Sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesuai informasi yang disampaikan oleh Aire kala mereka makan siang, rombongan berkereta kuda itu tiba di Distrik Lima Belas menjelang tengah malam. Adjani yang merasakan gerakan kereta terhenti, segera bangun dari tidur ayamnya disusul oleh Shiel yang mencicit pelan saat menyadari temaram lampu dan suara sedikit berisik gerendel rantai yang mengunci gerbang kota yang dikelilingi parit berisi sekumpulan buaya ganas. Gadis itu sempat mendengar sais berteriak "Yang Mulia Aire Ash, Putra Mahkota Demesne of Ethereal" yang membuatnya seketika waspada dan bertatapan dengan Shield. Mereka tidak salah mendengar, kan?

Demesne of Ethereal berarti teritori Ethereal, adalah sebuah wilayah persekutuan dua puluh distrik, dua diantaranya adalah Distrik Delapan Belas yang telah mereka lewati dan sekarang, Distrik Lima Belas yang tengah mereka datangi. Dari situ, Adjani kemudian sadar, amatlah wajar jika Aire memiliki kereta kuda yang amat indah, lengkap dengan sais tanpa perlu repot-repot bersusah payah seperti orang lain.

Dia juga ingat, antara Lala atau Melody pernah menyuruh pria tampan itu untuk menyelidiki Sirkus Tuan Baron karena telah melakukan kejahatan, memperkerjakan anak di bawah umur dan melakukan penyiksaan tidak manusiawi, sesuatu yang membuat Adjani langsung bergidik ngeri. Apa Tuan Ash tahu kalau Tuan Baron begitu kuat dan berbahaya? Tubuhnya yang besar dan gempal bisa meremukkan sang putra mahkota dalam sekali cengkram.

Adjani berhenti bermain-main dengan pikirannya saat sadar pintu kereta kuda yang berada di depan kereta yang ia huni sekarang terbuka dan sosok Dean turun lalu mendekati penjaga gerbang. Ia mengamati pria jangkung berambut sewarna kulit jagung itu bicara dengan wajah amat serius ketika satu dehaman menyadarkan bahwa dirinya tidak hanya berdua dengan Shield. Ada sosok lain ikut duduk di bak belakang, memandanginya sambil tersenyum.

"Tu..Tuan Ash, anda di sini? Ku kira anda berada di depan, bersama yang lain." Adjani mendadak panik dan beringsut menjauh hingga tubuhnya membentur dinding kereta yang hanya sebatas punggung saat ia duduk. Aire sempat menyeringai sebelum memutuskan menjawab.

"Dari tadi aku duduk di sini, menjelang malam, tidak lama setelah kamu tidur. Sempat mengobrol sebentar dengan Shield..." Aire menunjuk ferret berwarna putih di sebelah Adjani yang terlihat amat santai. Shield bahkan pura-pura tidak terjadi apapun diantara dirinya dan sang pangeran tampan yang tak henti menanyai tentang mereka hingga ia akhirnya memutuskan untuk berpura-pura tidur demi menghindari rentetan pertanyaan dari bibir putra mahkota yang tampaknya sedang melambaikan tangan saat Dean memanggil namanya.

"Tapi di sini tidak nyaman, seharusnya anda bergabung dengan yang lain, bukannya bersama kami." Adjani berusaha memperbaiki ikat rambutnya yang terlepas. Bahan dari kain belacu yang dia dapat dari Lala ketika mereka siap berangkat menuju Distrik Lima Belas sore tadi dimanfaatkan oleh gadis berambut merah itu untuk mengikat rambutnya yang kering dan kaku. Rasanya sedikit lebih baik daripada membiarkannya megar seperti terkena sambaran petir, walau kemudian dia sadar, orang-orang akan bergidik ngeri melihat bekas luka yang dia miliki, luka yang ia dapat karena digigit oleh Leon sang singa tua.

"Tidak ada beda kamu dan mereka, Djani. Lagipula tidak buruk menikmati perjalanan di bawah sinar rembulan. Aku menyesal baru mengalaminya hari ini. Kuharap kamu tidak keberatan menjadi teman ngobrol sampai kita tiba ke Suaka nantinya."

Kalimat yang Aire ucapkan sungguh terkesan amat aneh di telinga Adjani. Apakah hal itu berarti bahwa pria itu ingin menghabiskan waktu duduk di bagian belakang kereta bersamanya hingga mereka tiba ke Suaka? Bukankah itu terlalu mengerikan? Angin malam dan sinar matahari yang menyengat saat siang bisa merusak kulit mulus dan wajah tampan milik putra penguasa negeri itu. Dia harus mencegahnya, lagipula tidak ada alasan buat Aire untuk duduk menemaninya sepanjang waktu. Dia adalah teman ngobrol yang amat buruk, omong-omong.

"Tuan, anda tidak perlu seperti itu. Aku dan Shield sudah terbiasa seperti ini. Anda harus kembali ke dalam kereta. Orang seperti anda..."

"Orang seperti aku, maksudmu seperti apa?" Aire memotong kalimat Adjani, membuat gadis tujuh belas tahun itu tergagap, berusaha merangkai kata agar tidak kentara kalau dia merasa canggung.

"Well, anda bukan orang biasa dan bodohnya, aku tidak tahu bahwa telah menyusahkan anda, dan Lala dan Melody, juga Dean. Kalian pastilah sedang dalam misi penting selain mencari tunangan anda, nona Alamanda itu. Aku merasa amat tidak enak telah menyusahkan."

Aire tertawa. Suaranya amat merdu padahal dia tidak sedang melantunkan lagu. Hanya saja, sikapnya itu sempat membuat Adjani tertegun selama beberapa saat sebelum ia mengalihkan perhatian kembali ke arah Dean yang telah memerintahkan sais untuk membawa kuda masuk ke benteng. Dalam perjalanan melewati penjaga gerbang, Adjani melihat, lima atau enam orang yang berada di sana menunduk tanda memberi hormat pada Aire yang dibalas pria tampan itu dengan lambaian tangan ramah. Setelah mereka berada di dalam, disusul oleh Dean yang berlari-lari kecil untuk mencapai kereta, barulah Adjani bicara lagi.

"Tidak pantas seorang pangeran duduk di bagian belakang kereta seperti ini. Anda seharusnya berada di dalam, bergabung dengan yang lain, di sana lebih hangat dan lebih manusiawi."

Adjani kemudian menutup mulut saat ia tahu, pandangan Aire tertuju kepadanya.

"Berada di sini tidak manusiawi, lalu yang kamu lakukan selama berjam-jam dari tadi itu apa? Sebagai tuan rumah dalam perjalanan ini, aku merasa bersalah tidak melayanimu dengan baik, Djani. Di dalam, seperti katamu, hangat dan nyaman, tapi kalian berdua duduk di sini seperti budak, sesuatu yang amat tidak aku sukai sejak awal."

Cepat-cepat Adjani menyangkal dan berusaha mengatakan kalau ia merasa baik+baik saja, Aire telah berkali-kali ia beritahu tentang kondisinya yang tidak baik untuk rombongan yang lain. Ia masih akan menjelaskan saat kepala Dean muncul dari balik kereta memperingatkan sang putra mahkota bahwa mereka akan segera mencapai rumah Vicente Rodrigues, penguasa Distrik Lima Belas.

"Kuharap kau mau pindah ke depan sebelum kita mencapai rumah mereka, Ash. Akan aneh jika Rodrigues melihatmu duduk dibelakang, bercampur dengan tumpukan jerami dan mahluk itu."

Tanpa diberi tahu pun, Adjani paham, mahluk yang dimaksud oleh kakak Alamanda itu adalah dirinya, bukan Shield. Ia memilih untuk diam dan mengalihkan pandangan ke arah pintu gerbang yang terbuat dari kayu oak berumur sangat tua daripada meladeni Dean. Walau dalam hati ia ingin protes, mendengar suara pria itu membuat kunang-kunang kecil di dalam dadanya bersinar terang, tidak dalam arti sebenarnya, tapi itulah cara Adjani untuk menggambarkan suasana hatinya cukup baik dan berusaha tidak terlalu terpengaruh kalimat pedas yang Dean utarakan.

"Tidak masalah aku duduk di mana, sobat." Aire menjawab lugas, menyebabkan mata Dean menyipit saat mendengar jawabannnya, "Senor Rodrigues akan tahu siapa Aire Ash, tidak peduli aku duduk di depan atau di belakang. Semua sama saja. Hanya, kalau kau masuk nanti, beri tahu Melody, jangan tidur terlalu nyenyak. Kita pasti akan diminta pindah ke kamar yang mereka sediakan."

Dean lalu mengoceh dengan kalimat yang berhubungan dengan kata bangsawan, budak dan sesuatu yang Adjani tahu, menyinggung dirinya secara langsung sebelum pria itu membuka pintu kereta dan masuk ke sana tanpa menoleh lagi, sedangkan Adjani kemudian melemparkan senyum bercampur rasa malu karena telah menyebabkan perselisihan antara Aire dan Dean. Shield yang paham suasana hati sang nona, memilih untuk duduk di pangkuan gadis itu dan membiarkan Adjani mengelus punggungnya yang berbulu.

"Maaf soal Dean. Dia agak terburu-buru karena kita sudah tiba di Distrik Lima Belas. Suaka letaknya setelah Distrik sembilan, lokasinya sekitar dua minggu perjalanan dari sini."

Adjani yang telah paham hanya membalas dengan anggukan. Tubuh mungilnya bergoyang-goyang seirama putaran roda kereta. Sesekali angin menerbangkan helaian rambut ijuk yang terlepas dari ikatan membuat Aire yang memandanginya dalam diam merasa sedikit penasaran. Luka di leher gadis itu perlahan mengering, tidak secepat bila ia yang mengobati, hanya saja, untuk ukuran manusia normal, keadaan Adjani agak sedikit tidak lazim.

"Lukanya mulai kering, padahal tak kurang dari sehari semalam dari aku menemukanmu terjatuh di depan bar." Aire mulai bicara. Kalimat itu membuat Adjani secara naluriah menyentuh lukanya sendiri. Memang benar, tidak ada lagi rembesan darah. Efek mandi dan efek Lima Berlian yang mereka rahasiakan dari semua orang adalah penyebabnya. Tidak mungkin dia buka suara tentang itu, terutama karena kepala seorang Lima Berlian berharga amat mahal.

"Yah, agak aneh. Tapi begitulah kenyataannya." Adjani coba menjawab, walau dia yakin, Aire tampak tidak puas. Gadis itu lalu menggosok-gosok kepala Shield, berusaha memberi kode kalau saat ini dia butuh bantuan.

Lupakan, Nona. Dia sudah banyak menanyaiku dari tadi. Lebih baik kau tutup mulut dan pura-pura saja jadi orang bodoh. Dengan begitu kau akan aman.

Dasar, Shield. Harusnya dia membantu, bukannya malah menyuruhnya jadi orang bodoh. Adjani tahu dia tidak pintar, tapi bukan berarti dia dungu seperti keledai sirkus yang menolak bergerak jika tidak diberi wortel.

"Benarkah? Karena setahuku, hanya manusia yang mendapat gelar Berlian yang mampu menyembuhkan diri."

Adjani langsung menghentikan gerakan mengelus punggung Shield sementara ferret kesayangannya itu tampak cuek, tidak terintimidasi sedikit pun, tidak peduli tatapan mata Aire tampak menyelidik.

"Bisa kau beri tahu, berapa berlian yang menjadi keahlianmu? Satu, dua atau tiga?"

Adjani merasa sedikit panik, terutama setelah beberapa detik, tangan Aire terulur ke arah tangannya yang masih memegang punggung Shield. Tidak butuh waktu lama, tangan mereka yang telanjang saling bersentuhan menyebabkan Adjani secara refleks menarik tangannya sendiri.

Ia masih merasakan efek kejut listrik seperti pagi tadi dan rasanya amat tidak nyaman.

"Adjani? Ada yang perlu kamu ceritakan kepadaku?"

Adjani menggeleng, cepat-cepat ia menunduk dan memandangi Shield yang tampak malas-malasan, seolah tidak takut bila kedok mereka terbuka.

"Tidak, Tuan... aku..."

Jangan sampai keceplosan, Nona. Itu akan sangat berbahaya sekali. Shield mencicit pelan lalu menguap. Detik berikutnya dia memutuskan untuk memejamkan mata, membuat Adjani menggerutu dalam hati, kenapa ia tiba-tiba kehilangan kemampuan untuk menjawab pertanyaan pangeran tampan yang kini masih tersenyum menunggu jawabannya.

***

Anggap aja Distrik Lima Belas kayak gini ya...

Anggep aja Adjani masih bocah

Ini Djani waktu kabur, pake tudung. Tapi kok jadinya syakep yess?🙊


Kalian suka adjani?

Apdetnya lambat, ya gapapa. Mengkhayalnya tingkat tinggi sih, tapi nggak boleh ngawur juga.

Kemaren sempet dapet rank 8 fantasy, waaaw ampe girang.. makasih buat yang mampir kasih 🗨️ ama ayepyu..💋💋💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro