🐈‍⬛27. Mengaku🐈‍⬛

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat malam, Deers! Sehat semuanya, 'kan? Sekar-Angga datang lagi! Semoga terhibur😊

❤Sugeng maos❤

Sekar menggigit bibir sambil mengedarkan pandang ke segala arah. Otaknya masih menimbang keputusan apa yang terbaik untuk dipilih.

"Putri?"

Suara berat itu membuyarkan lamunan Sekar. Gadis itu menoleh dan memutuskan hal yang beresiko karena ia takut mengubah sejarah.

Sekar berdeham untuk melancarkan tenggorokan yang tersekat. Sementara itu ujung lidahnya berusaha membasahi bibir yang terasa kering agar kata-kata pengakuannya bisa mulus terlontar.

"Ehm, Naro. Aku ingin cerita." Suara Sekar terdengar bergetar.

"Silakan, Putri. Hamba mendengarkan." Narotamma pun mencurahkan perhatiannya pada Sekar.

Gadis ini menghela napas panjang agar udara mampu meredakan debaran akibat keputusan yang beresiko. Akankah setelah ia bercerita tentang latar belakangnya dari masa depan, Sekar Galuh S. Pd hanya tinggal nama?

Namun, Sekar tetap memilih memberitahukan kenyataan yang sederhana.

Setelah meredakan degupan jantungnya dengan mengatur napas berulang kali, gadis itu membuka mulut. "Naro, ketahuilah, aku bukan Dewi Sekar Galuh Kedaton yang kalian pikir. Aku hanya Sekar Galuh. Seorang gadis dari abad 21, tahun saka 1939, yang bekerja sebagai seorang guru. Aku bukan Putri Medang yang Naro sangka."

Sekar berpikir, Narotamma akan terkejut, dan marah karena dia berlaku sebagai seorang putri. Bisa jadi, sang mpu akan menyangka gadis itu telah menculik sang putri. Nyatanya, tak ada reaksi dari lelaki berjenggot lebat itu.

"Naro?" Sekar beranggapan Narotamma pasti menganggapnya gila sehingga tak menanggapi. Akhirnya Sekar pun menjelaskan bagaimana ia bisa tersangkut di era Medang melalui lubang hitam itu. Mau tak mau ia pun harus menyinggung nama Angga.

Narotamma akhirnya tersenyum setelah mendengarkan cerita Sekar.

"Saya tahu, kalian bukanlah putri dan pangeran!" Narotamma kemudian mengubah cara bicaranya.

Sekar memelotot lebar. Bagaimana bisa Narotamma tahu dirinya dan Angga bukanlah putri dan pangeran yang asli? Sesakti itukah Mpu muda yang ada di hadapannya? Atau jangan-jangan dia sering kelepasan berkata-kata dalam bahasa gaul sehingga Narotamma pun menyadarinya? Ya, tentu saja dia tahu karena kesaktiannya. Hanya saja kenapa Narotamma tak membunuh mereka?

Sekar menelan ludah kasar. Pikiran buruk menyusupi otaknya. Jangan-jangan pertapaan itu hanya alasan saja untuk bisa leluasa membunuh Angga.

Seketika kuduk Sekar berdiri dan wajah gadis itu kehilangan rona seolah darahnya terkuras.

"Dari mana kamu tahu? Apa kamu bunuh Mas Angga?" Sekar serta merta berdiri di atas batu. Ia menyesal mengikuti Narotamma ke situ karena kini ia akan kesulitan melarikan diri.

Tawa Narotamma menggema keras hingga burung yang hinggap di dahan mengepakkan sayapnya. Sekar menajamkan kewaspadaannya seraya melirik gerombolan burung yang beterbangan di langit. Selanjutnya ia menatap Narotamma dengan mata menyipit.

"Kenapa kamu tertawa? Apa yang lucu?" Mata Sekar membeliak. Ia melangkah mundur tapi sayangnya sudah berada di tepian batu.

"Putri, jangan mundur lagi atau Putri akan terpeleset dan jatuh!" Narotamma memperingatkan.

Tapi, peringatan itu tidak diindahkan oleh Sekar. Ia terlalu takut dengan begawan sakti itu. Namun, hidupnya kini ada di tangan Narotamma. Mau lari pun tentu saja dia tak akan bisa. Kecepatan larinya tak sepadan dengan kecepatan ilmu Meringankan Tubuh yang bisa berpijak dari daun satu ke daun lain atau pucuk pohon satu ke yang lain.

Tetap saja Sekar melangkah mundur dengan masih menatap ngeri Narotamma yang pernah ia kagumi. Kakinya beralas kaki dari kulit lembu itu menggapai-gapai batu di sisi tempat ia berpijak.

"Kamu nggak bakal semudah itu bunuh aku!" Sekar berseru dengan bahasa masa depan, sementara tangan dan kaki memasang kuda-kuda sambil mengingat jurus karate yang ia latih sewaktu kecil.

Narotamma mengernyitkan alis sambil berusaha memahami ucapan cepat Sekar. Namun, belum selesai otaknya mencerna, tubuh Sekar limbung karena telapak alas kakinya terpeleset lumut.

Sekar terpekik dengan tangan bergerak-gerak di udara seolah ingin menggapai sesuatu yang tak kasat mata di depannya. Ia kini berpikir bahwa hari ini adalah akhir hidupnya bila ia terjatuh dan terbawa arus yang cukup deras.

Namun, dugaannya tak terjadi. Kain putih Narotamma itu melilitnya dan menariknya ke sisi lelaki dewasa itu dalam sekejap mata. Mendapati dirinya tak merasakan basah melainkan ada sesuatu yang merengkuhnya, kelopak mata Sekar yang terpejam erat pun terbuka perlahan.

Didapatinya, Sekar kini mendarat di dada kekar dan berotot liat yang selalu membuatnya terkagum-kagum.

"Jangan bergerak sembarangan, atau kita akan terjatuh." Narotamma berbisik pelan hingga membuat Sekar harus mendongak.

Wajah mereka yang berjarak sejengkal itu saling berhadapan. Saking dekatnya ia bisa merasakan embusan udara dari hidung Narotamma.

"Lepaskan aku!" Sekar berusaha mendorong tubuh itu.

"Tidak!"

Selanjutnya tubuh Sekar terangkat dalam pelukan Narotamma yang menggunakan ilmunya melayang di udara. Dalam hitungan detik, Narotamma terbang dari tempatnya berdiri ke tepian sungai yang subur ditumbuhi rumput hijau.

Tubuh mereka berimpit. Sekar hanya bisa menggenggam kain putih Narotamma dan berpasrah saat mereka terbang bersama. Ujung kain yang membelit Sekar itu melambai-lambai tertiup angin. Keduanya terbang setinggi 5 meter dari permukaan tanah dan mendarat dengan cantik di tepi sungai deras.

Begitu kain yang melilit tubuhnya terurai dan Narotamma melonggarkan pelukan, gadis itu menarik tubuh menjauhi sang begawan. Sekar tak menyia-nyiakan kesempatan untuk lari walau tahu kemungkinan keberhasilannya sangat minim.

Lagi-lagi tebakannya betul. Baru saja dia hendak berbalik, tetapi tubuhnya kini membeku seolah ia kini menjadi batu dan kakinya terpancang di tanah. Bahkan lidahnya pun kaku tak bisa berkata-kata. Sekuat tenaga, ia ingin melangkah tetapi kakinya terasa berat seolah ada belenggu yang terpasang di pergelangan kakinya. Kali ini, Sekar hanya bisa berpasrah. Nasibnya sekarang ada di tangan Narotamma.

"Putri, jangan bergerak, atau kamu akan merasa kakimu semakin berat!" larang Narotamma mendekat dan kini berdiri di hadapannya.

Sekar memicing sambil merutuk dalam hati. Peluhnya kini mengucur deras di wajah karena ketakutan yang luar biasa seolah ia sedang menghadapi sakratul maut.

Sekar tetap saja tak memedulikan larangan Narotamma. Kakinya masih berusaha diangkat hingga mulutnya meringis dan wajahnya memerah saat berusaha mengerahkan kekuatan.

Namun, tiba-tiba gadis itu jatuh terjerembap, begitu Narotamma mencabut rapalan mantra yang membekukan raga Sekar.

Sekar merintih kala tubuhnya rubuh mendarat di kerikil. Dia berusaha bangkit, tetapi Narotamma justru duduk berjongkok di sampingnya. Gadis itu beringsut ke belakang karena takut dengan kesaktian sang begawan.

"Putri, jangan takut!" Walau Narotamma berusaha menenangkan, tetapi tetap saja kuduk Sekar bergidik.

"Aku bukan Putri Medang! Kamu tahu itu, bukan?" Air mata Sekar meleleh deras membasahi pipinya. Tubuh yang lecet itu tak terasa nyeri karena dikalahkan oleh ketegangan menghadapi sosok besar pendamping Raja Kahuripan itu.

"Jangan menangis, Putri." Narotamma semakin mendekat tetapi Sekar masih terus menggeser badannya ke belakang.

Nahasnya, punggung Sekar menumbuk batu besar yang membuatnya kini terjepit. "Bunuh saja aku!"

Namun, lelaki di depannya itu menggeleng. "Aku tidak akan membunuhmu, Putri."

Sekar menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibir untuk menahan sesenggukan. Dia menarik kakinya dan menumpukan lengan yang terlipat di lutut agar kepalanya tersembunyi.

Tetapi, Narotamma justru menurunkan lengan yang bergetar itu. Tangannya lalu mengangkat dagu Sekar hingga memperlihatkan wajah yang dipenuhi derai air mata.

Sekar memejamkan mata erat untuk menyiapkan batinnya saat nyawanya ditarik dari raga. Namun, lima menit berlalu, tak terjadi sesuatu padanya.

Perlahan dia membuka mata dan mendapati Narotamma yang memandangnya. "Kamu melukai hatiku, Sekar Galuh. Aku tidak akan membunuhmu."

Sekar menelan ludah kasar. Batinnya berkecamuk kala mendengar Narotamma menatap penuh damba.

"Dengar, akulah yang membawamu ke sini." Narotamma akhirnya membongkar kenyataan yang membuat isakan Sekar terhenti dan matanya membeliak.

"Apa ...?" Alis Sekar mengernyit.

"Seperti yang kamu dengar, akulah orang yang menyeret kalian ke sini!" Narotamma mengulangi ucapannya.

"Kenapa? Apa salah kami?" Suara Sekar meninggi.

"Kalian tidak salah. Yang salah, hanyalah wajah kalian yang sama dengan nama yang sama pula. Sekar Galuh, putri dari Dharmawangsa, sedang Satria Erlangga adalah putra dari Udayana." Narotamma kini menumpukan lututnya di tanah masih dengan tatapan yang masih melekat pada Sekar.

"Itu hanya kebetulan! Tidak ada sangkut pautnya dengan penguasa Medang dan Bedahulu!" Gadis itu dengan berani menepis kasar tangan Narotamma. Dada Sekar naik turun karena tak menyangka Narotamma yang ia anggap baik itu justru biang keladi ia dan Angga bisa tersedot di lubang hitam yang mengerikan.

"Aku tahu! Tapi aku hanya menjalankan titah guruku." Jawaban Narotamma itu terdengar seperti sebuah pembelaan di telinga Sekar.

"Guru? Mpu Barada?" tanya Sekar tak percaya. Ia merasa sosok pelaku sejarah itu adalah seseorang yang bijaksana.

Namun, Narotamma justru mengangguk sebagai isyarat bahwa ia membenarkan tebakan gadis dari masa depan itu.

"Tetap saja! Kamu membuat kami masuk di dunia baru yang tak kami kenal." Isakan kembali terlontar dari bibir Sekar. Namun, suara kencang itu, lambat laun menjadi lirih. "Mana saat itu, Mahapralaya terjadi sehingga aku berada di sini. Sedangkan sekarang, Mas Angga tidak tahu bagaimana nasibnya."

"Tenang, Sekar. Angga baik-baik saja. Dia bahkan menjadi pribadi yang kuat dan tangguh karena pertapaannya," hibur Narotamma sambil menepuk pundak gadis itu.

Sekar meringis sambil mengorek liang telinganya dengan jari kelingking. Panggilan langsung nama yang meluncur dari bibir Narotamma itu justru membuat ia risi. Tapi, untuk apa juga panggilan "Putri" dan "Pangeran", karena sebenarnya begawan muda itu tahu yang sebenarnya dari awal.

"Tapi, apa alasan Mpu membawa kami ke masa lalu?" Sekar mengusap air matanya dengan punggung tangan dan berusaha menyelidiki motif penasihat Airlangga.

Bukannya menjawab, laki-laki berjenggot panjang itu hanya tersenyum dan memandang Sekar.

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro