Chapter 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Rencanaku untuk mendekati Steve Jones diawali dengan akting payah berpura-pura belajar mengerjakan tugas di rumah Katherine. Steve sedang berada di rumah untuk tiga minggu ke depan, Katherine bilang itu karena dia baru saja kehilangan pekerjaan, kehilangan tempat di asrama dan kehilangan teman.

Aku berpikir itu keadaan yang sangat kacau sekali, terutama jika aku ingin semua ini jadi lebih cepat. Aku hanya punya waktu lima hari lagi. Lima hari lagi dan yang sekarang kulakukan hanyalah melirik ke arah kamar Steve yang baru saja terbanting menutup beberapa detik yang lalu. Dia baru saja selesai mandi, dan baru saja memutar musik keras-keras.

Steve punya selera musik yang buruk, jika kau tanya aku.

"Bagaimana cara aku mendekatinya tanpa terlihat seperti aku sedang depresi?" tanyaku pada Katherine. Dia dan Krissy sejak tadi sibuk menonton cowok-cowok Korea di Youtube.

"Oh, tidak usah khawatir, Summer. Aku sudah memberitahunya bahwa kau tertarik, yang perlu kaulakukan hanyalah menunggu. Steve terkadang bertingkah sok jual mahal. Tenang saja," Katherine berkata seakan apa yang baru saja dia katakan bukan sesuatu yang gawat.

"Dan sampai kapan aku harus menunggu?" aku memainkan benang kusut di atas karpet, melilitkannya pada jepit rambut patah yang kutemukan di bawah ranjang Katherine.

Katherine mengangkat bahu. "Paling lama satu bulan, aku pikir yang sekarang tidak akan selama itu. Maksudku, Steve sudah tahu kau," kemudian dia berhenti, seolah baru saja mendapat pemikiran hebat. "Astaga, aku tidak menyadari ini. Tapi kalian akan jadi pasangan yang imut! S dan S, itu akan terlihat bagus pada kartu undangan pernikahan kalian kan? Seperti aku dan Krissy. K dan K."

"Jika kau berpikir untuk mengajakku menikah, jawabannya tidak, Kat. Aku bukan lesbi," Krissy berkata dengan nada bosan.

"Kau sudah berpikir tentang kartu undangan dan yang kukhawatirkan adalah aku tidak punya waktu banyak!"

Katherine menatapku iba. "Oh Summer, kau akan baik-baik saja. Memangnya apa yang membuatmu terburu-buru?"

Aku menarik napas panjang, tahu benar aku harus melakukannya jika tidak ingin Krissy mendeteksi bahwa aku sedang berbohong. "Begini, aku dengan bodoh membuat taruhan dengan Marveline dan--"

"Kenapa kau tidak bilang dari awal?" Katherine mendadak saja sudah beranjak menuju kamar Steve. Kamar mereka berhadap-hadapan, aku praktis dapat melihat isi kamarnya sewaktu Katherine membuka pintu tanpa mengetuk (bukannya aku terkejut. Aku sudah tahu kamar Steve berantakan, seperti rumah tikus yang sedang kebakaran sewaktu hujan turun).

"Steve! Aku punya-Oh Tuhan! Seharusnya kau memasang sesuatu di pintu kamarmu agar aku tahu kau sedang melakukan sesuatu!" Katherine berteriak. Aku mendengar Steve mengumpat, kemudian bantal dilempar dan Katherine buru-buru menutup pintu.

"Tidak dapat dipercaya! Steve!"

"Kau harusnya mengetuk!" Steve balas berteriak.

Krissy tertawa. Aku menenggelamkan wajahku di antara lengan, tidak ingin membayangkan apa yang terjadi di balik pintu itu.

"Aku akan memberimu waktu lima menit untuk menyelesaikan semua itu!" Katherine bersandar di pintu kamar Steve, memutar mata pada kami.

Ponselku bergetar, aku meraihnya hanya untuk mendapat pesan dari Levi.

Sudah tahu apa yang akan kaulakukan?

Berada dalam misi. Sedang menunggu Steve keluar dari kamarnya. Kau pikir apa hal yang harus kukatakan padanya?

Levi butuh beberapa saat untuk membalas.

Abaikan aku, tapi tadi aku menulis, 'jadilah dirimu sendiri', dan kupikir, oh shit, itu sungguh murahan.

Aku tersenyum sewaktu membalas.

Kuakui, itu memang murahan. Jadi tidak ada saran?

Hey, aku tidak punya pacar untuk jangka waktu yang sangat lama, kecuali delusiku yang menganggap Autumn dan aku pacaran, nyatanya tidak. Aku bisa membantumu dengan hal lain, misalnya pakaian.

Trims. Aku mulai berpikir kau lebih berguna daripada Spring.

Jangan katakan itu keras-keras, dia dapat mendengar.

"Apa?!" bentakan Steve membuatku terlonjak. Aku mengangkat kepala dan menemukan dia berdiri di ambang pintu kamarnya, tangan bersedekap, memelototi Katherine.

"Aku ingin kau pergi, melakukan sesuatu yang berguna, mencari pekerjaan dan tidak mengurung dirimu seharian. Dapatkah kau melakukan itu?" Katherine berkata dengan sangat mulus, seperti dia benar-benar menginginkan itu. Tapi kupikir itu memang benar.

"Kau mengangguku hanya untuk mengatakan itu? Jesus, aku sibuk. Jangan ganggu," Steve membanting pintu kamarnya menutup.

Katherine dan aku berpandang-pandangan sebelum dia mengangkat bahu. "Yah, sayang sekali, dia memang begitu. Tunggu saja, Summer. Satu jam lagi dia akan keluar untuk membeli sesuatu dan kau bisa mengikutinya, hebat kan?" Katherine kembali duduk. Tentu saja, aku terabaikan.

[*]

Aku harus bertindak. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Satu jam lebih tiga menit setelah menunggu Steve keluar kamar, aku tidak mendapatkan hasil apa pun. Jadi aku pergi, berkata bahwa aku ada urusan mendadak. Aku tidak sepenuhnya berbohong, aku menelepon rumah sakit agar bisa dihubungkan dengan Luke dan bicara dengannya selama beberapa menit sebelum Levi datang menjemputku.

Detik ketika pintu mobil ditutup, aku menjentikkan jari untuk memanggil Spring. Dia muncul dengan membawa mangkuk berisi adonan kue. Sebenarnya ada banyak adonan kue yang menempel di wajah dan rambutnya, tapi aku tidak akan mengatakan itu keras-keras.

"Hebat, ada apa Summer? Ini haruslah penting, aku sedang sibuk membuat kue untuk anjing peliharaanku."

Aku menatapnya. "Anjing peliharaan? Bagaimana mungkin kecoa memelihara anjing? Dan terakhir kali kucek anjing tidak makan kue."

Spring menatap Levi, sepenuhnya mengabaikanku. "Aku tidak akan bicara dengan makhluk bodoh di sana itu. Jadi, Levi, bisakah kau mengatakan pada Summer bahwa semua anjing makan kue? Aku merasa tersinggung dengan pertanyaan tidak bermoral itu."

Levi dengan idiotnya berkata padaku. "Spring bilang semua anjing makan kue, dan dia merasa tersinggung dengan pertanyaan tidak bermoral yang kau tanyakan."

Aku membenturkan kepalaku ke kaca mobil, merasa baru saja dibodoh-bodohi. "Katakan padanya aku tidak peduli. Dan beritahu dia apakah ada cara lebih cepat agar aku bisa menyelesaikan misi ini? Aku hanya punya waktu lima hari!"

Levi beralih ke Spring. "Summer tidak peduli dan dia bertanya apakah ada cara lebih cepat untuk menyelesaikan misi ini, dia hanya punya waktu lima hari."

Spring mendesah keras-keras. "Tentu saja ada. Jika dia bertanya baik-baik, aku akan langsung memberitahunya. Tapi kau tahu kan, ada harga yang harus kau bayar. Cara kerjanya seperti tiga permintaan untuk tiga permohonan. Tapi alih-alih punya tiga, Summer punya lima. Dia bisa saja mendapatkan lebih banyak waktu jika merelakan Luke--"

"Tidak!" aku memekik. "Jangan bodoh! Aku tidak akan mengorbankan siapapun. Terutama Luke."

Spring masih tidak menatapku ketika bicara. "Sepertinya aku mendengar sesuatu," wajahnya berkerut menyebalkan. "Tapi begitulah. Lima permintaan untuk lima permohonan. Setiap permintaan butuh bayaran mahal. Permintaan pertama memerlukan bayaran satu hari penuh, dalam kata lain, bayarannya adalah waktu. Waktu sangat mahal, kau tahu. Apalagi di saat seperti ini, ketika tidak ada keabadian, yah, aku mulai merindukan masa lalu-bukan berarti aku setua itu. Umurku baru 129 tahun."

Terjadi keheningan. Levi mencoba mencari saluran radio yang bagus selagi aku memikirkan beberapa hal, 1) Spring berumur 129 tahun dan 2) aku hanya punya lima hari, jika aku memberikan satu hariku yang berharga, sisanya hanya empat. Empat hari tidak akan cukup untuk menyelesaikan ini, serta 3) aku jelas butuh bantuan. Mana yang harus kupilih? Menyerahkan satu hari berhargaku untuk satu permohonan atau tetap berada di dalam jalur?

"Apakah kau mencari seseorang yang dapat memberimu pencerahan?" tanya Levi.

"Kau punya saran?"

Levi mengangguk. "Hanya ingin bilang kalau apa pun yang kau pilih, semuanya sama saja."

Itu tidak membantu, tapi aku berbalik menatap Spring (sebenarnya sedikit memelototinya karena aku tidak mau bicara melalui orang lain padanya, itu merepotkan). "Dan aku bisa meminta apa pun?"

Spring mengangkat bahu. "Hanya dalam batas yang wajar. Kau tidak bisa meminta seseorang hidup kembali, itu tabu. Kau tidak bisa meminta hal-hal yang berlebihan dan melanggar batas, seperti misalnya meminta kekuatan para makhluk Starsfall."

"Tidak, permintaanku sederhana. Aku hanya ingin aku sudah punya rencana dengan Steve malam ini. Seperti kencan. Kau mengerti?"

Dahi Spring mengerut. "Yah, karena sudah diucapkan aku tidak bisa mengomentari," dia mengeluarkan kantung uang dari sakunya, mengambil segenggam penuh serbuk dan meniupkannya ke udara. Itu membuatku terbatuk, serbuk-serbuk itu beterbangan di sekitar kami, berkilau, sebelum menghilang begitu saja.

Jika kau tanya aku bagaimana rasanya. Jawabannya sama saja, tidak ada perubahan seolah aku telah membayar 24 jam untuk kencan dengan Steve. Hanya mungkin, beberapa getaran di ponselku.

Aku membuka ponselku dan melihat semua sms dari Steve.

Astaga, ini benar-benar terjadi.

"Apakah kau sudah puas? Aku sibuk," Spring tidak repot-repot menunggu jawaban dariku. Dia menghilang tepat setelah mengatakan itu, meninggalkan noda tepung di kursi mobil dan aroma kue gosong.

"Berhasil?" tanya Levi. Aku mengangguk.

"Nah, sekarang kau bisa membantuku dengan pakaian," aku membaca dengan cepat. "Dan apakah kau tahu sesuatu yang pantas jika kau ingin sekedar 'jalan-jalan menikmati malam'?"

Levi tersenyum lebar. "Serahkan padaku."

[*]

Aku bertemu Steve di bawah lampu jalan beberapa blok dari rumahnya. Steve terlihat lebih gembira daripada yang terakhir kali kulihat beberapa jam yang lalu. Rambutnya disisir ke belakang, dan dia memakai kaus hitam serta jaket kulit yang sangat pas di tubuhnya. Steve tersenyum padaku, dan untuk beberapa saat aku merasa sangat canggung. Masalahnya adalah senyum Steve mengingatkanku pada Katherine, dan itu sama sekali tidak bagus.

"Kau kelihatan berbeda," mata Steve menyusuri tubuhku. Aku tidak tahu mengapa aku merasa tidak nyaman. Lebih tidak nyaman dibandingkan ketika Dustin untuk pertama kalinya menciumku. Dan mengingat bahwa kejadian itu hampir membuatku mual selama seminggu membuktikan betapa tidak nyamannya aku sekarang.

Pada akhirnya aku berusaha tersenyum. "Saudara perempuan Levi punya lemari berisi surga," kataku, entah mengapa membongkar rahasia. Levi dan aku menghabiskan dua jam agar aku benar-benar siap. Aku bahkan punya warna kuku yang indah, berkilau jika disorot cahaya.

Steve tertawa, tawanya renyah. Tidak seperti tawa jahat yang seringkali dia berikan pada Katherine.

"Jadi, kita mau ke mana?" aku memindahkan berat tubuhku ke satu kaki, mencoba tersenyum dengan cara yang Levi ajarkan padaku, aku bahkan ingat setiap kalimat yang dia katakan. "Ingat, senyumnya tidak boleh terlalu lebar seakan kau sangat tertarik, itu akan merendahkan derajatmu, kau harus memakai senyum di mana hanya salah satu bibirmu yang terangkat, dan berlagaklah seolah kau malu. Kemudian kau menatapnya dari bawah bulu matamu dan mengedip dua kali. Seperti ini." Aku tertawa terbahak-bahak mengingat bagaimana cara Levi mempraktikkan semua itu. Anehnya dia kelihatan imut.

Aku tidak yakin aku melakukan itu dengan benar karena dahi Steve berkerut.

"Aku belum memutuskan, bagaimana jika kita mencari tahu sambil jalan saja?" Steve berusaha tersenyum santai. Tapi selama beberapa detik senyumnya berubah jadi kerutan bingung, dan matanya terlihat tidak fokus. Hanya saja semua itu hilang sebelum aku sempat memahaminya.

"Tentu," kataku, mulai berjalan di sisinya.

Kami melakukan 'jalan-jalan santai' sampai keluar dari blok itu, sesekali membicarakan soal cuaca (benar, aku memang sepayah itu), tapi aku berani sumpah ada kemajuan dalam hubungan ini sewaktu Steve mulai bercerita lebih banyak.

"Bagaimana mungkin kau bisa tahan bersahabat dengan Katty?" oceh Steve, dia kelihatan kesal. Walaupun nama panggilan untuk Katherine darinya kedengaran imut, dia sama sekali tidak terdengar seperti memuja adiknya. "Kau pasti paham bahwa dia itu idiot. Aku bahkan tidak menyangka bahwa aku punya adik yang hanya mengandalkan wajahnya saja dalam bersosialisasi. Dan dia bahkan tidak sepintar yang terlihat."

Aku hanya berdeham, di satu sisi tidak nyaman mendengar Steve menjelek-jelekkan Katherine. Mau bagaimanapun juga Katherine itu sahabatku. Tapi di sisi lain berusaha agar aku kedengaran tertarik tanpa terlihat seperti aku tidak setuju dengan perkataannya.

"Tapi kukira semua orang mencintainya, padahal dia tidak melakukan sesuatu yang berarti. Seharusnya kau lihat aku, Summer. Aku sudah berusaha membuat semua orang mencintaiku dan yang kudapat adalah hidup menyedihkan, dilempar dari asrama kampus, tidak punya pekerjaan dan nyaris membuat kelaminku putus."

Aku tersedak ludahku sendiri mendengar kalimat terakhirnya. Untungnya Steve belum selesai, jadi dia tidak sadar dengan reaksiku.

"Mom dan Dad selalu beranggapan kalau Katty anak emas, dan aku hanya noda pada emas tersebut. Kau lihat? Umurku dua puluh dan aku tidak punya pekerjaan, bahkan tidak yakin akan menamatkan kuliah. Maksudku, dengar Summer, kuliah mengerikan, lebih mengerikan dari apa pun di dunia. Suatu hari kau mungkin merasa kau akan baik-baik saja tapi kemudian kau terbangun suatu pagi dan baru menyadari bahwa apa yang kaulakukan selama hidupmu tidak seperti yang kau bayangkan, kau akan gila. Kau akan mulai berteriak pada dosen, meninggalkan kelas, bahkan mulai mencoba obat-obatan," Steve mendesah. "Menjadi orang dewasa itu payah. Aku lebih suka jadi anak kecil."

Aku tidak bisa berkata apa-apa jadi aku hanya memperhatikannya dari sudut mataku. Aku tak pernah benar-benar bicara dengan Steve, selalu ada jurang besar di antara kami yang menunjukkan bahwa kami jelas berada di sisi dunia yang berbeda. Selagi aku bermain dengan Katherine, Steve sedang berada di bagian yang lain, menjalani apa pun yang ada di dunianya. Jadi tentu saja, semua ini canggung.

Steve mendesah lagi. "Well, lupakan saja. Anggap aku tidak pernah mengatakan apa-apa. Dan hei, aku tahu tempat yang mungkin kau sukai, mau ke sana?"

Aku lebih dari senang menganggap semua perkataan Steve tidak pernah diucapkan. Sambil tersenyum, aku mengangguk. Malam ini baru dimulai.

[*]

Dan berakhir dengan sangat cepat.

Aku bisa saja menyalahkan kemunculan Spring dalam wujud kecoa super kecil yang merayap di telingaku dan membisikkan kalimat-kalimat jahat sepanjang malam. Tapi sebenarnya Steve itu berengsek. Dalam skala keberengsekan yang aku serta Krissy dan Katherine buat, selalu ada tiga tipe cowok berengsek di dunia; 1) cowok tukang selingkuh, 2) cowok yang menganggap dirinya adalah raja, jadi dia dapat melakukan apa saja pada semua orang karena baginya mereka adalah budak dan 3) cowok yang terlahir berengsek. Steve adalah tipe cowok berengsek yang ketiga.

Kami menaiki kereta bawah tanah menuju tempat yang Steve bilang mungkin saja kusukai. Di hadapanku duduk seorang gadis berkulit hitam. Aku tersenyum padanya ketika mata kami tak sengaja bertemu, dan dia tersenyum balik.

Pada beberapa kejadian normal semuanya akan berhenti sampai situ saja. Hanya saja saat ini bukan kejadian normal. Steve mendadak mengajakku berpindah kursi, dan hal yang pertama dia katakan ketika kami sudah sangat jauh dari tempat kami sebelumnya adalah,

"Aku tidak suka cewek berkulit gelap. Astaga! Dia mengingatkanku pada Krissy dan aku bahkan tidak mau mulai mengatakan hal-hal yang ada di otakku."

Saat itulah Spring muncul di telingaku dan berbisik.

"Ini adalah kesempatanmu. Kau bisa berbalik pergi atau tetap melanjutkan."

Aku sedang berada di saat-saat ketika otakku mendadak berhenti bekerja ketika itu, jadi barangkali Steve kira aku setuju dengannya dan dia melanjutkan,

"Maksudku, aku bahkan tidak tahu mengapa Katty harus berteman dengan Krissy. Kukira kau dan Katty sudah cukup. Dengar, aku bukannya menghina, tapi Krissy punya rambut afro mengerikan yang bisa saja salah dikira sebagai sarang tawon, dan bayangkan ketika kau tidur dengannya dan--"

Aku tidak mau mendengarkan (maksudku, bukan hanya dia telah menjelek-jelekkan Katherine padahal dia kakaknya di hadapanku, yang pada dasarnya bersahabat dengannya, tapi dia juga menyerang Krissy hanya karena Krissy berkulit gelap. Itu tindakan yang keterlaluan, aku tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya, jika Steve benar-benar jadi pacarku garis miring cinta sejati), aku meraih ke telingaku dan mendapatkan kecoa super kecil berusaha lari dari genggamanku. Kecoa itu terbang, aku tahu itu Spring, jadi aku membiarkannya pergi.

Spring kembali lagi.

"Apakah kau yakin kau akan memilih cowok ini sebagai cinta sejatimu? Lihat, hidungnya terlalu besar. Dia juga idiot rasis yang tolol. Dia punya masalah dengan kaki dan memiliki napas yang sangat bau saat pagi. Dia pengecut dan jelek. Summer, kau yakin?"

Steve masih mengoceh. Dia membicarakan soal sepatu dan politik dan aku tidak tahu lagi harus menanggapinya seperti apa jadi aku berdeham. Aku butuh berdeham lima kali sampai dia menyadari aku juga perlu bicara.

"Ya, Summer?" Steve kelihatan sebal denganku. Sebisa mungkin aku mencoba tersenyum.

"Aku ingin ke kamar mandi dulu."
Steve mengerjap, seakan kamar mandi adalah tempat yang sangat asing baginya. "Oh, OK, tentu saja. Jangan terlalu lama, OK? Aku bisa saja mengira kau sedang memberikan BJ pada orang lain dan itu akan jelek, kau setuju denganku, kan? Summer?"

Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Aku mengangguk padanya, kali ini tidak repot-repot tersenyum.

Detik ketika aku menutup pintu kamar mandi di belakangku, Spring berubah wujud, dia masih memiliki sayap kecoa, tapi setidaknya dia punya dua tangan dan dua kaki dan tidak berkepala kecoa.

"Pilihan cowok yang buruk," katanya. "Kenapa kau sangat tolol?"

Aku sudah mulai terbiasa dengan semua hinaannya sampai aku tidak repot-repot membela diri, sambil bersedekap, aku menatap Spring galak.

"Aku ingin bicara dengan Mom dan Dad," Spring hanya menatapku lama, dan mengingat dia sangat kecil dan duduk di atas toilet seperti serangga tolol, rasanya aku ingin menyiramnya agar dia tidak pernah kembali.

"Mudah, aku tidak menyangka kau akan meminta itu," Spring mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan menyerahkannya padaku. "Hubungi saja, orangtuamu berada di deretan nomor sepuluh," dia berhenti sejenak untuk memperhatikanku, "Kau yakin kau tidak ingin bicara dengan Luke saja?"

"Aku sudah bicara dengan Luke. Aku ingin Mom dan Dad."

Spring mengangguk, aku sedikit terkejut melihatnya tidak mengatakan hal-hal yang membuatku terlihat seperti cewek idiot. Begitu ponsel itu sudah berada di telapak tanganku, ukurannya membesar. Bahkan ponselnya berbentuk kecoa, lengkap dengan mata raksasa yang bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan, aku mengira itu berfungsi agar ponselnya terlihat imut. Tapi menurutku boneka Charlie jauh lebih imut dari pada ini.
Singkatnya percakapanku dengan Mom dan Dad terdengar seperti ini,

Aku: Mom?

Mom (terkesiap): Oh, Sayangku! Kau baik-baik saja?

Dad (suaranya terdengar jauh): Apa itu Summer?

Mom: Ya! Summer, oh kau tidak akan percaya dengan apa yang kami hadapi!

Dad: Ceritakan bagian ketika aku harus beradu pedang satu lawan satu dengan kecoa raksasa.

Aku: Mom, Dad, sungguh, aku tahu apa yang terjadi.

Mom: Kau tahu?

Dad: Kau lihat apa yang kulakukan? Di masa-masa kejayaanku menjadi kapten bajak laut, aku tidak pernah merasa sehebat ini!

Aku: Ergh ...,

Mom: Tunggu, apa Luke baik-baik saja? Aku tidak tahu mengapa aku tidak bisa melihatnya dengan pandangan menerawangku di sini.

Dad: Summer kau pasti terpesona. Aku menendang si kecoa tepat di punggung, pertarungannya begitu sengit, kami berguling di padang tandus, menghajar dua nyamuk raksasa bersama-sama dan terbang mengelilingi kota yang sangat besar!

Mom: Summer, sayang, tolong katakan padaku Luke baik-baik saja.

Aku: Luke baik, dan Dad, itu keren.

Dad: Aku tahu! Seharusnya kau lihat bagaimana aku menghajar gerombolan semut--

Mom: Summer, kuperingatkan padamu, kau harus jauh-jauh dari semua hal yang berbahaya, OK? Kau dengar aku, Sweetie?

Dad: --dan lebah berkepala sapi! Aku menendang selangkangan mereka dan membuat mereka jatuh di atas bokong babi mereka! Bagaimana pendapat--

Aku tidak mendengarkan sisanya, aku menyerahkan ponsel Spring kembali. "Kupikir aku tidak mau bicara dengan mereka sekarang."

"Benar, pilihan bagus," Spring mengangguk setuju. "Dan Steve. Bagaimana dengan dia? Kau yakin?"

"Ugh, tidak. Dia mengerikan."

Spring mengangguk khidmat. "Aku paham. Sayang sekali kencanmu harus berakhir."

Ponselku bergetar, begitu kulihat aku mendapat tiga puluh sms baru dari Steve yang menyuruhku cepat dan satu sms dari Levi.

Apakah bekerja?

Aku mengabaikan semua sms Steve dan hanya menjawab milik Levi.

Jika bekerja aku tidak akan mengirimmu pesan sekarang.

Levi membalas sedetik kemudian.

Wah, sayang sekali. Apakah kau mengacau?

Aku memelototi ponselku geram. Kenapa kau berpikir aku yang bakal mengacau?

Hanya insting, jangan dibawa serius ;)

Aku akan menganggapnya serius kalau kau pakai emot itu. Penghinaan besar. Kau lebih cocok dengan sesuatu yang ada hidungnya, seperti ini :-)

Begitu?

Sebelum sempat membalas, Levi sudah mengirim sms lain.

Kau di mana? Mau kujemput? Jika kau tidak mau melanjutkan kencanmu dengan Steve, sebaiknya kau tidak menyia-nyiakan hasil karya terbaikku.

Kalau kau mau mengantarku menjenguk Luke, aku setuju.

Deal XD.

Aku tidak sadar sudut bibirku terangkat sampai Spring berdeham. Dia menatapku sebal. "Sudah selesai?" katanya dengan nada jahat. "Kita tidak bisa selamanya berada di kamar mandi menyedihkan berbau lemon ini terlalu lama. Astaga, aku tidak tahu mengapa kalian manusia bisa tahan dengan semua alat serba merepotkan ini."

Kuputar mata pada Spring sebelum membalas pesan Levi.

Emot itu bahkan lebih buruk. Dan jemput aku di statiun dalam setengah jam.

Apa pun yang kau mau, Yang Mulia.

Aku menyimpan kembali ponselku, menatap Spring dengan alis terangkat (yang untungnya dia seketika mendapat pesanku agar dia kembali menjadi wujud sangat kecil dan bertengger di manapun dia mau). Setengah jam lagi bersama Steve pasti tidak akan seburuk yang kupikirkan, kan? Aku bisa mendengarkan ocehannya tanpa benar-benar terlibat. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro