#8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

GESANG

Holy shit! Pedes banget! Padahal cuma sesendok kecil, tapi bisa bikin lidahku kebakar gini. Ditambah Santini yang masih nguber aku lagi! Kalau begini, bisa-bisa aku meledak dan marah seperti anak kecil lagi tantrum. Ini nggak bisa dibiarkan.

Jadi, untuk menghindari konflik, aku lari dari kantin menuju ke... entahlah. Tahu-tahu aku udah ada di deket Laboratorium Kimia, yang sampingnya ada rumah kaca kecil punya ekstrakurikuler pertanian. Aku masuk ke rumah kaca yang emang nggak pernah dikunci. Menuju keran air dan berkumur-kumur untuk mengurangi sensasi terbakar di mulut.

"Blbrbghbhbgh..."

"Gitu doang enggak mempan buat ngilangin pedes."

Demi dewa, Santini berdiri memandangiku dari luar rumah kaca. Asal kalian tahu, rumah kaca di sekolahku tidak bisa dibilang bagus. Kacanya agak kusam dan tumbuh lumut di tepiannya. Makanya, saat Santini berdiri hanya terlihat bayangan buram dengan wajah yang tak karuan. Macam setan. Meski aku yakin Santini lebih setan dari setan manapun.

Lalu, setan itu memasuki rumah kaca yang memang enggak pernah dikunci.

"Harus dicium." katanya lagi.

Aku habis pikir. Beberapa waktu lalu saat aku mengecup bibir Ratna agar dibebaskan dari ruang OSIS, sejak saat itu Santini makin beringas. Di setiap kesempatan dia selalu meminta dicium. Paling malas kalau lagi dihukum maghrib-maghrib saat MOS. Karena saat itu Santini suka kurang ajar dengan memegang bagian-bagian yang tidak boleh dipegang. Terbantu remang, gerakannya jadi tidak mudah dilihat oleh orang lain. Aku yang jadi korban, dengan berkali-kali menampis gerakan tak senonohnya.

"Aku ingin dicium kamu, Gesang."

"Mbak Santini, bisa nggak mbaknya jangan begitu? Aku jadi kayak orang yang jahat karena nolakin kamu terus."

"Ya udah. Jangan ditolak."

"Nggak mau."

"Ih, Gesang gitu. Padahal waktu itu Ratna dicium langsung masa aku enggak."

"Waktu itu kan biar bisa keluar dari Ruang OSIS."

"Sekarang juga biar kamu enggak kepedesan."

"Hah?"

"Iya... kamu tahu enggak, kalau air liur di mulut kita berfungsi untuk mengurangi rasa pedas? Kalau kamu sekarang masih kepedesan, itu sih karena kamu cuma pakai air liur dari satu orang. Makanya, kalau kita ciuman jadi air liur dua orang: aku sama kamu. Pasti pedesnya bakal cepet ilang, deh."

"Ehm... kalau gitu, boleh deh. Ciuman." kataku.

Santini mendekat, sampai wajahnya tepat di hadapanku. Aku sangat bisa merasakan hembusan napasnya yang menerpa dagu. Memang, Santini tidak lebih tinggi dariku meski dia sudah kelas XII. Akunya yang ketinggian, kali.

"Di sini?" tanyaku lagi.

"Iya. Mau di mana? Ke rumahku? Ayo... tapi entar enggak cuma sampai ciuman doang. Ada lebih."

"Di sini aja berarti. Meskipun di luar ruangan, masih mending dari pada di rumahmu."

Aku mendekatkan wajahku pada Santini. Mungkin kalian merasa aneh karena aku mengiyakan ajakan Santini begitu saja. Seakan aku dengan mudahnya terbawa arus. Itu... ada benarnya, sih. Tapi kalau harus jujur, aku sangat suka ciuman. Ada rasa aneh. Padahal cuma bibir saling menempel, tapi bisa melejitkan perasaaan-perasaan yang membuncah. Seperti candu. Sangat enak. Wow.

Aku sudah mengerucutkan bibir dengan sebelah tangan kupakai untuk menahan punggungnya. Hanya beberapa milimeter sampai bibir kamu saling berpagut ketika tiba-tiba kedua tangan Santini menahan dadaku.

"Enggak jadi, deh." katanya.

Dan, dengan demikian Santini melepaskan rangkulan tanganku. Berjalan santai keluar dari rumah kaca seakan tak ada apa-apa. Meninggalkanku sendirian dengan bibir masih cenat-cenut gara-gara kepedasan.

Apa-apaan?!

****

Perbuatan Santini mengalihkan perhatianku di sisa-sisa hari. Gara-gara dia, aku jadi memandangi semua orang pada bibir. Pas ngobrol dengan Mai, aku memerhatikan bibirnya yang tipis dan kecil. Sangat imut. Pasti enak kalau diemut. Beda sama bibirnya Andini yang penuh.

Ngomong-ngomong soal Andini, kejadian semalam saat dia merengek minta videonya dibalikin tak kugubris. Dilihat dari manapun dia seperti cewek manja, jenis cewek yang paling aku hindari. Aku bisa saja ngasih HP-ku ke dia buat nunjukin video itu udah kuhapus. Tapi percuma saja, pikirku. Dia nggak akan percaya. Jadi kubiarkan saja dia bete denganku.

Baru saat pulang, dia mulai bicara. Saat itu di kelas sudah sepi. Adam pergi ke sekre Rokris, katanya hari ini sudah mulai ada kegiatan. Sementara Mai tidak bilang dia ikut ekskul apa, tapi dia langsung pergi dari ruangan. Saat itulah Andini mulai ngomong padaku.

"Anterin pulang."

Aku iyain tanpa kata-kata. Kemudian aku jalan ke parkiran yang diikuti olehnya. Ngambil motor lalu dengan sekonyong-konyong Andini sudah duduk di jok belakang. Untuk beberapa alasan, aku kaget karena sama sekali tak sadar dengan gerakan Andini. Langkahnya lirih seperti ninja.

Sesampainya di kos, kami masuk masing-masing kamar. Agak canggung sih selama perjalanan dan saat naik tangga tanpa ada satupun dari kami yang bicara. Meski jarak kosan ke sekolah lumayan dekat. Cuma sekitar 10 menit pakai motor atau sedikit lebih lama kalau pakai angkot.

Di kamar, kulepas sepatu sambil rebahan di kasur dengan masih lengkap berpakaian seragam. Saat itu, terdengar suara ketukan pintu dan begitu kulihat ternyata Andini. Sudah berganti kaos yang tak mampu menutupi keagungan buah dadanya.

"Aku... mau ngomong."

Ah, ini saat-saat yang menyebalkan. Saat cewek bilang mau ngomong sesuatu, sudah pasti mereka akan mengatakannya dengan berbelit-belit penuh analogi, personifikasi, dan metafora-metafora yang sulit dipahami kami kaum Adam.

Meski akhirnya kuiyain juga karena agak kasihan saat lihat wajah Andini yang memelas. Selanjutnya, kami berdua berdiri di pagar lantai atap sambil memandangi atap-atap rumah tetangga sementara angin yang menyuling menerpa wajah.

"Kamu... lihat semuanya?" tanyanya setelah beberapa basa-basi kemudian.

"Apanya?"

"Pas aku mandi di kamarnya Mas Nugi."

"Iya... lihat semua." jawabku berdusta. "Pahamu, betismu, pantatmu, juga punggung. Aku lihat semua inchi tubuh bugilmu."

Andini mendengus pelan. Dia tidak terlihat bersemangat. Saat aku mengada-ada barusan, kupikir ekpresi yang muncul adalah risi atau malu. Malah Andini terlihat jengah. Padahal aku ingin lihat ekspresi malu-malu nih cewek.

"Ehmm... karena udah ketahuan, sekalian aja aku mau nanya."

"Nanya apa?"

"Mas Nugi... udah punya pacar belum?"

"Hah? Kenapa tanya gitu? Lagian kalau udah pacar atau belum apa urusannya denganmu."

Aku sedikit terkesiap karena saat itu aku benar-benar lupa bahwa Andini adalah adiknya Mas Nugi. Harusnya wajar saja saat adik penasaran dengan kehidupan cinta kakaknya, tapi saat itu alasan Andini lain.

"Seperti yang kamu tahu, aku suka Mas Nugi. Bukan suka seperti adik ke kakak. Tapi seperti sukanya Juliet pada Romeo, Rose pada Jack, juga Milea pada Dilan."

Untuk yang terakhir, aku tidak tahu dia sedang bicara soal bukunya Pidi Baiq atau Mas Dilan dan Mbak Milea yang juga penghuni kosan ini. Dan kalau maksudnya adalah buku milik Pidi Baiq, maka semua cinta yang Andini contohkan memiliki kisah akhir yang tragis.

"Makanya... aku penasaran kali aja Mas Nugi udah punya pacar."

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro