Chapter 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Luke bilang hidupku payah.

Dan konyol dan menyedihkan dan tidak ada harapan serta tak tertolong.

Dia juga bilang bahwa aku adalah cewek paling idiot yang pernah dia kenal.

Aku tidak bisa menyalahkannya dengan berpendapat begitu mengenai kakak perempuannya sendiri. Masalahnya sewaktu dia mengatakan itu, aku sedang menangis tersedu-sedu di tengah lautan tisu penuh ingus sambil merutuki kebodohanku.

Kalau kau ingin ikut bersimpati, akan kuberitahu mengapa; aku baru saja diputuskan pacarku, Dustin, melalui pesan suara yang berbunyi.

"Sameey, maafkan aku. Aku tahu kau sempurna, kau punya rambut pirang dan suara yang indah. Kau juga pintar menyanyikan lagu anak-anak. Kau cantik, kau punya hati yang lembut dan sangat menawan. Tapi kukira itu semua tak pantas untukku. Kau terlalu sempurna, dan aku sudah jatuh cinta dengan Marveline. Tolong jangan marah. Aku harap kau punya kehidupan bahagia."

Bukan hanya salah mendeksripsikan rambutku (rambutku merah terang), Dustin juga salah soal fakta 'pintar menyanyi' (suaraku kedengaran seperti hewan tercekik setiap kali aku mencoba bernyanyi) dan 'sangat menawan' (aku bukan siapa-siapa dan aku biasa-biasa saja). Bahkan dia masih memanggilku Sameey padahal aku sudah bilang aku benci panggilan itu. Belum lagi dia bilang dia jatuh cinta dengan Marveline. Marveline yang itu, yang bergigi maju seperti tikus dan berdada besar. Aku tidak menyangka aku dicampakkan karena mantan pacarku lebih memilih si tikus berdada besar dibandingkan aku.

"Dustin tidak pantas kau berikan air mata itu," Krissy mengelus pundakku, lalu memberiku tisu yang lain. "Dia berengsek yang berpikir dirinya tidak berengsek--siapa pula yang menyadari bahwa seseorang berengsek dan berbangga diri pada hal itu? Lagi pula dia tidak tampan." Aku bisa melihatnya dari sudut mataku sedang berbicara tanpa suara pada Katherine--semacam gerakan kasar dengan jari-jarinya, kami bertiga menyebutnya bahasa isyarat KSK (Krissy, Summer dan Katherine) karena hanya kami bertiga yang akan paham. Krissy kali ini sedang membuat lingkaran besar dengan jempolnya (yang artinya idiot) dan menambah titik di tengah (yang artinya mati). Terjemahannya, si idiot itu akan mati. Aku berharap dia tidak sedang mendeksripsikan aku.

"Aku tidak menangisi Dustin, tolol," kataku di sela isakan. Luke yang bersandar di ambang pintu mengeluarkan napas lelah seolah seluruh dunia begitu merepotkannya. "Aku menangisi waktu yang kuhabiskan dengannya dan bahkan dia tidak menyadari hal-hal penting. Seperti warna rambutku! Dan keahlianku! Dan siapa aku ini! Itu membuktikan kebenaran sang peramal. Dia bilang aku tidak mudah diingat. Aku terlalu biasa. Bagaimana mungkin aku terlalu biasa?"

"Mungkin kau harus coba menjadi sesuatu yang baru," kata Luke. "Seperti berbohong pada dirimu sendiri. Kau tahu kau sangat biasa. Tidak ada yang istimewa. Cobalah untuk berbohong dan meyakini bahwa dirimu luar biasa." Luke berlari pergi ketika aku melemparnya dengan tisu kotor.

"Dan hari ini ulang tahunku!" Aku merengek.

"Itu pertanda bagus benarkan?" Katherine, yang duduk di hadapanku dengan gaun putih berlogo KSK tersenyum (gaun itu hanya dipakai jika dia harus berhadapan dengan hal menyakitkan yang terjadi pada kami, dia selalu memakai sesuatu yang menunjukkan perasaan dan emosi. Seperti sweter hitam yang kurajut khusus untuknya musim panas lalu, Katherine akan menggunakannya jika dia pikir hari itu adalah hari Summer. Kau tahu, untukku, bukan musim panas.) "Malam ini kita bisa pergi ke pub di Boston dan berpesta! Aku sudah ingin mengajakmu sejak minggu lalu, tapi karena kau punya peraturan bahwa selingkuh itu perbuatan paling kejam kau tidak pernah mau ikut tanpa Dustin. Ini saatnya bersenang-senang!"

"Dan lihat betapa ironisnya ini. Aku diselingkuhi," aku terisak lagi sambil bersandar di bahu Krissy. "Aku diselingkuhi oleh si keparat Dustin."

"Dia tidak pantas mendapatkan kau," Krissy mencoba lagi. "Lagi pula itu artinya kau tidak perlu menyimpan gaun hitam yang kita beli dari online shop minggu lalu untuk ulang tahun Dustin. Kita bisa memakainya malam ini!"

"Dan merayu cowok-cowok tampan di pub!" Katherine menambahkan dan mereka berdua mulai terkikik.

"Tidak, kalian saja yang bersenang-senang."

"Oh ayolah," Katherine memberiku tatapan itu, kau tahu, tatapan ketika kau ingin sesuatu dan tidak menerima kata tidak. "Ini akan menyenangkan. Aku janji. Kau suka hal yang menyenangkan. Jika Dustin tahu kau tidak mempunyai penyakit mental setelah dia memutuskanmu--"

"Penyakit mental. Hebat. Kau mengatakan padanya dia mempunyai penyakit mental," Krissy mendengus.

"Aku tidak menyebut dia punya penyakit mental. Aku bilang Dustin tahu dia tidak punya penyakit mental!"

Krissy memberiku tisu lain. "Pada dasarnya secara tidak langsung kau berkata Summer punya penyakit mental. Ada kata 'Jika' di sana. Artinya selama ini Dustin mengira Summer punya penyakit mental."

Aku berusaha untuk tidak memutar mata pada pembicaraan mereka seolah aku sudah tidak ada di sana. Katherine dan Krissy selalu seperti itu sejak kami pertama kali berteman di kamar mandi sekolah pada tahun pertama. Aku sedang membersihkan wajahku dengan tisu ketika Katherine masuk dan langsung bicara mengenai orang-orang kejam yang berusaha memasukkan kepala Marry Popper ke dalam toilet, beberapa detik kemudian Krissy masuk, menatap kami, dan berkata bahwa hal seperti itu wajar-wajar saja di SMA. Entah kenapa aku selalu berada di antara mereka, tahu-tahu saja kami sudah berteman.

Katherine membelalak terkejut, suaranya meninggi ketika berkata. "Siapa yang tidak berpikir dia tidak punya penyakit mental kalau kau melihat koleksi DVD dan tisu yang dia habiskan dalam satu malam? Dua puluh boks! Belum lagi kaleng soda di tempat sampahnya, dan pil-pil itu!"

Aku mengelap air mataku. "Barangkali Summer memang punya penyakit mental."

"Lihat! Itu benar!"

"Dan barangkali Summer tidak ingin dengar pendapat kalian," kataku sambil membuang ingus.

Katherine menatapku penuh simpati. "Oh Summer, tidak apa-apa. Kami akan membantumu jika kau punya masalah, gangguan makanan atau kecemasan atau apa pun. Kami akan selalu membantumu, benarkan Krissy?"

Krissy mengerang. "Yang benar saja Katherine, Summer tidak punya penyakit mental!"

"Dia punya." Katherine bersikeras.

"Tidak."

"Kubilang dia punya!"

"Dan aku bilang tidak, jangan keras kepala. Aku tahu apa yang kubicarakan," Krissy memberiku tisu baru sambil memelototi Katherine.

Luke mengambil kesempatan itu untuk kembali muncul di ambang pintuku, dia melihat kami sejenak sebelum bicara. "Kalian mau telur bakar buatan Dad tidak? Dad memaksa turun, katanya dia menolak penolakan dalam bentuk apa pun," kemudian Luke pergi sambil menyanyikan lagu Shake it Off.

[*]

Orang-orang memanggilku Summer Green, tapi seringnya mereka mencoba sok akrab dengan membuat nama panggilan konyol seperti Sameey, Sammy, Sam, Sem, SG, atau ketika mereka sedang menjadi sangat kreatif, namaku akan berubah menjadi Peanut dan Buttercup. Kadang-kadang aku dipanggil Honey, Darling dan Sweetie. Aku tidak akan mengeluh. Nona Peramal tua yang kukunjungi bulan lalu mengatakan bahwa 1) aku tidak boleh lagi mengeluh dan 2) aku tidak boleh pergi ke pesta selama satu bulan, dan karena Nona Peramal itu Mom, maka aku harus mendengarkan apa katanya. Pada intinya sebenarnya keluargaku gila dan sahabatku agak aneh. Aku sering mengkategorikan diriku sebagai Tidak Tertolong, seperti perkataan Luke padaku. Biasanya percakapan kami pada makan malam akan dimulai dengan,

"Apakah kau tahu bedanya pisau tajam dan pisau tidak tajam, Darling?" Mom bertanya sambil memberi kami masing-masing satu telur bakar yang kelihatan gosong. Aku mencoba tersenyum padanya, tapi mataku bengkak karena terlalu banyak menangis, membuat wajahku kebas dan sulit melakukan apa pun.

"Pisau tajam dapat digunakan untuk melakukan hal-hal kejam, yang tidak tajam untuk mencukur bulu ketiak, itu pertanyaan mudah, Anna," Dad mencium puncak kepalaku sewaktu dia lewat, seolah normal bagi semua orang untuk mengatakan pisau tidak tajam dipakai untuk mencukur bulu ketiak di meja makan.

Jika orang-orang tidak kenal Dad, barangkali mereka akan mengira Dad semacam bos mafia kejam dari Russia. Pasalnya Dad mantan bintang rock sewaktu muda (sebagai pemain drum, seperti yang sering dia banggakan), lengannya besar dan bertato, serta wajah Dad kelihatan galak. Sewaktu Dad dapat pekerjaan menjadi pembawa acara TV lokal yang berjudul Keluarga Bahagia, dia sering kali dikira sebagai bodyguard alih-alih ayah kami. Sekarang Dad kerja menjadi penjaga akuarium raksasa Nyonya Lavender dan memastikan tidak ada tubuh yang dilemparkan ke dalam akuarium dan jadi santapan piranha peliharaan Nyonya Lavender (Dad sering mengeluh soal pekerjaan barunya, katanya tidak keren. Tapi aku bersyukur dia sudah tidak lagi muncul di TV atau masa SMA-ku akan terasa seperti neraka).

"Pisau tajam digunakan untuk memotong daging, Sayang. Yang tidak tajam untuk mengoleskan selai di atas roti," Mom menjelaskan dengan sabar, di sampingku Luke berbisik sesuatu yang kedengarannya seperti, "Bagaimana mungkin aku anak mereka."

"Praktis, bagaimana aku lupa!" Dad tertawa, seolah ada yang lucu saja.

"Bagaimana kau membuat telur bakar ini Mr. Green?" Katherine bertanya, yang membuat Dad menjadi antusias dan mulai menjelaskan tahap pembuatannya. Aku mengunyah makananku perlahan sambil menghitung mereka, 32 kali kunyahan sebelum menelan, 32 kali kunyahan sebelum Dad mulai bertanya. Sudah ada tiga kata 'bagaimana' yang digunakan dalam lima menit belakangan.

"Jadi, Peanut, bagaimana perasaanmu setelah diputuskan Dustin?" Itu yang keempat.

"Summer butuh direkomendasikan ke terapis," kata Katherine, suaranya begitu yakin.

"Summer hanya menghabiskan satu boks tisu," Krissy menjelaskan dengan bangga seolah itu target hidupnya.

"Summer payah," Luke berkomentar. "Kenapa pula dia harus menangis, dia tidak kelihatan sedih."

Untuk itu, aku memelototinya galak. Well, aku memang tidak sedih atau terluka. Aku hanya merasa kecewa dan marah. Terkadang hormon remaja dapat membingungkan, tangisanku simpel hanya karena aku kesal pada Dustin. Masalahnya sewaktu pertama kali dia mengajakku kencan, dia benar-benar romantis. Dia melakukannya di depan komidi putar pada malam Natal. Aku tidak mau berpura-pura sok jual mahal. Maksudku, Krissy lebih ahli soal itu daripada aku. Dia dapat membuat cowok-cowok kehabisan harta sebelum sempat mengencaninya. Dan Katherine berada di sisi tidak-pacaran-kecuali-kau-berniat-tidur-dengannya-yang-artinya-harus-sudah-menikah. Jadi ketika Dustin menyanyikan lagu dalam bahasa Prancis padaku malam itu, kujawab saja ya, meskipun aku tidak tahu satu pun yang dia katakan kecuali oui.

Dustin kelihatan pintar, berkarisma, dan menawan. Tentu saja aku marah ketika tahu dia tukang selingkuh. Dan seharusnya Luke tidak mengatakan itu. Aku sudah menjaga rahasianya suatu kali ketika aku menemukannya di bagasi mobil Dad, sedang tertidur pulas. Luke beralasan dia kedinginan sewaktu ditemukan. Padahal aku tahu sekali dia ingin masturbasi tanpa diganggu karena kami masih berbagi kamar.

"Tentu saja Summer sedih, Luke," Mom tersenyum lembut. Jika dia tidak bekerja jadi penata rambut di salon kecantikan, atau peramal berpakaian mistik di klubnya, senyum Mom benar-benar kelihatan keibuan. "Semua orang sedih ketika diputuskan dan ketika tahu dirinya diselingkuhi, benarkan, Summer?"

"Sedikit," aku hanya berbisik. Tapi Mom dapat mendengarnya dan dia tersenyum karena itu.

"Tapi Summer payah dan idiot, bagaimana mungkin dia percaya pada Dustin? Cowok seperti dia memang selalu terlihat seperti tukang selingkuh."

"Bagaimana kau tahu dia tukang selingkuh?" Krissy bertanya dengan mata berkilat penasaran.

Luke memutar mata. "Mudah saja, Dustin kelihatan tolol, dan dia tidak pernah meminjamkan ponselnya padaku setiap kali dia datang kemari. Itu sudah jelas kan?"

Dahi Krissy berkerut. "Tapi untuk apa juga dia mau meminjamkan ponselnya padamu?"

"Aku adik pacarnya, aku punya hak," Luke memutar mata lagi seakan itu menjawab semua pertanyaan filosofis di dunia.

Krissy menatapku, mengerjap, dan memberi isyarat apakah adikmu waras? Itu membuatku tersenyum.

Sayangnya Dad menyadarinya dengan cepat dan tertawa. "Itu baru anakku! Aku lebih suka ketika kau tersenyum seperti itu." Lalu Dad mulai bercerita tentang pekerjaannya yang membosankan.

"Nyonya Lavender bersikeras bahwa aku tidak boleh menamai piranha-piranhanya Lucy dan Steven," Dad mengatakan itu dengan mulut penuh, tangannya bergerak-gerak lincah. "Padahal nama itu lebih cocok untuk mereka dibandingkan Cracker dan Bizkel."

"Dad, kau tidak mungkin menamai piranha dengan nama Lucy dan Steven. Kalau kau suatu hari bertemu orang yang bernama Lucy atau Steven kau akan mulai membayangkan mereka sebagai piranha yang berenang-renang di akuarium Nyonya Lavender," kata Luke.

"Kau belum lihat mereka, Luke. Aku yakin kalau kau lihat kau pasti akan menamai mereka Lucy dan Steven dan anak-anaknya akan kuberi nama Angeline, Michael--"

Katherine tertawa, dia mendekat untuk berbisik di telingaku. "Aku suka ayahmu. Dia lucu," dia diam sejenak sebelum bertanya. "Jadi kau sudah memutuskan apakah kau ingin ikut ke pub di Boston?"

"Itu dua jam perjalanan dari sini, Kat."

"Bukan masalah, besok kita bisa membolos, lagi pula sekarang belum terlalu malam."

Mom mencondongkan tubuhnya dan berbisik dengan nada penuh konspirasi. "Kalian gadis-gadisku memang harus pergi. Aku tidak akan bilang Dad kalau kau besok mau membolos, Sayang," Mom mengedip padaku.

Aku menggeleng. "Tidak, wajahku kelihatan mengerikan. Mungkin besok," aku berhenti untuk menatap Mom dua detik. "Lagi pula seseorang menyarankanku agar aku tidak ke pesta selama satu bulan ke depan. Pub itu tidak jauh beda dengan pesta."

Dahi Katherine berkerut. "Mrs. Green dapat mengatasi itu, benar kan Mrs. Green?"

Mom mengangguk. "Keuntungan dari mempunyai ibu yang bekerja di salon kecantikan adalah kau tidak perlu bayar jika ingin perawatan khusus. Dan aku yakin seseorang itu memberi pengecualian pada saat ini."

Dad masih menjelaskan nama-nama yang akan dia berikan pada piranha-piranha malang itu ketika aku menggeleng. Di hadapanku alis Krissy naik, seakan-akan dia juga sedang menunggu jawabanku. Meskipun mereka semua bersikap baik, rasanya aku tidak ingin ke pub memakai gaun hitam seksi pada malam aku baru saja diputuskan, seberapa pun ide itu kelihatan menarik.

Aku menggeleng, kali ini mencoba tersenyum agar mereka tidak mengira aku remaja tolol yang sentimental. "Tidak, trims. "

Katherine mengangguk. "Baik kalau begitu. Tenang saja Summer, besok pasti lebih baik."

Sayangnya Katherine salah. Besok tidak akan lebih baik. Bahkan tidak akan ada hari yang lebih baik dibandingkan hari itu. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro