Enam belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Butuh hampir sepuluh menit bagi Aire untuk membawa Adjani yang berjalan tertatih-tatih kembali ke kastil keluarga Rodriguez. Hari masih gelap, subuh belum datang, hanya temaram obor dan sinar bulan yang mengawal mereka bertiga dalam perjalanan pulang. Shield sudah berada di depan, menjadi penunjuk jalan menggunakan penciumannya hingga merek tidak tersesat walau Aire berkata tidak perlu. Ia ingat dengan baik arah mana yang telah dilewati, tapi demi kesopanan, ia biarkan ferret betina itu menjadi pahlawan mereka. Setidaknya, dengan begitu, luka di hati akibat perlakuan tidak menyenangkan oleh si pemburu tadi, bisa membuatnya lebih baik.

"Darimana anda tahu saya berada di sini, Tuan Ash?" Adjani bertanya, mengabaikan kejut-kejut kecil karena sejak tadi, Aire menolak melepaskan tautan tangan mereka. Walau tidak sesakit beberapa waktu lalu, di awal-awal sentuhan mereka yang hanya bisa gadis itu rasakan, Adjani tidak berani menarik tangannya sendiri. Jemari besar milik sang putra mahkota entah kenapa terasa begitu hangat walau dalam kepalanya saat ini, dia berharap Dean yang datang, bukan Aire.

"Aku merasakan ada yang memanggil, butuh pertolongan saat sudah berada di atas tempat tidur. Kukira aku berkhayal, tidak mungkin saat seperti ini ada orang yang berbuat konyol, berteriak minta tolong. Lalu aku sadar, sebelum ini ada seseorang yang butuh diselamatkan dan perasaanku makin tidak enak, di kepalaku terus berputar-putar bayangan dirimu sedang dicekik, tampak begitu nyata."

Adjani menemukan kalau genggaman tangan Aire yang meremas tangannya  jadi semakin erat. Dari sudut matanya yang sudah bisa melihat dengan baik, walau hanya dibantu penerangan sinar bulan, ia menemukan kalau wajah Aire sedikit tegang. Ia tidak tahu apakah pria itu lelah atau kesal karena waktu tidurnya terganggu.

Tiba-tiba saja ia menjadi tidak enak, teringat sebelum ini karena ulahnya tidak paham memilih tempat pingsan hingga bertemu dengan Dean dan Aire, Dean jadi amat membencinya.

"Maaf kami selalu membuat repot, Tuan." Lirih Adjani, merasa bersalah yang direspon pemuda yang bergerak di sebelahnya itu dengan satu gelengan pendek.

"Jangan pikirkan itu. Aku merasa amat bersalah karena gagal menolongmu hingga harus minta tolong pada Edymar. Sekarang kalian adalah bagian dari rombongan, karena itu, baik Shield maupun dirimu adalah tanggung jawabku."

Adjani makin merasa tidak enak. Dia segera menundukkan kepala dan nyaris terantuk akar pohon. Lagi-lagi Aire membantu menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Tubuh mereka nyaris bertubrukan, tapi Adjani yang tahu dirinya tidak pantas menyentuh tubuh seorang putra mahkota segera mundur, walau gagal. Tangan mereka masih terpaut dari tadi.

"Kamu tidak apa-apa?" Aire bertanya, memastikan keadaan Adjani baik-baik saja. Saat itulah dirinya menemukan luka lebam di leher gadis itu, akibat cekikan tidak manusiawi dari pemburu tadi. Bekas jejak cekikan itu tampak jelas karena tenaga seorang pemburu di atas manusia normal. Memar yang Adjani terima tidak bisa tidak membuat pangeran itu merasa amat marah. Sekejap tangan kanannya terarah ke leher Adjani, menyibak helaian rambut bak ijuk yang sebelum ini menutupi luka bekas gigitan Leon. Luka itu telah pulih, berganti luka lain yang membuat Aire amat geram.

Makin kesal karena seperti sebelum ini, semua yang dilakukannya untuk menyembuhkan gadis itu tidak berarti apapun.

"Aku harus belajar dan banyak bertanya pada Edymar bagaimana cara menyembuhkanmu. Tidak mungkin dia harus kuajak sampai ke suaka hanya untuk mengobati lukamu, Djan. Aku merasa amat malu karena pemegang satu berlian punya kecakapan lebih baik. Rasanya aku tidak layak berdiri di depanmu kalau hal seperti ini saja aku tidak mampu."

"Nona Edymar bilang, penyembuhan bergantung dengan takdir dan jodoh. Tidak peduli sebenarnya anda jauh lebih kuat, jika tidak berjodoh dengan orang yang akan disembuhkan, maka semua itu tidak akan bisa." Adjani berusaha mengingat kembali jawaban Edymar. Kalimat tersebut membuat Aire menggeleng, "Yang seperti itu memang ada, tapi bagaimana jika kondisinya terdesak? Di medan perang, tidak semua penyembuh bisa membantu di garis depan. Aku adalah salah satu yang bisa berada di sana dan saat-saat penting dalam perang amat menentukan. Butuh waktu sangat cepat sementara kita tahu, serangan musuh tidak dapat dicegah. Jadi ini bukan cuma tentang kamu, walau entah kenapa ada bagian dalam diriku berharap,  aku sendirilah yang boleh menyembuhkanmu."

Ada nada kepedihan yang terdengar di telinga Adjani saat Aire bicara demikian. Dia tidak paham dan kemudian memutuskan untuk tidak banyak bertanya sampai kejutan lain tiba-tiba membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya meremang, jemari milik Aire menelusuri bekas luka di lehernya yang lebam. Mata pria tampan itu berkilat curiga, hal yang sama tidak Adjani pahami serupa dengan urusan pengobatan barusan. Sesekali ibu jarinya berusaha mengusap bagian luka dan agak merasa aneh saat menemukan jejak kegelapan yang ia tahu, bukan bagian dari luka manapun juga.

Itu bukan luka, melainkan sebuah tanda yang membuat Aire tanpa sadar menggosok-gosokkan ibu jarinya penuh semangat. Ia baru berhenti lima detik kemudian usai Adjani mengeluh. Aire buru-buru minta maaf.

"Maaf, aku terlalu bersemangat." Aire menyesal. Pandangannya bertumbukan kembali dengan mata Adjani. Salah satu bagian cacatnya belum berubah, tapi sebagian besar luka di wajah gadis itu telah pudar. Parut-parut di sekitar bibir, pipi, dahi bahkan alis hanya menyisakan jejak putih tipis samar yang ia tahu akan pulih seiring pemeriksaan dari tabib Edymar.

Semua luka kini telah berganti dengan hasil yang amat sepadan dan Aire tidak bisa berkedip menatap gadis itu.

Wajahnya tampak familiar dan dia berusaha mengingat-ingat siapa sosok yang punya garis wajah yang mirip dengan nona misterius ini.

Adjani yang telah pulih membuatnya seperti pria yang baru pertama kali melihat seorang bidadari turun.

Linglung.

"Itu tanda lahirku." Adjani menjawab kebingungan di wajah Aire. Tangan pria itu telah terlepas dari leher Adjani dan sedetik ia menegang, seolah berita barusan membuatnya tersadar.

"Tanda lahir? Apakah berbentuk seperti sabit?"

Aire tahu, Alamanda juga memiliki tanda lahir di lehernya, berbentuk bulan sabit, sama persis dengan tanda lahir yang Aire miliki di pergelangan tangan kanan bagian dalam. Dua tanda lahir yang sama itulah yang membuat mereka berjodoh. Satu yang tidak bisa Aire elak walau ia hanya memiliki ingatan samar tentang gadis itu sewaktu kecil.

Adjani menggeleng sembari mengulum senyum. Tingkahnya barusan membuat senyum yang nyaris terkembang di bibir Aire langsung layu.

"Tidak, Tuan. Cuma tanda aneh yang aku sendiri tidak paham. Shield yang sering melihatnya. Dia bilang tanda lahirku sering membuat masalah. Jadi aku tidak terlalu mempedulikannya."

Cicit agak keras terdengar dan Adjani tahu bahwa Shield yang berada di depan memberi tanda bahwa ia tidak boleh terlalu banyak bicara. Mereka sudah hampir mencapai kastil, karena itu Adjani segera menutup mulut dan mempercepat langkah sementara Aire sibuk tenggelam dalam pikiran.

Usianya tujuh belas tahun. Dia bukan Mandy, Ash. Dia terlalu muda dan Mandy berwajah mirip Dean. Aku amat bodoh berharap kalau dia adalah Mandy.

"Anda tidak apa-apa, Tuan?" Suara Adjani menyadarkan Aire yang sedang melamun. Tangannya kini sudah bertaut kembali dengan jemari gadis itu, dan seperti sebelumnya, Aire bahkan tidak hendak melepaskan genggaman tangan mereka. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus mendesak dan menyuruhnya tidak boleh jauh dari Adjani sejak mereka bertemu, tidak peduli ketika pertama jumpa, wajah rusak Adjani seharusnya membuat dirinya mual, seperti apa yang dirasakan oleh Dean.

Tapi dia tidak merasakan jijik sama sekali dan keinginan untuk membantu gadis itu semakin besar kala Adjani menyebut tentang Suaka.

Dia tidak tahu, apakah kini alasannya menuju Suaka adalah benar-benar untuk Mandy, atau untuk gadis pelarian misterius yang tidak bisa membuatnya mengalihkan pikiran, Adjani.

"Aku tidak apa-apa, Djani. Aku baik-baik saja." Aire menjawab dengan menambahkan seulas senyum tulus waktu Adjani menatap wajahnya. Ia tahu, tatapan gadis itu tidak seantusias kala dia menatap sahabatnya, Dean. Kenyataan ini tanpa sadar membuatnya tersenyum kecut.

Tapi sebenarnya, hatiku sedang tidak baik-baik saja.

***

Terima kasih buat yang mau mampir di lapak ini. Kaget komen bab sebelumnya rame. Adjani babnya pendek-pendek, nggak apa-apa, ya. Kalo panjang nanti kalian bosan, #alesan

Terima kasih vote dan komennya.

Semoga emak punya banyak waktu buat apdet kisah mereka. Kalian kasih tau ya kalo mo lanjut.

Jangan lupa Follow Instagram Eriska Helmi dan official IG Storykembangkembang16 buat tahu info seputar lapak kembang-kembang. Bakalan ada road to 5K followers. Ada giveaway yang bakal diumumkan kelar tahun baru. Okeeeh..😍😍

Ttd

Maria cinta rupiah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro