#3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ANDINI

Aku sedikit deg-degan menunggu kedatangan Mas Nugi dengan brief pendek yang sudah pasti bakal mencetak jelas bagian selangkangannya. Aku... penasaran. Penasaran dengan pertumbuhan Mas Nugi di bagian itu. Dulu cuma sebesar jempol tangan, nggak tahu kalau sekarang.

Derit pintu saat terbuka melecitkan kegiranganku. Namun kutahan sejadi-jadinya agar Mas Nugi tak curiga saat aku memberinya celana sependek itu.

"Ndin... ini mah brief, bukan celana." ucap Mas Nugi saat keluar dari kamar mandi.

Aku memanfaatkan jeda antara Mas Nugi berbicara dengan saat aku menjawab. Kumanfaatkan dengan mematri dalam ingatan tentang Mas Nugi yang hanya memakai brief sejengkal. Brief pendek itu nampak jelas di selangkangannya. Kuperhatikan wajah Pusheen Cat tersebut. Bagian moncong kucingnya terlihat nyata karena terbentuk dari gundukan sebesar kepalan tangan.

Enggak tahu apa itu terbilang besar untuk ukuran pria, tapi selama itu milik Mas Nugi, aku pasti bakal suka.

"Emang beda ya?" tanyaku polos.

"Beda lah... ini kekecilan." ucap Mas Nugi sambil menempelkan kedua telapan tangan di samping benda pusakanya. "Nih, jadi nepak jelas kan?"

Aku tercekat saat Mas Nugi menekan celana dalamnya. Kain katun yang digunakan sebagai bahan celana sangat lembut sehingga mencetak jelas isinya. Jika semula gundukan di selangkanganya seperti punuk unta, sekarang jadi seperti burung dara yang sedang mengerami telurnya.

"Mm-maaf..." bilangku yang entah kenapa bercampur desah.

"Ha ha. Nggak papa. Lagian enak begini. Adem... Soalnya Solo panas banget. Iya, nggak sih?"

"Iya, Mas. Gerah banget." jawabku sambil mengipasi leher, kegerahan karena hal lain.

"Ya udah deh. Tidur, yuk? Besok kamu masih perlu bikin-bikin perlengkapan buat MOS, kan?"

"Iya..."

Akhirnya saat-saat yang kutunggu telah datang! Enam tahun berpisah, akhirnya aku bisa tidur sekamar lagi dengan Mas Nugi. Duh, senangnya.

Sayang, senangku tak berbalas. Mas Nugi malah tidur-tiduran di atas karpet lantai sambali mainan HP.

"Mas Nugi kok tidurnya di bawah?"

"Iya, kamu aja yang pakai kasur."

"Berdua masih cukup kok."

"Ha ha. Aku kalau tidur masih suka gerak-gerak, Ndin. Entar malah aku nindihin kamu lagi..."

Fix. Mas Nugi godain aku. Pertama, dengan memamerkan lekukan selangkangannya. Kedua, menggodaku dengan kata "tindih-mendindih" tersebut.

"Kalau yang nindihin Mas Nugi, aku nggak papa kok."

Aku mendelik hebat, nggak nyangka kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Apa yang sudah kamu lakukan, Andini? Mas Nugi bakal pikir kamu cewek mesum!

"Ha ha. Bisa aja kamu, Ndin."

Entah harus senang atau sedih, tapi Mas Nugi cuma menganggap barusan sebagai bercandaan. Terlihat dari Mas Nugi yang sama sekali tak memalingkan mata dari HP. Untung cuma main Clash of Clans, bukan ngobrol sama pacar atau sebagainya.

Eh, Mas Nugi udah punya pacar belum sih?

****

Aku tidur lebih cepat, mungkin setengah jam dari percakapan terakhir dengan Mas Nugi. Semua masih dalam rencana: aku tidur lebih cepat agar bisa bangun ketika Mas Nugi tertidur.

Hanya ada remang lampu pijar kekuningan di kamar. Meski tak benderang, cukup untuk melihat sekitar. Cukup untuk memandangi Mas Nugi lama-lama.

Masih dengan tiduran, kupandangi setiap detil tubuh Mas Nugi. Aku masih tidak percaya kalau pria di hadapanku adalah Mas Nugi yang dulu. Semuanya terlihat membesar dengan aura dewasa yang kental.

Kuperhatikan, dada Mas Nugi naik turun seiring sirkulasi udara yang masuk dan keluar. Aku bisa mendengar suara hembusan napas yang berat di tengah kesunyian malam. Kupejamkan mata, berkonsentrasi pada hembusan napas Mas Nugi yang kan kuingat sebagai melodi terindah kehidupan.

Semakin lama, hembusan napas itu menggelitik hasrat yang aneh di dada.

Kubuka mata, dan dengan sekonyong-konyong kudekatkan wajahku ke wajah Mas Nugi. Berusaha tetap menjaga keseimbangan agar anggota tubuhku tak memegang apapun milik Mas Nugi sehingga berpotensi membangunkannya.

Aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Sehembus, lalu hening, sehembus lagi, lalu hening kembali. Begitu terus sampai menerbitkan candu.

Kalau aku pegang wajahnya, apa dia akan bangun?

Kalimat itu mengiang-ngiang di kepalaku. Aku ingin menyentuh wajah Mas Nugi. Hidung mancung yang tak berlebihan, bibir tipis berwarna cerah seperti punya ibu, dan wajah gagah milik bapak. Kumis tipis yang mulai tumbuh di atas bibir semakin menggelitik hasrat ini.

Dengan keberanian yang secuil, kuangkat tanganku. Perlahan dengan gemetar, ujung-ujung jari tangan kananku telah menyentuh pipi Mas Nugi. Terasa lembab mungkin karena keringat di malam yang gerah. Kurasakan, kulit yang terasa tebal dan tak selembut kulitku.

"Mmmh..."

Dengan sigap aku kembali ke kasur di atas. Menutup tubuh dengan selimut.

Wah... yang barusan itu mengerikan sekali. Suara desahan yang Mas Nugi keluarkan bikin aku kaget. Kupikir dia terbangun! Ah, bisa mati kalau Mas Nugi terbangun pas aku lagi gituin dia. Untuk selanjutnya, aku harus lebih hati-hati.

****

Rasa panik semalam membuatku tertidur lelap. Mungkin juga karena perjalanan panjang yang membuatku kelelahan. Aku memang jarang berpergian.

Mengulet dengan kuat, semburat cahaya pagi yang menerobos dari jendela menyilaukan mata.

"Udah bangun nih anak molor."

"Hmmm..."

Kulihat Mas Nugi sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Dalam adegan film-film korea, sudah pasti momen ini adalah saat-saat di mana protagonis pria memamerkan tubuh seksinya hanya terbalut handuk yang melilit pinggang.

Sayangnya, itu tidak terjadi saat ini. Mas Nugi telah berpakaian lengkap dengan celana pendek jeans warna hitam dan kaos warna toska.

"Mas Nugi udah mandi?"

"Udah, lah. Emangnya kayak kamu jam 9 baru bangun?!"

Ah, sial. Aku jadi tidak bisa melakukan strategi pura-pura masuk ke nyelonong ketika Mas Nugi mandi. Kalau begini, sudah tidak ada kesempatan lain karena ini terakhir aku bisa sekamar dengannya.

"Mandi, gih. Habis itu makan, ketemu Bu Kos, terus belanja barang-barang."

"Ih, harus ketemu Bu Kos ya? Males."

"Biar sopan, lah. Kan mau tinggal di sini, masa enggak kenalan?"

"Ehm... males deh, Mas Nugi. Mas Nugi aja yang minta kunci ke Bu Kos."

Aku tidak suka bertemu orang baru. Meski itu Bu Kos sekalipun.

"Ya udah, deh. Kamu mandi ya? Habis itu makan terus belanja keperluan."

"Siap, bos!"

Mas Nugi berlalu meninggalkanku sendirian di kamar. Kupandang langkahnya yang menuruni tangga. Setelah yakin Mas Nugi telah pergi, kutup pintu kamar. Pelan dan hati-hati, kubuka koper. Kuambil sesuatu dari tumpukan terbawah koper. Sebuah celana pendek warna merah milik Mas Nugi.

Buru-buru aku masuk kamar mandi. Pada ruangan kecil di mana Mas Nugi telanjang dan membasahi sekujur tubuhnya ini, aku berdiam diri menikmati atmosfir. Membayangkan tempat sekecil ini dipenuhi aroma Mas Nugi, aku semakin mengila. Kuhirup celana milik Mas Nugi yang masih kuat menyisakan bau karena baru dipakai.

Kupakai celanai Mas Nugi sebagai pengganti spon mandi.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro