🐈‍⬛14. Jangan Baper!🐈‍⬛

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah menyelubungi Angga dengan kain tenun Bali, Sekar duduk bersandar pada batu besar. Dia menyuruh Cempluk memosisikan kepala Angga berbantalkan pahanya.

Angga yang terasa kedinginan sontak merasakan kehangatan merayap di kalbu. Dia tahu Sekar adalah gadis yang baik. Oleh karena itu, Angga bersyukur Naru menolaknya karena teman sekelas Sekar itu terkenal playboy. Sekar tidak pantas mendapatkan laki-laki seperti Naru. Dia seharusnya mendapatkan lelaki yang lebih baik.

Angga memilih memejamkan mata sambil menikmati semua perhatian yang diberikan oleh Sekar. Saat dia menyeka dahinya dengan kain untuk mengompres agar suhu tubuhnya cepat turun. Ketika gadis itu membetulkan kain yang menyelubungi tubuh. Kala Sekar menginstruksikan Gendhon untuk mencari daun pepaya agar digodok dan diperas sebagai penurun panas walau efeknya tak sehebat parasetamol.

"Dinda, aku tidak akan mati semudah itu!" Angga terbatuk. Dia bisa mendiagnosa kalau lelaki itu hanya flu ringan.

"Kanda, anda adalah calon raja hebat. Tapi anda tetaplah manusia. Besok lagi jangan berlagak sok pahlawan."

Angga mengulum senyum. Percakapan dengan bahasa aneh itu lolos begitu saja dari bibir seolah memang sehari-hari mereka bercakap seperti itu. Mau tidak mau mereka harus bercakap seperti lakon dalam ketoprak karena Cempluk masih ada di sekitar mereka.

"Demi Dewi Durga. Otak Kanda sehat? Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Sekar sambil mengecek temperatur tubuh Angga dan membandingkan dengan dirinya. Sekar khawatir otak yang ada di tubuh Airlangga jadi konslet. Jika itu benar, bisa-bisa sejarah benar-benar akan berubah.

Angga menggulirkan pandangan ke segala arah untuk memastikan kini emban Sekar telah menjauh.

"Berasa aneh aja diperhatiin sama Sekar yang berduri kaya mawar. Baru didekati biasanya udah nusuk. Eh, sekarang bisa nempel." Angga memutar badan menghadap perut Sekar, lalu melingkarkan lengan sehingga gadis itu tak bisa berkutik. Kini dengan berani Angga mendusel-dusel perut Sekar.

"Ka-kanda?!" Sekar terpekik. Matanya mendelik. Ia melirik ke kanan dan ke kiri dengan wajah yang memerah.

"Kanda, dilihat Mpu, Simbok, Dayang, dan Patih!" desis Sekar berusaha mengurai rengkuhan Angga.

"Biar! Mereka punya mata. Mereka justru senang karena berpikir sebentar lagi rahim Sang Putri akan terisi."

Sekar menjitak kepala Angga. Sepertinya otak lelaki itu benar-benar ada yang error. "Jangan harap menabur benih! Pelanggaran UU Perlindungan Anak."

"Sayangnya kita berada di masa lalu. Usiamu dianggap sudah pantas menjadi ibu." Angga terkekeh sambil meringis dan menggosok pelipisnya.

Sekar mengembuskan napas dengan kasar. "Aku pengin pulang, Mas." Sekar berbisik saat bicara dengan gaya masa depan.

"Ehm, kita belum ada cara untuk pulang. Lagipula kenapa kita berada di sini pun masih suatu misteri," kata Angga. Matanya masih terpejam.

"Aku rindu Papa. Dharmawangsa Teguh juga mirip papa. Namanya pun juga." Sekar menunduk. Rambut yang tergerai menjuntai menutup wajah. Sebutir air lolos dari kelopak mata dan menetes ke pelipis Angga.

Angga menoleh. Ia mendapati bahu Sekar bergetar hebat. Lelaki itu menegakkan tubuh dan memeluk tubuh melengkung Sekar yang gemetar itu.

"Kita pasti akan pulang. Makanya jangan pernah kamu terbawa perasaan di masa lalu," bisik Angga sambil menepuk punggung polos di atas ujung kembennya.

Sekar mendorong Angga. Alisnya mengernyit. "Maksudnya?"

"Kamu suka kan dengan Narottama itu?"

Sekar menggigit sudut bibir kirinya. Dia kesal Angga bisa menebak perasaannya dengan mudah.

"Bukan urusan Mas." Sekar melengos. Dia menyeka air mata yang sempat leleh. Alisnya bergetar saat menyadari kisah cintanya tidak pernah berjalan mulus.

Tak dimungkiri Sekar senang diperhatikan oleh Narottama. Lelaki gagah yang mirip dengan cinta pertamanya itu mampu membuat hatinya bergetar hebat. Rasa kecewa akan penolakan Naru seolah terobati dengan perhatian Narottama.

"Mas jangan berlagak jadi suamiku. Di masa lalu memang kita menikah. Tapi saat kembali kita bukan siapa-siapa," tambah Sekar dengan pandangan tertuju pada air terjun di depannya.

Bibir Angga terkunci. Jakunnya naik turun berulang kali karena tenggorokannya terasa tersekat akibat ucapan Sekar. Ia tak mengira gadis itu begitu antipati dengannya.

"Aku tahu itu bukan urusanku. Tapi sebagai teman dari masa depan aku hanya mengingatkan saja. Jangan sampai kamu patah hati dua kali. Dunia ini bukan dunia kita, Sekar!" bisik Angga karena tidak ingin orang lain mendengar.

Sekar terdiam. Angin yang berembus menyapu wajah, mengibarkan anak rambutnya. Angga menyibak anak rambut itu ke belakang telinga.

"Dinda, jangan membenci terlalu besar. Karena benci dan cinta batasnya seperti helaian rambut yang tipis. Dari benci kamu bisa benar-benar cinta."

Tawa Sekar menguar. "Wah, Kanda benar-benar sakit. Tidak bisa membedakan antara benci dan cinta. Sebaiknya Kanda beristirahat. Hamba akan memeriksa para dayang menyiapkan tumbukan daun pepaya."

Sekar berdiri. Ia mengibaskan pantat lalu berjalan menuju dua dayang yang sibuk membakar ikan tanpa memakai bumbu. Sementara Angga hanya menatap pantat Sekar yang bergoyang ke kanan ke kiri saat berlalu dari hadapannya. Dalam hati, dia heran kenapa Sekar selalu bersikap memusuhinya.

***
Sekar duduk berjongkok di dekat perapian. Dayang-dayang serta Cempluk sudah melarangnya mendekat tetapi ia memilih tetap berada di situ. Duduk di dekat Angga rupanya bisa membuat hatinya jengkel sekaligus sedih.

Tidak usah dijelaskan oleh Angga, Sekar sudah sangat paham, bahwa bila perasaannya pada Narottama tidak segera dipupus, pasti akan menimbulkan patah hati bila masanya ia kembali. Dan bila kemungkinan terburuk terjadi, apabila Sekar tidak bisa kembali ke masa lalu, dia harus memendam cintanya pada Rakyan Kanuruhan Narottama.

Jika Sekar tidak bisa mengikis perasaaannya, bisa saja sejarah baru akan terjadi. Di buku sejarah, mungkin akan tertulis permaisuri Airlangga adalah putri Sriwijaya yang dinikahi melalui pernikahan politik karena Sekar Galuh berselingkuh dengan pengawal setianya.

Sekar bergidik. Dia menggeleng-geleng sambil menatap Narottama yang sedang duduk bersila dengan kedua tangan menumpu di lutut. Matanya terpejam dan bibir merahnya komat-kamit. Dari jauh, gadis itu bisa melihat aura hangat yang menguar dari tubuhnya.

Sekar harus menyudahi lamunannya. Dia lantas menyuruh salah seorang dayang untuk menumbuk daun pepaya yang sudah dicuci lalu memerasnya di sebuah kain. Setelah merebus di sebuah batok kelapa yang air kelapanya diminum oleh Sekar, ia menyisihkan dulu obat herbal yang konon katanya mengandung antipiretik dosis rendah itu agar lebih dingin.

Setelah ikan dan ubi yang kebetulan ditemukan Tomblok matang, Sekar menyuruh para dayang membawa ke dekat Angga yang sedang berbaring.

"Kanda, bangun. Makan dulu." Sekar menepuk pundak Angga.

Angga membuka kelopak matanya. Naluri cepat terbangun karena kebiasaan jaga sewaktu coass dan residen membuatnya segera menegakkan tubuh. Dia menggosok wajahnya dengan kasar.

"Ayo, makan. Habis itu minun perasan daun pepaya."

Angga tak bicara lagi. Perutnya pun sudah lapar karena semalam tak diisi makanan. Dia melahap ikan bakar dan ubi bakar.

Melihat makan Angga yang lahap, Sekar menyodorkan makanannya. "Makan ini! Jangan sakit lagi! Nanti merepotkan."

"Kamu aja yang makan. Aku udah kenyang karena udah menghabiskan 2 ikan dan 5 ubi." Angga mengusap mulutnya dengan punggung tangan.

"Kalau begitu minum perasaan daun pepayanya. Setidaknya bisa mengurangi demam. Aku sediakan juga kelapa muda untuk menetralkan pahitnya."

Angga tersenyum. Senyuman itu terlihat tulus tanpa kesan jail. Seolah kharisma Airlangga melekat di dirinya. Sekar menggeleng.

Pasti karena dia sedang demam saja. Coba kalau sudah sembuh. Tengilnya pasti kumat!

Angga mengambil batok kelapa berisi cairan hijau pekat. Dia menghirup napas dalam lalu mengangkat tempurung itu dan meneguk isinya tak bersisa. Masih menahan napas, Angga mengambil batok berisi air kelapa muda untuk mengikis rasa pahit di lidah.

Sekar meringis seolah ikut merasakan pahitnya. Begitu Angga menurunkan batok terakhir, gadis itu lega. Setidaknya obat herbal itu bisa menurunkan sedikit panasnya.

"Dari mana kamu tahu daun pepaya punya menurunkan panas?" Angga melirik Sekar, sambil menyeka sisa air di atas mulutnya. Dia merasakan bulu halus telah tumbuh di bawah hidung.

"Gini-gini aku tahu lah pengetahuan umum begitu. Emang Pak Dokter aja yang tahu?" Sekar melanjutkan makannya.

"Adinda Sekar Galuh, terima kasih." Angga tersenyum di wajah pucatnya.

Hati Sekar bergetar saat mendapati nada suara Angga yang lembut. Tidak biasanya Angga bersikap melankolis. Gadis itu salah tingkah menghadapi Angga.

Namun, Sekar lupa. Angga tetaplah Angga yang tengil.

"Cie, baper!"

"Apaan sih!" Mata Sekar melotot. Ia menyembunyikan rasa malunya dengan memberengutkan wajah. "Biasa aja kali!"

Angga berdesis seraya menempelkab telunjuk di bibir merah yang mengerucut. "Jangan keras-keras!"

Sekar melipat bibir dan menoleh ke sekeliling. Semua sepertinya larut dengan makanannya karena kelaparan. Matanya tertuju pada sosok Narottama yang melahap makanan dengan gerakan anggun.

"Adinda, jangan mencoba mengubah sejarah. Nggak ada ceritanya Sekar Galuh berselingkuh dengan Narottama. Mengerti?"

Sekar hanya bisa menelan ludahnya. Ia paham tidak seharusnya ia terbawa perasaan di masa lalu.

💕Dee_ane💕

Dee ulang tahun masuk Wepeh yang kedua nih. Kasih hadiah vote n komen yang buanyakkkk yak.

*modussss🙊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro