#17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

GESANG

Andini masih memandangiku penuh kehinaan. Aku dapat memahaminya karena bagaimanapun dia belum tahu kengerian sikat gigi. Maka, ketika wajahnya masih penuh keangkuhan, segera saja kumasukkan secara paksa batang sikat gigi ke mulutnya.

Sekejap saja ekspresi angkuh di mukanya segera sirna.

Persoalan sikat gigi adalah hal-hal remeh yang segera terlupakan begitu saja. Kita sudah terbiasa dengan sikat gigi, sehari dua kali menyikat gigi sehingga perhatian kita pada detail persikatgigian begitu naif. Namun demikian, kegilaaan sikat gigi adalah saat kita sama sekali tak berpikir jika orang lainlah yang akan melakukannya. Kita sudah terbiasa memegang kontrol penuh pada gerakan batang sikat gigi saat memasuki mulut kita, sehingga ketika orang lain melakukannya akan terjadi rentetan gerakan spontan yang secara tak terkontrol mengobok-obok bagian dalam tubuh kita.

"Aaggh...." Suara jeritan Andini tertahan.

"Gimana? Enak, kan?" balasku mencibir.

Sedikit yang ia tahu, manusia memiliki sensitivitas yang berbeda satu sama lain. Biar begitu, ada satu kesamaan yang cukup lazim yaitu di mana manusia cukup sensitif pada bagian-bagian tubuh yang jarang tersentuh orang lain. Itu sebabnya saat seeorang menyentuh rambut orang lain, ada perasaan aneh yang menggelikan karena tak selazimnya rambut dibelai oleh tangan milik orang lain.

Sama halnya dengan mulut, terutama bagian permukaan licin pada bagian dalam pipi. Otot-otot di bagian itu sangat lembut dan asal kalian tahu, bagian otot-otot yang membangun bagian dalam pipi adalah otot yang sama dengan bagian vagina perempuan. Itu sebabnya, sensasi-sensasi yang terbuat di bagian dalam pipi itu akan setidaknya menyamai pada bagian itu. Itu sebabnya pula sedari tadi kugunakan ujung sikat gigi untuk menusuk-nusukkan gumpalan daging lembut di bagian itu.

Sementara Andini, dia hanya dapat memandangiku tepat di manik mata. Tatapannya memancarkan perasaan seperti dikhianati. Aku jadi sedikit merasa bersalah padanya, namun maaf saja. Aku harus melakukan ini agar dia tak lagi naif.

Maka, kulanjutkan dengan menggosokkan batang sikat gigi pada susunan giginya yang kecil berderet rapi. Kamar mandi Mas Nugi kini hanya diriuhkan oleh gemerisik bunyi kisik-kisik saat bulu-bulu sikat gigi menggosok giginya. Kubuat gerakan saat aku menggosok giginya menjadi sebrutal mungkin. Kugosok dengan keras seakan ada plak bandel tertempel di sana. Itu membuat Andini kewalahan. Biar begitu, ekpresi mukanya masih angkuh membuatku ingin mempermainkan mulutnya lama-lama.

"Mmmmahhh...." desah Andini sembari mengigit batang sikat gigi dengan lemas.

Andai desahan itu terdengar oleh laki-laki lain, aku sangat yakin mereka akan lepas kendali. Apalagi melihat kondisi tubuh Andini yang gemetar dan terkulai di atas kursi toilet seakan meminta untuk digerayangi. Andini, kau beruntung sekali aku bukan laki-laki yang mudah birahi.

Kini, hanya ada bunyi kemerisik serupa daun bambu yang saling bergesek karena angin. Bedanya, kadang terselip desahan di antara gemerisik sikat gigi. Andini terlihat terbuai oleh gerakan tanganku saat menggosok giginya, apalagi saat aku mulai mempermainkan bagian lidah dan langit-langit mulut. Ekspresi mukanya yang mupeng dan air liur yang sedikit menetes dari mulutnya sudah pasti sesuatu yang tak mungkin bisa diperlihatkan pada teman sekelas, bahkan Mai sekalipun.

Diam-diam, kufoto ekpresi muka birahi milik Andini. Dia terlihat terkejut dan ekpresi mukanya menunjukkan keberatan. Mungkin dia ingin protes, namun mulutnya sedang kugarap sehingga mustahil untuk mengeluarkan kata-kata tanpa terdengar mendesah.

Berhubung tujuanku telah tercapai, aku berusaha mencabut sikat gigi dari mulutnya. Tapi, Andini justru mengulum batang sikat gigi dalam-dalam sehingga sulit bagiku untuk mencabutnya. Dia manatapku tepat di manik mata sembari mulutnya tetap mengulum batang sikat gigi. Saat kugunakan tenaga ekstra untuk mencabutnya, dia justru menahan tanganku dengan kedua tangannya. Lalu secara perlahan, tangannya menuntun tanganku untuk menggosok giginya lebih lama.

****

Sejak adegan pergosokgigian itu, Andini menjauhiku.

Sebenarnya, kalau di sekolah Andini memang selalu menjaga jarak denganku: hanya mau kumpul bareng kalau ada orang lain selain kita berdua. Kecuali saat tiba-tiba saja dia muncul dari antah berantah dan merengek minta diantar pulang. Tapi kali ini aku bisa merasakan perbedaan pada kelakuannya: dia menolak tawaranku untuk mengantarkan pulang.

"Kamu serius mau jalan, Ndin?" tanyaku dengan mengendarai motor pelan seirama langkah kecil Andini menelusuri trotoar. Sekolah baru saja selesai dan tidak banyak murid yang melihat kita berdua. Seharusnya hal ini sudah jadi alasan kuat Andini menerima tawaranku.

Kulihat Andini tak lagi menggelengkan kepalanya saat kutanya, hanya mengacuhkanku. Mungkin lebih tepatnya menghindariku. Seakan aku ini najis besar yang mesti dicuci tujuh kali dengan air-debu.

Pada bagian trotoar yang memotong jalanan aspal, kubelokkan motorku tepat di hadapannya. Badan motorku cukup untuk mengganggu arah berjalan Andini. Dia lalu diam di tempat meski sikapnya yang masih tak acuh membuatku sedikit kesal.

"Ndin, ayo jengukin Mai," ucapku masih terduduk di jok motor.

Hari ini Mai memang tidak masuk tanpa alasan. Meski tadi sempat ku-whatsapp dan dijawab kalau dia baik-baik saja, entah mengapa aku merasa Mai bukan tipe orang yang bolos sekolah begitu saja.

"Baru juga sehari," elak Andini masih menghindari tatapanku.

Kelakuannya yang seperti itu membuatku sedikit... kesal.

"Masalahmu apa?" Andini kelihatan sedikit kaget dengan nada bicaraku yang lebih tinggi dari biasanya. "Kalau kamu emang nggak suka sama aku, bilang. Jangan diemin aku kayak gini."

Andini, dengan mulut yang yang terbata-bata sehingga membuatku sedikit kasihan padanya, membalas tatapnku dengan wajah yang imut seperti anak rusa baru lahir. Lalu dengan mempertahankan ekpresi imutnya itu, ia berkata, "A-aku... cuma malu. Malu sama kamu."

Caranya yang menjawabku dengan malu-malu membuatku, kegirangan.

Lalu entah karena kebetulan yang disengaja atau kenapa, mobil angkutan melintas membuat Andini meninggalkanku dengan langkah sedikit berlari. Kali ini kubiarkan ia lolos dariku karena pada mulanya, segala hal yang kulakukan di kamar mandi kecil pada kemarin itu hanya untuk membuat Andini mengenal malu.

Cewek naif seperti Andini harus lebih tahu malu. Dengan malu, tak akan terbersit di pemikirannya untuk menggauli Mas Nugi agar bisa punya anak sebagai pengikat cintanya. Aku merasa begitu girang sudah melakukan amal kebaikan. Saat kuperlihatkan Andini dotonya yang sedang mupeng berat setelah kugosok giginya, aku bisa menerka dari matanya yang terbelalak hebat kalau dia tak akan berani menunjukkan wajah itu di hadapan Mas Nugi.

Dengan ini, aku tak lagi perlu khawatir jika Mas Nugi dan Andini akan bertindak kelewatan.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro