Bab 15: NOT FAIR!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Dokumen saya kurang di bagian mana, ya, Bu?" tanya Farah dengan leher tercekat. "Apa ada dokumen tambahan yang lupa ibu informasikan ke saya?"

Kemarin, daftar karyawan kontrak provinsi yang diterima sudah diumumkan. Awalnya Farah sangat antusias membaca pengumuman tersebut karena yakin akan diterima. Namun, ternyata namanya tidak ada.

Farah bertanya-tanya, apakah mungkin ada dokumen yang luput ia kumpulkan? Padahal ia sudah membaca berulang kali daftar dokumen yang wajib dilampirkan. Ia juga telah melakukan pengecekan berkali-kali sebelum berkas diserahkan.

"Semua dokumen Bu Farah lengkap. Saya juga memberikan daftar yang sama kepada guru-guru honorer yang lain. Tidak ada perbedaan informasi tentang pemberkasan."

"Terus, kenapa Miss Diva yang diterima, Bu? Bukan saya."

"Saya juga enggak tahu, Bu Farah. Keputusannya langsung dari Dinas Pendidikan. Bu Farah lihat sendiri, kan, halaman pengumumannya? Di bagian atas ada kop Disdik. Bahkan ada stempel dan tanda tangan kepala disdik."

Farah terdiam. Lembar pengumuman itu memang tidak mungkin dipalsukan. Namun, ia masih tidak mengerti kenapa bukan dirinya yang terpilih.

"Apakah pengalaman mengajar enggak menjadi hal yang dipertimbangkan oleh Disdik, Bu?" selidik Farah.

Dikalahkan oleh fresh graduate yang baru lulus beberapa bulan lalu merupakan hal yang tidak bisa ia terima. Farah sangat yakin, Diva belum memiliki pengalaman mengajar. Namun kenapa guru baru itu yang diterima sebagai karyawan kontrak provinsi? Bukankah umumnya pengalaman kerja menjadi pertimbangan dalam merekrut karyawan?

"Miss Diva memang belum punya pengalaman mengajar. Tapi mungkin ijazah dan nilai-nilainya menjadi pertimbangan karena lebih menjanjikan untuk bisa memberikan kontribusi dalam pendidikan di sekolah kita dan Indonesia."

Farah sedikit tersinggung. Indeks prestasi komulatif-nya memang tidak terlalu membangggakan. Hanya 3,05 dari skala 4. Ia lulus dengan nilai pas-pasan. Sementara menurut rumor, Diva lulus dengan predikat cumlaude.

"Kalo begitu, kenapa bukan Pak Dexa yang diterima? Bukankah ijazah magisternya lebih menjanjikan? Prestasi Pak Dexa sejak SMA hingga S2 juga berderet-deret. Kurang apa lagi?"

Farah lebih terima jika Dexa yang mengalahkannya. Otak pintar pria tersebut tidak perlu diragukan. Cara mengajarnya juga menyenangkan. Dexa bahkan bisa melihat dan menemukan hal-hal yang luput dari pandangan guru-guru lain. Misalnya, potensi Ibib.

Sejenak, air muka Sukma berubah. Namun beberapa detik kemudian, senyumnya kembali terkembang. "Mungkin Miss Diva juga melampirkan banyak prestasi terkini di CV-nya," elaknya.

"Saya juga berhasil mengantarkan Ibib dan Malahayati hingga lolos seleksi olimpiade tingkat kota. Apakah itu bukan prestasi?"

"Itu prestasi murid, Bu Farah. Bukan prestasi Bu Farah," ucap Sukma penuh penekanan.

Farah terdiam. Sukma memang benar. Pencapaian Ibib dan Malahayati adalah prestasi murid-murid. Ia tidak bisa mengklaimnya secara sepihak.

"Mungkin KKP tahun ini memang rezekinya Miss Diva. Bu Farah lebih baik berbesar hati. Mudah-mudahan di tahun depan ada kesempatan lagi."

Farah menggemeretakkan gigi. Seandainya harus tahun depan, ia tidak akan meninggalkan sahabat-sahabatnya di Malang. Seandainya harus tersingkir, ia mau kompetisi yang adil.

***

Sepuluh tahun yag lalu.

"It should be Farah, isn't it?"

Langkah Farah terhenti saat hendak memasuki toilet siswa. Ia mengintip dan melihat dua temannya dari ekskul tari sedang berbincang di depan wastafel.

Farah tahu, Sheila dan Keisya sedang membicarakan tentang pemilihan anggota ekskul tari yang akan mengikuti kompetisi. Sore itu, ada sepuluh nama yang diumumkan oleh Cecil, pelatih mereka. Tadinya Farah mengira namanya akan menjadi salah satu yang dipanggil. Namun, ternyata dirinya salah.

"Dari keluwesan, penghafalan gerakan, kekompakan dengan tim, dan penghayatan, Farah tidak perlu diragukan lagi," tambah Sheila.

"Yes! I'm agree!" ucap Keisya.

Farah mengulum senyum. Bahkan kedua rekannya tahu bahwa dirinya memang layak. Mungkinkah mereka bertiga bisa mengajukan keberatan dan meminta sang pelatih untuk menganulir pengumuman sore tadi?

"So, apa alasan Miss Cecil milih Adelaide untuk completed our team? Adelaide still in 7th grade dan masih punya sedikit pengalaman untuk kompetisi." Sheila yang masih tidak mengerti keputusan Cecil, terus bertanya.

Keisya menghela napas. "I don't have any idea about it."

Farah juga menggumamkan hal yang sama. Ia baru saja hendak melanjutkan langkah memasuki toilet ketika tiba-tiba pintu salah satu bilik toilet terbuka. Dari sana keluar Alexandara, ketua ekskul tari. Murid campuran Indonesia Jerman itu didapuk menjadi ketua karena prestasi menarinya yang berderet-deret, mulai dari tari kelompok hingga tunggal.

"Enggak ada gunanya milih Farah," ucapnya singkat sambil menyalakan keran wastafel lalu mulai mencuci tangan.

"Enggak ada gunanya?" Serempak, Sheila dan Keisya mengulang.

"Why?" sambung Sheila.

Alexandra tidak langsung menjawab. Dia memilih untuk mengeringkan tangan di mesin pengering. Setelah urusannya selesai, Alexandra pun menatap Sheila dan Keisya melalui cermin.

"As you know, tim yang memenangi kompetisi ini akan lanjut ke International Folklore Festival in Poland. Dan our school cuma membiayai 50% dari accommodation and transport. So, untuk apa memilih Farah jika nantinya dia tidak bisa ikut? Itu yang I dengar dari Miss Cecil," jelasnya sambil merapikan kuciran rambut.

"But, kenapa Farah tidak bisa ikut?" kejar Sheila.

"Masalah dana."

Sheila mengernyit. "Setahu I, papinya mendukung semua kegiatan Farah. Termasuk tari. You know, kan, Farah sudah pernah pergi dengan tim kita ke berbagai kota di Indo, bahkan ke Singapore. So, I'm sure untuk ke Poland pun--"

"Bisnis papinya collapsed."

"What?" Lagi-lagi Sheila dan Keisya berseru serempak.

"Miss Cecil said that. Farah juga akan lanjut di SMA digit. Not in here. Papinya juga pasti enggak punya dana buat biayain perjalanan Farah ke Poland."

Farah mengepalkan jari. Meskipun perusahaan papinya bangkrut, meskipun ia harus melanjutkan ke SMA negeri, tapi Farah masih punya tabungan untuk pergi ke Polandia. Farah baru saja membalik badan untuk menjelaskan hal tersebut kepada Miss Cecil, tapi tiba-tiba ia mendengar hal lain.

"Daddy-nya Adelaide juga janji akan nanggung sebagian cost yang harus dikeluarkan oleh our school. Jadi, pihak sekolah cuma perlu ngeluarin dana 25% dari total biaya," ucap Alexandra.

Farah kembali mematung. Untuk hal ini, jelas-jelas ia tidak bisa bersaing dengan Adelaide. Maka dengan berat hati, ia harus merelakan mimpinya tampil di festival internasional bergengsi itu. Ia harus menyerah dan merelakan dirinya diperlakukan tidak adil.

***

Masa kini

"Om-nya adalah pengawas SMA 514," ucap Dexa tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibaca.

"Om-nya Miss Diva? Kamu tahu dari mana!"

"Diva sendiri yang bilang ke saya. Dia dapat info dari om-nya bahwa SMA binaannya kekurangan guru Matematika." Lagi-lagi Dexa berkata tanpa menatap lawan bicara. "Tanya aja Bu Nawang."

Farah menoleh ke arah Nawang yang sedang memeriksa makalah murid-murid. "Benar, Miss?" tanyanya.

Nawang tidak mengiyakan, tidak juga menyangkal. Wanita paruh baya itu hanya tersenyum tipis.

"It's not fair!" keluh Farah. Ia lalu berpaling pada Dexa. "Kamu enggak mau protes?"

Kali ini Dexa meletakkan buku yang dibaca lalu menatap Farah. "Untuk apa?"

"Untuk menuntut keadilan!"

Dexa mengangkat kedua bahu, lalu kembali menatap buku. "Itu bukan ide yang bagus. Sebaiknya, kamu jangan gegabah."

Farah menggemeretakkan gigi. Sepertinya hubungan Dexa dan Diva sudah cukup dekat hingga pria itu tidak peduli soal ketidakadilan yang didapatkan. Namun, tidak dengan dirinya. Ia tidak mau kembali menyerah pada ketidakadilan. Peristiwa sepuluh tahun lalu tidak boleh terulang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro