First Sight

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke seratus delapan puluh aku menginjakkan kaki di bumi, hamparan pasir panas ini tak pernah gagal membuatku mengumpat sesekali, orang dari belahan bumi mana yang tahan di tempat seperti ini. Memakai pakaian yang hampir menutupi seluruh tubuh, aku mau tak mau mengikuti gaya hidup mereka.

Untuk apa pula Dewi Ilumia mengirimku ke sini? Manusia-manusia ini bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri, kehadiranku di sini bagaikan penyusup, ya memang benar. Aku tidak boleh menggunakan kemampuanku, bahkan untuk sekadar terbang saja, oh ayolah berjalan di atas pasir seperti ini siapa yang tahan.

Lagipula... mereka memiliki seorang pemimpin, kudengar baru-baru ini sang raja melantik putranya menjadi pangeran, sayang aku tidak melihat momen itu. Aku penasaran pemuda bebal macam apa lagi yang diberikan tanggung jawab sebesar putra mahkota.

Ah, sepertinya aku mengingat sesuatu, pada saat dimana aku tidak menghadiri pelantikan sang pangeran, aku merasakan sebuah kekuatan yang besar, sesuatu yang pernah aku rasakan sebelumnya. Bukan berasal dari sesosok entitas, tapi seperti benda berharga. Kuharap itu bukan pertanda bahaya.

"Tuan apa yang kau lihat, selamatkan dirimu," ujar seseorang kepadaku, raut mereka penuh ketakutan, sebenarnya apa yang terjadi?

Aku memutuskan untuk menghampiri badai itu, menyelami lautan manusia yang berlari berlawanan arah. Apa yang bisa membuat seorang Demigod seperti diriku takut?

Samar-samar aku dapat melihat punggung seorang pemuda, satu tangannya yang menggenggam belati ditarik oleh gumpalan pasir yang membentuk tangan raksasa. Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas lantaran tubuhnya yang membelakangi diriku, selain itu setengah wajahnya tertutup. Haruskah aku ikut campur?

Tidak tidak. Aku hanya ditugaskan untuk mengawasi para manusia ini, bukan untuk mencampuri urusan mereka, toh aku tidak tahu seluk beluk kehidupannya. Kendati sesosok makhluk aneh tanpa wajah yang melayang di hadapan pemuda itu tetap tak membuatku bergerak sedikitpun.

Badai pasir semakin dahsyat, orang-orang gurun yang berlarian menjauh dari kerajaan perlahan tenggelam dalam pasir. Aku bersembunyi di balik tiang bangunan kerajaan, berharap tak seorangpun melihatku, bahkan pemuda itu. Namun sepertinya kondisi membuatku harus pergi dari sini, bangunan pasir ini akan roboh.

Ugh, sudah cukup permainan manusia-manusiaan ini, aku ini Demigod, maka saat itu juga aku melayang menjauh dari tempat itu. Mengawasi kedua entitas yang tengah berseteru di bawah sana, aku tak memihak keduanya, pun tidak tertarik untuk mencampuri urusan mereka.

Namun sepertinya aku harus menyaksikan kekalahan sang pemuda. Dia kabur dengan belatinya yang retak, tubuhnya penuh luka dengan keringat yang mengucur di dahinya, aku diam-diam mengikutinya. Baru setelah ia membuka penutup wajahnya untuk menghirup oksigen aku menyadari bahwa dialah sang pangeran kerajaan.

Seorang pangeran yang kabur meninggalkan kerajaannya, seorang pangeran yang berdiri di atas hamparan pasir yang menelan rakyatnya, seorang pangeran yang kehilangan jati diri. Bisakah kau bayangkan menjadi satu-satunya yang selamat sementara rakyatnya harus menderita di bawah sana, ia bahkan masih berani menginjakkan kaki di atas kerajaannya yang hancur. Sungguh menyedihkan, dasar manusia.

Dengan begini tugasku sudah selesai bukan? Apalagi yang harus aku awasi? Bahkan aku tidak perlu lagi menyamar dan berbaur dengan manusia karena mereka telah lenyap tertelan pasir.

Aku terdengar jahat? Huh, sejujurnya aku tidak bisa berbuat apa-apa, semua yang terjadi ini sudah tertulis di dalam takdir sang pangeran, mengasihaninya hanya membuang-buang waktu. Biarkan dia menyadari kesalahannya, kecerobohannya, dan kelalaiannya.

Tapi melihatnya seperti itu membuatku sedikit merasa iba, yah mungkin aku akan menyapa-dan memperkenalkan diri sebagai seorang Demigod yang hanya diam saja ketika hambanya dalam masalah? Tidak, lalu bagaimana?

Ah apa peduliku.

"...."

Atau mungkin tidak? Ya, aku tidak akan menampakkan diri di hadapannya. Tapi aku akan selalu mengawasinya.

Tulen's POV End

Memaksa kakinya yang lunglai untuk terus melangkah meninggalkan tanah bekas kerajaannya, sang pangeran tertatih-tatih seraya menggenggam belati yang sudah retak. Sayatan di lengan kanannya terasa begitu nyata seolah menyadarkan dirinya bahwa ini semua bukanlah halusinasi, ia kehilangan kerajaannya, bahkan keluarga hingga rakyatnya.

Sang pangeran terus melangkah, mengukur luasnya padang pasir yang tak berujung. Sementara sang surya mulai menyembunyikan diri ia masih belum menemukan tujuan. Samar-samar ia melihat sebuah gua jauh di depan sana, mungkin bisa untuk bermalam hari ini saja pikirnya. Setidaknya ia tidak harus bertemu dengan makhluk-makhluk gurun yang mengerikan di malam hari-atau mungkin ia malah bertemu dengan bahaya?

Beralaskan pasir dan beratapkan bebatuan, sang pangeran tanpa mahkota dipaksa untuk membiasakan diri dengan kehidupannya yang baru. Sangat jauh dibandingkan hidupnya sebagai orang terpandang, meski ia tak pernah semena-mena akan kekuasaannya namun dapat ia rasakan perbedaannya.

Belati artefak kerajaan itu disandarkan pada dinding gua, tangannya yang terbalut tekstil menyapu ukiran abstrak di bebatuan itu. Hawa dingin mulai terasa menyelimuti, membuatnya reflek memeluk diri, berharap malam kelam ini segera berakhir.

Memilih untuk memejamkan mata, ia berharap tidak akan mengingat kejadian yang telah menimpa kerajaannya. Namun nyatanya salah....

"Pangeran, selamatkan kami!!"

"Kami masih ingin hidup, Pangeran."

"Pangeran Murad!"

"PANGERAN-"

Murad terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, itu tadi adalah mimpi buruk pertamanya sebagai seorang putra mahkota kerajaan. Tangisan dan raungan keputusasaan rakyatnya menjadi lullaby yang mengiringi malamnya.

Sementara sesosok Demigod termenung di atas bibir gua, memandang langit berbintang dengan hamparan pasir di bawahnya. Sesekali sang utusan Dewi itu mendengar suara gelisah dari dalam sana, sambil bertanya-tanya mengapa ia masih menginjakkan kaki di bumi dibandingkan kembali ke Temple of Light.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro