BAB 1: GENIUS vs SILUMAN BULE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Kenapa you ikut-ikutan cita-cita i?"

Mengabaikan pertanyaan itu, Dexa terus mendrible bola. Satu langkah, dua langkah, laki-laki itu membidik bola ke keranjang. Masuk. Anggota tim basket dan beberapa siswa yang sedang menonton di pinggir lapangan, sontak berseru sambil bertepuk tangan.

Meski sudah lewat dari pukul 3 siang, terik matahari masih membakar kulit. Membuat tim basket masih enggan turun ke lapangan. Apalagi pelatih mereka juga belum tiba.

Sementara Dexa, sang kapten tim, tidak urung semangat meski jadwal latihan belum dimulai. Jangankan jam 3 sore, ia bahkan selalu siap jika harus latihan saat matahari sedang ada di puncak kepala. Pemanasan sore itu pun menjadi pemanasan dalam arti panas yang sebenarnya.

Farah berlari kecil dan kembali menghadang laki-laki yang mengenakan seragam basket warna merah itu. "Kenapa you ikut-ikutan cita-cita I, sih?" tanyanya sambil mendongak, mengimbangi tinggi Dexa yang selisih 20 cm dari tingginya.

Dexa mengapit bola di pinggang kanan, lalu menatap gadis dengan rambut tergerai itu. "Ada bukti kalo gue ikut-ikutan lo?"

Sementara Farah masih menyusun kata, Dexa kembali mendrible bola. Dengan gerakan bak menghindari lawan, siswa kelas XII SMA itu memutar badan, terus mendrible bola dengan punggung menghadap Farah, berlari ke samping kanan, kembali memutar badan. Dua langkah, tiga langkah, bola di lempar ke keranjang.

Three points shoot. Gemuruh sorakan kembali membahana. Lebih keras dari sebelumnya. Dengan telunjuk dan jempol teracung, Dexa bergaya seolah-olah sedang menembak keranjang basket. Membuat penonton yang tidak kurang dari 20 orang, berseru semakin semangat.

Tidak mempedulikan selebrasi Dexa, Farah berlari ke arah tiang, lalu mendekap bola yang sedari tadi pasrah bertubrukan dengan lapangan yang panas. Dia harus bicara serius dengan Dexa, saat ini juga. Dan pembicaraan itu hanya akan terjadi jika si bola jingga berhenti memantul di lantai beton berwarna hijau-merah.

Dexa menghampiri Farah, hendak meminta bola basket yang sudah lebih dulu diambil oleh Farah. Namun, Farah menyembunyikan bola tersebut di balik punggung.

"All students at class tahu kalo i mau jadi Math Teacher and they juga tahu kalo you mau jadi minister terus kenapa you ganti-ganti cita-cita you yang bikin kita jadi sekelompok?"

Setelah melontarkan kalimat panjang tanpa jeda, Farah mengatur napas. Bahkan jika harus kehabisan napas, ia akan melakukannya untuk mendebat Dexandra. Sungguh. Ia kesal sekali karena mereka harus sekelompok untuk proyek tersebut.

Memainkan peran di depan kelas sesuai dengan cita-cita masing-masing, demikian tugas yang diberikan oleh Nawang, guru Bimbingan Konseling SMA 514. Alasannya, agar murid betul-betul memiliki banyak pengetahuan dan gambaran tentang cita-cita mereka.

Tugas tersebut sebenarnya tidak sulit bagi Farah. Masalah justru timbul ketika Dexa mengungkapkan cita-citanya. Sesuai ketentuan, siapa saja yang memiliki cita-cita sama, harus berkolaborasi dalam permainan peran serta penyusunan laporan. Farah bisa dan siap bekerja sama dengan siapa saja. Namun bukan dengan Dexa. Bukan dengan orang yang sering menjahilinya. Bukan dengan musuh bebuyutannya sejak masuk SMA.

"You harusnya tetap decide untuk jadi minister!"

Dexa menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Kata siapa gue mau jadi menteri?" tanyanya dengan nada dan ekspresi datar.

"Kalo bukan minister, harusnya Presiden or Doctor."

"Gue mau jadi gu-ru ma-te-ma-ti-ka." Penuh penekanan, Dexa menjawab.

"You mau jadi Math Teacher?" Farah tertawa mengejek. "Are you kidding me?"

"Lo pikir gue punya waktu buat becanda?"

"Even kalo you serius, you seharusnya choose cita-cita lain. So, you and I enggak perlu satu kelompok, kan?" desis Farah.

"Apa gue keliatan bahagia, sekelompok sama Siluman Bule?" Dexa menyeringai dengan satu sudut bibir ditarik ke atas.

Farah menggeram. "I udah thousand times bilang ke you jangan panggil I Siluman Bule!"

"Salah lo karena mencampuradukan bahasa. Ingat! Ini sekolah digit. Bukan international school," ucap Dexa, lalu berlari ke samping kiri Farah, menepis bola hingga jatuh, kemudian lanjut mendrible.

Dengan bola yang dipantul-pantulkan, pria itu berkeliling setengah lapangan. Lalu di luar garis tiga angka, ia kembali membidik bola ke arah keranjang. Lagi-lagi masuk. Lagi-lagi suara sorakan bergema. Lagi-lagi selebrasi pistol dipertontonkan.

Farah menatap tajam ke arah Dexa. Awal masuk SMA negeri, dia memang belum terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia yang utuh. Bukan salahnya. Sembilan tahun di sekolah internasional membuat kosa katanya campur aduk.

Selama beberapa minggu, Farah berjuang keras mengubah cara bicaranya. Namun sebelum usahanya berhasil sempurna, Dexa sudah menyematkan julukan Siluman Bule padanya. Bukan hanya teman-teman seangkatan, senior, bahkan guru-guru tahu julukan itu. Farah marah dan malu, merasa usahanya tidak dihargai sedikit pun. Maka sejak saat itu, dia tidak mau bersusah payah memperbaiki cara bicara. Dari situ, hubungannya dengan Dexa bak Tom dan Jerry. Penuh pertikaian khas musuh bebuyutan.

Sudah dua tahun berlalu. Farah berusaha menutup telinga dari julukan yang diinisiasi oleh Dexa. Namun hari ini, entah kenapa, dia merasa sangat sentimental. Dia tidak bisa mengabaikan julukan Siluman Bule. Tidak setelah pilihan Dexa membuat mereka berada dalam satu kelompok.

Farah berlari dan meraih bola yang baru saja melewati keranjang. Kali ini, dimasukkannya bola itu ke dalam sweater merah yang dipakai untuk melindungi dari sengatan matahari. "Banyak orang yang mix Bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Kenapa you enggak masalah sama itu? Kenapa kasus I malah jadi big problem?"

"Lo aja yang kasih mereka julukan karena gue enggak ada waktu. Termasuk buat mikirin cita-cita lain yang sesuai mau lo," ucap Dexa. "Sekarang, balikin bola gue. Gue harus latihan."

Dengan wajah serius, Dexa mengulurkan tangan kanan. Tiga hari lagi adalah pertandingan final basket tingkat provinsi. Lawan mereka, SMA 709, adalah juara bertahan selama lima tahun berturut-turut. Dexa harus berlatih keras agar bisa membawa Tim Elex4 meraih Piala Gubernur.

Mendengar itu, Farah terdiam. Dia sadar sudah mengganggu latihan Dexa demi memuaskan egonya. Bukankah tidak masalah jika mereka memerankan cita-cita yang sama? Bukankah kiamat tidak akan tiba-tiba hadir hanya karena mereka bekerjasama membuat laporan?

"Balikin bola basket gue." Dengan nada yang lebih serius, Dexa mengulang permintaan.

Sementara di luar lapangan, beberapa siswa mulai berseru, meminta Farah untuk mengembalikan bola dan keluar dari area bermain basket. Mereka ingin terus melihat permainan solo Dexa. Si genius yang juga jago bermain basket.

Menyerah, Farah mengeluarkan bola basket dari balik jaket, lalu memberikannya pada Dexa. Namun begitu tangan Dexa memegang bola, Farah melayangkan pertanyaan terakhir yang membuatnya penasaran, "Kenapa you harus pilih Math Teacher?"

"Kenapa gue enggak boleh jadi guru matematika?"

"Winner of gold medal Olimpiade Fisika tingkat nasional. Dexandra Abdi Pasha, genius like you enggak seharusnya jadi Math Teacher. Otak you terlalu berharga."

"Profesi guru harusnya diisi oleh orang-orang genius untuk menghasilkan genius-genius lain, bukan?"

Lagi-lagi Farah terdiam. Ternyata selama ini dia sudah salah paham. Mungkin saja Dexa memang serius ingin menjadi guru. Bukan sekedar ingin menjahili dirinya. Dengan rasa malu, Farah pun memutar tubuh. Melangkah ke arah luar lapangan.

"Farah Satya Negara!"

Langkah Farah terhenti. Selama dua tahun lebih, ini pertama kalinya Dexa tidak memanggilnya dengan julukan Siluman Bule. Kali ini, musuh bebuyutannya itu memanggil namanya. Bahkan lengkap sekali. Maka tanpa ragu, Farah membalikkan badan dan tersenyum tipis.

"Dengan nilai matematika lo yang seperti digit SMA kita, gue enggak yakin lo bisa jadi guru matematika. Mending lo tetap jadi Siluman Bule aja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro