AT [Four]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pagi yang cerah. Masih pukul sepuluh, tapi matahari udah panas aja." Reino berasa sedang bicara sendiri dan berada di deretan meja resto seorang diri. Pelayan-pelayan sibuk; mengelap, meracik biji, membersihkan perkakas, dan semacamnya. Sampai akhirnya, segelas kopi yang masih mengepul-ngepul asapnya dia comot begitu saja. "Eh, udah ada kopi sama roti aja. Makasih, ya yang udah buatin. Nih aku minum kopinya."

"Hey—"

Terlambat. Bibir Reino sudah menempel di pinggiran gelas. Kebetulan kopi itu sudah tidak terlalu panas. Dilanjutkan menyantap selembar roti bakar dengan selai kacang yang mengering. Ekspresinya menggugah konsentrasi seisi resto. Reino benar-benar iseng, sementara resto akan dibuka sebentar lagi.

"Hmm," Reino mendehem–mencoba membuat ngiler seisi resto. "enak banget nih. Paduan yang pas."

"Itu sarapanku, Rein."

"Oh, ya? Maaf, soalnya dari tadi aku ngomong ngga ada yang respon, 'kan?" ujarnya dengan suasana mulut yang penuh dengan makanan.

"Pak, benar 'kan ini restonya? Awas kalau salah lagi. Udah dua kali muter-muter sampai sakit pinggang nih."

"Siapa ngomel-ngomel depan resto?"

"Cewek, Dib," jawab pelayan paling dekat dengan pintu masuk.

"Pak, Pak, tutup. Benaran ini restonya, ih."

"Benar, Mba. Tuh logonya sama, 'kan? Mbanya ribet banget. Udah, saya tinggal."

Terdengar klakson yang panjang dan keras.

"Kayak kenal suaranya." Diba mendekati pintu masuk. Eksepsinya berubah setelah melihat wanita itu. "Rein, sini bantuin."

"Kineeeen," Diba membentangkan tangan. Kinen memekik cukup keras dan menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Diba.

"Ya Allah, Dib, susah banget nemuin restomu. Aku sampai jam sembilan, lho dari loket. Naik taksi itu diajak muter-muter sama bapaknya. Ngga nemu-nemu. Capek."

"Kamu sih ngga nelpon aku kalau udah sampai. Ada Reino yang bakal aku suruh jemput."

"Di mana dia?" tanyanya berbisik.

"Tuh, di belakangmu."

Kinen memanyunkan bibir. Mendadak pipinya selicin tomat remaja.

"Yuk, masuk," ajaknya. "Rein, tolong bawain kopernya Kinen, ya."

"Siap. Aku langsung letak di lantai dua, Dib. Aku mau keluar, ada urusan."

"Iya, makasih, lho, Rein."

"Dib, gimana dia selama di sini?" tanya Kinen masih berbisik.

"Baik."

"Aku cocok 'kan sama dia?"

"Cocok kalau dia udah jadi seorang muslim."

"Diba," keluhnya. Langkahnya terhenti. Kinen menyesali keadaan itu.

***
Keringat di pelipis Kinen yang tadinya mengalir, kini menyisakan titik-titik gutasi yang siap ia seka. Detak jam yang menempeli bagian dinding sisi kanan cafe terdengar lebih kentara dari biasanya. Mungkin karena hari Senin. Dalam logika Diba, Senin adalah hari pertama dalam dunia perharian dan hari paling sibuk setelah hari beristirahat. Argumen ini didukung dengan dua puluh menit berlalu dan satu pun pengunjung belum ada yang memasuki cafe Diba.

Wait.
Sudah ada satu untuk dua puluh menit pertama. Adalah Kinen. Sejak masuk tadi, wajahnya tidak bisa menyembunyikan kekesalan yang semakin menunjukkan sikap kekanak-kanakannya. Dia mulai berpikir bagaimana saran Diba ... maksudnya, apakah mungkin ia dan Reino akan bersama dengan membuat pria itu mengubah status agamanya? Memangnya, Kinen ini siapa dan apa? Belum tentu juga Reino akan muallaf karenanya. Hm—

"Bengong mulu udah setengah jam," tegur Diba yang baru kembali setelah mengambil sepiring keripik pisang dengan balutan matcha yang mengering.

Kinen sedikit mengangkat bokong dari kursi. Berbisik mendekati telinga Diba. "Apa mungkin Reino itu mau masuk Islam? Maksudku, selama kamu temenan sama dia, apa ada kemungkinan dia masuk Islam?"

"Maybe."

"Caranya bagaimananya, Dib?" Baru saja rahang Diba hendak membuka. Kinen justru melanjutkan kata-katanya. "Dib, Diba, kok-kok kok a-da Maher di-di sini? Baiknya kamu sembunyi sekarang sebelum dia lihat kamu Dib. Buru."

"Dia datang lagi?" tanyanya seraya membalikkan pundak.

"Maksudmu dengan datang lagi?"

"Dia kemarin ke sini." Diba menyeruput kopinya. Pias wajah Kinen belingsatan. "Bukan, bukan karena kamu," timpal Diba–dapat melihat kepanikan Kinen.

"Maher sudah melakukan gratifikasi. Dia memberikan jam tangan branded ke Reino sebagai imbalan kalau Reino mau kasih alamat aku ke Maher."

"Nekad, ya."

"As-Salamu'alaikum. Wah, ada Kinen juga di sini. Udah lama ngobrol berdua? Ganggu tidak?" tanya Maher basa-basi. Harapannya tetap sama di hari-hari sebelumnya–mendapatkan jawaban dari tanda tanya besar sejak malam tahun baru itu. Andai saja Diba mau berbagi kepadanya dan menceritakan apa asal muasal jarak ini bisa terbentang memisahkan mereka. Ibarat Selat Sunda memisahkan Jawa dan Sumatera.

Salam dijawab Diba dan Kinen dengan parau–nyaris 'tak terdengar.

"Aku tahu kamu bohong saat aku nanyain alamat Diba ke kamu."

Mata Kinen berotasi mendengar lontaran Maher.

"Aku yang memintanya," sambung Diba.

"Dan aku juga tahu itu. Jadi, bisa kah aku dapatkan jawabannya hari ini?"

"Aku tidak punya jawaban dari pernyataanmu, Maher. Aku bukan menjauh atau menghindar darimu. Kamu juga tahu aku udah punya planning usaha dan jarak yang jauh bukan aku yang menjauh."

"Aku mengenalmu sudah cukup lama. Kamu mendouble niat, aku tahu itu."

"Kamu selalu menganggap apa yang ada di pikiran kamu itu sesuai dengan keadaanku. Kamu nggak tahu seperti apa persisnya aku."

"Maka beri tahu."

Diba membuang wajah dan berdengkus. Kinen paham keadaan sudah cukup sulit. Perdebatan hangat menuju panas harus ia dekatkan dengan yang dingin, supaya menjadi sejuk kembali.

"Kalian kenapa sih? Bisa 'kan kalian bicara baik-baik. Maksudnya, lupakan masa itu dan kembali seperti dulu. Ayolah, maksudku seperti kita dulu; duduk bareng, cerita apa aja, guyonan, saling lempar jokes. Ya pokoknya apa aja selain bicarakan itu. Maher 'kan datang jauh-jauh nih, nggak mau 'kan moodnya hilang?" Alis laksana semut hitam yang berderet di kening Kinen bergerak gelombang.

"Aku tidak pernah memulainya. Maher yang selalu datang dan nagih—," balas Diba.

"Karena kamu nggak mau—"

Wah kacau, batin Kinen.

"Et, udah, ya, udah. Sekarang kita makan aja, sarapan. Pada belum sarapan 'kan?"

"Belum. Aku mie nasi goreng, ya."

"Siap," jawab Kinen semangat. Menu andalan Maher.

"Mba," panggil Kinen, "jus alpukat tiga, mie nasi gorengnya tiga juga, ya. Terima kasih.

"Aku samain semua aja biar nggak bingung mbanya."

"Itu fungsi dari kertas-kertas ini, Kinen." Diba menarik secarik kertas dari bawah tempat sendok.

"Hehe ...."

Dengan sarapan bersama di meja yang sama, semoga perbincangan tadi lenyap. Kinen tahu apa yang disembunyikan Diba dari Maher. Di satu sisi, ia tidak tega membiarkan Maher memaksa Diba untuk jujur walaupun Maher berhak tahu. Namun, di sisi lain, ingin rasanya Kinen mengatakan apa saja yang ia tahu dari permasalahan ini. Meski ia sadar ini semua tidak akan bisa lebih lama disembunyikan. Kedatangan Maher ke tempat ini adalah alarm terbongkarnya alasan Diba menjauh dari Maher.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro