, lagi.

Syifa gegas mengacak rambutnya kesal. Gadis itu kini melangkah terburu saat mendapati hijaunya taman kota yang berada di depannya.

Aroma kesejukan alam mulai menelusuk hidungnya saat ia menghirup oksigen lalu mengeluarkannya secara perlahan. Manik matanya mulai memutar pelan ke sekeliling taman kota. Pemandangan yang cukup sepi ia dapati saat ini.

"Aaaaaaaargh." Syifa berteriak sekencang-kencangnya. "Kenapa? Kenapaaaaa?" lanjutnya berteriak.

Deru jantungnya kini berdetak tak karuan. Ia masih saja kesal mengingat keputusan Andi tadi.

Syifa kembali melangkahkan kakinya. Kali ini ia berniat menuju air mancur yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri tadi.

Perlahan percikan air mulai hinggap di epidermis kulitnya. Teriknya matahari tak menghalanginya langkahnya. Gadis cantik itu kini mendongakkan wajah, menikmati setiap percikan yang mulai memberi ketenangan dirinya.

Saat Syifa tengah menikmati kesenangannya, sebuah interupsi mulai mengganggu. Gadis itu lantas mendengus kesal.

Siapa sih? Ganggu orang happy aja.

"Syifa?" Suara tersebut kembali menginterupsi gadis itu dan dengan terpaksa ia menoleh ke sumber suara.

"Siapa si-?" Syifa terkejut mendapati sosok tersebut. Tanpa sadar ia meneguk salivanya saat mendapati pria jangkung di hadapannya.

Manik cokelat pria itu semakin bersinar di bawah teriknya mentari. Setelan kemeja dengan lengan baju yang tergulung membuat Syifa kembali terpesona dengan sosok tersebut.

"Kenapa kamu di sini? Ini belum jam pulang sekolah," tegur lelaki itu kepada Syifa.

"Saya-tadi-itu ... aish!" Syifa merutuki dirinya yang berbicara terbata.

"Ikut saya sekarang," lelaki itu berjalan mendahului dan Syifa kini mengekor di belakang.

Gadis berambut panjang itu membungkam dan terus berjalan tertunduk. Jemari kecilnya tak henti memilin ujung seragam sekolahnya yang sudah tidak rapi.

Kini keduanya berhenti dan duduk di bangku taman. Untungnya pohon rindang menghalau terik sinar di siang itu.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya. Kenapa kamu bisa di sini?" Lelaki itu kembali bertanya.

"Hm ... Pak Radit ngapain di sini?" Bukannya menjawab Syifa malah berbalik tanya. Hal itu membuat Radit tersenyum sambil memicingkan matanya.

"Kamu ini, ya. Tadi saya yang nanya, kenapa kamu nanya balik?"

"Gak pa-pa, Pak. Saya cuma mau cari udara seger, sumpek di sekolah," jelasnya kepada Radit.

"Kenapa? Apa kamu masih tidak terima dengan keputusan Andi?" selidik Radit membuat Syifa kini tertunduk. "Setelah rapat tadi, saya berniat untuk pulang, tapi saya gak sengaja lihat kamu pergi sambil bawa tas. Saya pikir sekarang belum waktunya jam pulang sekolah," lanjutnya.

"Hm ... iya, Pak."

Singkat, padat dan tidak jelas. Mungkin hal itu cocok menggambarkan jawaban yang diberikan Syifa kepada Radit. Dan hal tersebut, berhasil membuat pria itu semakin bingung.

"Kenapa? Kamu ada masalah dengan Marco?" Lagi-lagi pria itu menyelidiki Syifa. Namun gadis itu masih terdiam.

Tanpa sadar manik mata hitam Syifa mulai membendung cairan bening di dalamnya. Dalam hitungan detik, cairan itu membasahi pipi tirusnya.

Radit cukup kaget melihat hal tersebut dan kembali dibuat bingung oleh gadis yang duduk di sampingnya. Pria itu menjadi salah tingkah menghadapi sikap Syifa. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara membuat seseorang untuk berhenti menangis.

Kenapa lagi ini? Apa yang salah dari pertanyaanku?

"Syifa ... udah dong. Banyak orang lewat di sini," Radit gelagapan dibuat Syifa. "Malu diliatin orang," lanjutnya.

Syifa berusaha menghentikan tangisnya. Dengan napas yang masih terisak gadis itu mencoba menetralisir perasaannya. Perasaan yang sudah lama ia pendam, dan kini tangisnya pecah begitu saja di hadapan orang yang baru pertama kali ia temui.

Tangan mungil gadis cantik itu perlahan menyeka bulir air mata yang tersisa di pipinya. Namun sisa isakan tangisnya belum bisa dihentikan.

"Kalo mau cerita, cerita aja gak pa-pa. Chat aja kalo kamu sungkan telepon." Radit memberikan kartu namanya.

Dengan sedikit ragu Syifa mengambil kertas tersebut. Ia menatap lekat pria jangkung yang duduk di sampingnya.

"Saya gak bisa lama-lama di sini, ada pekerjaan yang sudah menunggu. Saya duluan," Radit lantas melangkah pergi neninggalkan Syifa.

Syifa tak berkutik. Ia hanya mampu memandangi punggung Radit yang semakin lama semakin menjauh darinya.

****

"Syifa ke mana ya? Kok dia gak masuk pelajarannya Pak Made?" tanya Marco kepada Eva.

"Katanya tadi dia pulang," jawab Eva singkat.

"Pulang? Kok bisa?" Marco kembali bertanya kepada Eva. Namun gadis itu hanya menghentakkan bahunya.

Masa iya sih Syifa pulang? Kan sekarang baru jam pulang sekolah.

Marco segera menyalakan motornya dan mulai membelah jalanan kota.

****

Cuaca memang sedang tidak bersahabat hari ini. Teriknya sinar mentari seketika tertutupi awan gelap.

Entah angin apa yang membawanya sampai ia memutuskan untuk mampir ke taman kota. Marco memperlambat laju motornya demi menikmati hijaunya taman yang terletak di tengah kota.

Seketika pandangannya terhenti kepada sosok perempuan yang mengenakan seragam SMA 25 Jakarta. Jantungnya semakin bertalu hebat saat melihat tas selempang biru gadis itu.

Itu tas mirip banget punya Syifa.

Marco sontak tersadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan.

Jangan-jangan orang itu Syifa?

Setelah mengumpulkan keberaniannya, Marco memutuskan untuk menemui gadis itu. Ia masih berusaha untuk memperbaiki hubungannya meskipun ia tahu bahwa gadis itu tak akan pernah memaafkannya.

"Syifa?"

Perempuan itu lantas menoleh ke sumber suara. Raut wajah kaget terlihat jelas saat mengetahui bahwa sosok Marco kini berdiri di belakang tempat duduknya.

Tak perlu berpikir panjang gadis itu bersiap pergi untuk menghindar. Namun langkahnya terhenti saat tangan Marco menggenggam erat lengannya.

"Syifa, gue akan jelasin semuanya," tegasnya kepada Syifa yang masih berusaha meloloskan diri. "Please ... jangan ngehindar lagi, dengerin gue," pinta Marco.

Syifa akhirnya luluh dan tak berontak. "Apa? Apa lagi yang harus loe jelasin," ujarnya.

Marco melepaskan genggamannya sebelum lanjut berujar. "Pertama, gue mau minta maaf sama loe. Kedua, gue gak pernah maksud untuk ngebuat impian loe hancur. Ketiga, gue tau saat ini loe marah karena gue jadu partner Andi, tapi gue bakal buktiin kalo loe bakal jadi koki sesuai keinginan loe."

Syifa memandang malas pria di depannya. Kata-kata tersebut sudah pasti bualan belaka. "Oh ya? Terserah!"

Tiba-tiba hujan deras mengguyur kota Jakarta, membuat Syifa dan Marck segera berteduh di halte taman. Kedua orang itu sesekali melirik. Namun pandangan mereka tak pernah berpadu.

Tak lama kemudian bus way berhenti di sana. Syifa bergegas masuk ke dalam dan pergi meninggalkan Marco.

Gue yakin kali ini loe bakal ngehancurin semuanya, lagi!

****

Bersambung

Pembaca yang baik hati, jangan lupa tinggalkan jejak. Caranya? Tekan tanda bintang di sudut kiri bawah, ya. Jangan lupa juga komentar, kritik dan sarannya.
Aku tunggu 😉

elinaqueera 😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro