🐈‍⬛3. Black Cat🐈‍⬛

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari tempat duduknya, Sekar menyipitkan mata, menangkap lebih detail gambaran lelaki yang senyumnya tampak menjengkelkan, dari atas ke bawah.

Sekar memperkirakan Angga setinggi 180cm. Rambutnya bergelombang ditata rapi menggunakan pomade. Kulitnya kuning langsat, dengan wajah tirus yang berahang tegas. Matanya sipit, hidungnya menonjol layaknya ras Caucasoid. Sementara bibir merah tipisnya berada di atas dagu yang sedikit belah.

"Gantengnya!" Pujian itu keluar dari bibir Laksmi. Sekar menarik sudut bibirnya ke atas, tak menyetujui sanjungan itu.

"Sekar, berdiri to. Ini Mas Angga-mu dulu." Dharma menepuk punggung pemuda itu, kagum dengan transformasi Angga. Wajah Angga tak banyak berubah, tapi ia hanya terlihat lebih matang dan rapi.

Dengan sedikit memberengut, Sekar berdiri. Gaunnya dikibaskan untuk meredam kekesalan. Sekuat tenaga ia berusaha menarik otot pipi, tetap saja ia tak bisa mengukir senyum menawan. Yang ada justru terlihat seringai aneh di paras eksotisnya.

Sekar memutar bola mata, menghindari pandang dengan Angga. Tangannya terulur memberi salam.

"Hai, Mas. Ketemu lagi."

Segera Angga menyambut tangan Sekar, tetapi saat baru menyentuh telapak tangan, gadis itu sudah menarik lengan, dan menepuk kedua tangan seolah menghilangkan debu.

Angga hanya mendengkus, melihat reaksi Sekar. Gadis itu tidak berubah dari saat mereka berpisah. Tetap jutek dan terlihat membencinya. Dari segi fisik, Sekar hanya terlihat lebih terawat dibanding waktu SMA. Angga bersikap tak peduli dengan sikap Sekar. Padahal, jantung Angga sekarang menggila karena melihat wajah manis berkulit tembaga itu.

"Angga, kamu duduk di sebelah Sekar. Biar yang muda-muda bisa mengobrol," kata Laksmi.

Sekar ingin berteriak dalam hati. Bagaimana bisa mamanya bersemangat sekali menjodohkan dengan Angga? Padahal Laksmi tahu betul ia membenci Angga karena Sekar selalu bercerita tentang kelakuan Angga pada mamanya. Sekar hanya mengembuskan napas kasar dan duduk di sofa merah yang empuk itu.

Angga berjalan memutar. Tidak ingin melintas di depan para tetua duduk. Dengan baju kasual, berupa kemeja berbalut sweater-yang menurut Sekar tidak cocok digunakan di Surabaya yang panas-serta celana jeans, Angga duduk di samping gadis yang mulutnya mencap mencep.

"Kamu nggak berubah, ya? Masih jutek aja? Masih suka nangis nggak?" Angga memulai percakapan.

Sekar melirik ke arah Angga. Lagi-lagi senyuman itu terlihat menyebalkan. Senyuman yang sama saat Angga menjadi saksi hidup penolakan Naru.

"O, ya? Biasa aja." Sekar tak bisa menyembunyikan nada ketus.

"Aku heran, dan nggak habis pikir kenapa aku diketusin?" Suara Angga rendah menyerupai bisikan. Ia tak ingin percakapannya terdengar oleh para sesepuh.

Sekar menelengkan kepala. Kerlingan tajam menghujam, memindai wajah yang beralis lebat itu. "Siapa yang suka dijodohkan? Emang ini zaman Siti Nurbaya? Ya Tuhan, apakah orang tuaku segitu putus asanya sampai takut anak gadisnya nggak laku!"

Tawa menguar dari bibir Angga. Tawa yang terdengar layaknya kekehan setan di telinga Sekar. Membuat Sekar ingin menutup kedua telinganya. "Loh, dari ditolak Naru itu belum laku lagi?"

Bibir Sekar semakin melengkung ke bawah. Bisa-bisanya Angga mengingatkan pada peristiwa memalukan yang tidak ingin ia ingat, apalagi ia bicarakan. Sekar bersedekap, menyandarkan punggungnya dengan kasar di sandaran sofa. Ia melengos, tak ingin melihat Angga yang bisa merusak suasana hatinya.

"Nggak usah malu. Kaya sama sapa aja."

"Kamu ...." Sontak Sekar menoleh seraya mengacungkan telunjuk di depan hidung mancung Angga. Kedua iris coklat Angga menjuling, menatap ujung jari Sekar.

Rahang yang mengerat itu bergetar saat Angga seolah mengoloknya. Penolakan Naru dan kata-kata Angga, sangat membekas di ingatan Sekar. Ia menjadi takut membuka hati. Enggan jatuh cinta lagi.

Sekar menarik kembali telunjuknya. Kepalan tangannya bergetar di depan muka Angga, seiring pembuluh di pelipis yang berkedut dialiri darah kebencian yang menggelegak.

"Kamu kok kelihatan benci banget sama aku sih, Kar?"

Sekar mengembuskan napas panjang. Sikap Angga yang seolah tak tahu apa-apa semakin mendidihkan darahnya. Sudah hilang ingatankah Angga bahwa sejak TK sampai SMA, lelaki tengil itu selalu mengganggunya?

"Katanya kalau benci itu benar cinta," tambah Angga.

Sekar membeliak, rahangnya seperti tertarik oleh gravitasi. Sepertinya Angga ingin sekali merasakan jurus tapak gajahnya. Ya, tangannya memang mungil, tapi sekali menghantam, bisa dipastikan tulang hidung yang menonjol itu akan bergeser.

Namun, lagi-lagi Sekar hanya mendesah. Ia mengeluarkan earphone untuk menyumpal liang telinganya dari suara-suara Angga yang bisa membuat panas batinnya.

***
Reuni berlangsung sangat meriah, walau Sekar merasa seperti berada di dunia lain. Tak ada satu orang pun yang ia kenal selain Angga. Sepertinya beberapa orang juga membawa putra dan putri mereka yang masih single, agar bisa berkenalan. Siapa tahu bisa menemukan jodoh.

Berulang kali Sekar menguap, tak menunjukkan antusiasme. Cara duduknya pun mengisyaratkan dia tidak menikmati acara itu. Sekar menepuk lengan Laksmi, memberi ekspresi mengantuk. Walau sebenarnya ia masih sangat segar. "Ma, pulang yuk."

"Ish, kamu ini! Papamu lagi ngobrol sama teman-temannya."

Yana yang mendengar ajakan Sekar, angkat bicara. "Ga, antar Sekar pulang gih. Kasihan dia udah capek. Atau kalian jalan-jalan gitu?"

"Nggak usah, Om. Nanti Sekar naik taksi online aja." Buru-buru Sekar menolak.

Yana menggeram, layaknya Herder yang tulangnya diambil. "Bahaya anak cewek jalan sendiri malam-malam. Kalau kamu diapa-apain gimana?"

Angga mengernyitkan alis. "Nggak ada yang berani ngapa-ngapain Sekar, Pi. Yang ada penjahatnya mikir ulang, takut diapa-apain sama dia," celetuk Angga sambil memainkan game di gawainya.

"Ga, kamu ini selalu godain Sekar. Sekali-kali disayang kenapa?" sergah Yana.

Bagaimana mau disayang-sayang? Baru mau buka mulut, Sekar sudah sewot! rutuk Angga dalam hati.

Angga hanya memberikan cengiran, lantas berdiri dengan wajah malas di depan Sekar. Ia memasukkan gawai ke kantung celana. "Ayo, aku antar. Aku nggak mau dimarahin Papi."

Melihat semua mata memandang ke arah mereka, mau tak mau Sekar berdiri dan berpamitan pada para orang tua yang ada di situ. Sekar berjalan membuntuti Angga. Satu Satu langkah Angga yang panjang diimbangi dua langkah kaki Sekar agar tak ketinggalan.

Angga berhenti, berbalik ke belakang, dan menjangkau pergelangan tangan Sekar. Sekar terkesiap, kemudian berontak, ingin mengurai cengkeraman erat Angga.

"Lepasin ...."

"Lama banget sih! Jalan macem putri Solo!" keluh Angga. Sekar menaikkan sudut bibir atasnya. Ia menepis kasar tangan Angga, tapi usahanya sia-sia.

"Aku bisa pulang sendiri!" Sekar tetap kukuh pada pendiriannya.

"Kamu mau aku dimarahi Papi?" kata Angga, masih menarik Sekar. "Jangan mempersulit yang sebenarnya mudah!"

Tidak ingin menjadi bahan tontonan orang-orang yang ada di lobi, akhirnya Sekar hanya menurut ditarik oleh Angga. Ini kali pertama lelaki itu memegang tangannya, dan seolah menarik ke lubang kesialan yang tak dapat Sekar tolak.

Tanpa bicara, mereka turun ke area parkir menuju mobil MPV yang terparkir di sudut. Begitu melintasi lahan parkir, Sekar menyergah Angga. "Lepas!"

Angga mengurai gandengannya. Ia mengelap tangan di kain celana denimnya. Sekar mencibir sikap Angga. Apa Angga pikir tangannya kotor, sehingga harus dilap sebegitunya? Menyebalkan!

Walau Sekar sudi pulang bersama Angga, dalam hati Sekar berjanji, malam itu adalah terakhir kalinya ia akan duduk di sebelah Angga. Ia memilih membisu, benar-benar enggan bercakap dengan Angga walau sekedar basa-basi.

Sejurus kemudian, mobil sudah bergabung dengan keramaian jalan raya. Kerlap kerlip lampu kendaraan menghiasi jalanan. Namun, suasana yang semarak di luar bertolak belakang dengan aura kelam di dalam kabin mobil. Embusan AC semakin membekukan atmosfer di antara mereka.

"Kita ke mana?" tanya Angga memecah sunyi. Pertanyaan itu hanya disambut riuh penyiar radio yang dari tadi mengisi ruang sunyi di dalam mobil.

Angga mendesah. Sikap Sekar membuat ia lama-lama jengah. Karena tak mendapatkan reaksi dari Sekar, Angga hanya memutar kemudi tanpa tahu arah tujuan di mana Sekar menginap.

"Kok ke sini sih?" tanya Sekar saat Angga melajukan mobil ke arah sebaliknya dari rumah nenek Sekar.

"Kamu diam aja dari tadi. Aku sudah tanya nggak dijawab." Angga menjawab sekenanya. Tangan kanannya tertekuk menumpu di lis jendela mobil, sambil mengusap dagu. Bola matanya bergulir ke kiri, mengamati ekspresi Sekar.

"Bisa nggak, sekaliii saja nggak bikin aku marah?"

"Justru aku heran, kenapa kamu membenciku? Aku salah apa coba?"

Sekar menepuk dahinya. Angga benar-benar hilang ingatan. Ia melupakan ulah menyebalkannya sewaktu remaja.

"Aku inget, dulu Mas sering gangguin aku. Bayangi aku dibilang celurut, otak udang." Dada Sekar kembang kempis, meledakkan ganjalan. "Ok, itu belum apa-apa. Yang bikin aku tersinggung, Mas bilang 'ngaca' waktu aku ditolak! Dulu aku diam aja, karena aku nggak pengin fans-nya Mas ngamuk!"

Angga mengernyit dan kini hanya menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal. Sungguh Angga lupa pernah mengatakan itu. Seingat Angga ia hanya sering mengambil makanannya, meminum habis bekal minumnya.

Angga mengerucutkan bibir seolah ingin mengumpulkan ingatan masa lalunya. Memang ia pernah mengatakan sesuatu setelah mendapati Sekar ditolak. Namun, bukannya waktu itu Sekar langsung berlari menjauh?

"Loh, bener 'kan? Harusnya kamu nga-"

Sekar menutup telinganya, sambil bernyanyi keras-keras tak ingin mendengar ucapan Angga. Angga menarik tangan Sekar.

"Mau kamu benci aku, nyatanya kita dijodohkan," kata Angga kemudian. Emosinya mulai terpancing karena sikap Sekar yang selalu mendengar sepotong-sepotong. Perhatiannya terbagi antara kemudi dan berbicara dengan Sekar.

"Aku nggak mau!" tandas Sekar dengan muka yang memerah.

"Kenapa?" Alis kiri Angga terangkat.

"Nggak mau ya nggak mau!"

"Ya, nggak bisa dong! Emang aku juga mau sama kamu? Geer! Aku harus bilang ke Papi alasan kamu menolak perjodohan ini."

Geraham Sekar beradu rapat. "Aku nggak suka Mas Angga karena Mas Angga jahat. Kalau ngomong pedes! Suka ngumpat! Yang jelas, di dekat Mas bikin sial!"

Alis Angga mengernyit, mendengar dakwaan Sekar. "Sial?? Kapan?" Nada suara Angga mulai meninggi.

Sekar mengunci bibir. Semakin ia membuka mulut yang ada Sekar semakin kesal.

"Sekar, manusia dinamis. Mungkin 'kan itu aku yang dulu. Aku bahkan lupa ngapain aja waktu kecil."

Sekar mencebik, memalingkan muka, enggan memperhatikan ucapan Angga.

"Dengar! Aku mau bi—"

Ucapan Angga terpotong. Teriakan Eekar melengking, mengagetkan Angga. "Mas Angga! Kucing!!!"

Kucing hitam yang tiba-tiba menyeberang mengejutkan Sekar. Angga yang ikut tersentak karena seruan Sekar, membanting setir ke kiri, tetapi disambut motor yang tiba-tiba berhenti. Angga tidak bisa mengendalikan kemudi hingga akhirnya mobil itu melajukan lurus menabrak bahu jalan, dan menumbuk jembatan yang rusak hand rail-nya.

Mobil melayang, terbang di udara sebelum mendarat ke sungai. Seketika pandangan Sekar pekat. Hari ini benar-benar hari sialnya. Mungkin setelah ini, Sekar tinggal kenangan.

Ya, hari ini ia akan mati, membawa rasa benci pada seorang residen anestesi.

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro