Bab 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lihat, perempuan itu melanjutkan aktivitas seperti biasa.

Rambut hitam legam tergerai bergelombang hingga melewati punggung. Iris cokelat bagai batu terindah berkilauan di tengah kornea kelam, hidung pesek berusaha menyaingi kesempurnaan bibir merah merekah yang menggoda. Tubuh tinggi ramping dengan lekuk sempurna.

Erika mengobrol santai dengan temannya, merasa semua baik saja.

"Benarkah?"

Lawan bicara mengekeh. "Iya, benar, lo!"

Dia bercakap biasa, merumpi tentang hal-hal acak seperti berbasa-basi, termasuk kabar keluarga, gosip terkini, pelajaran yang dibenci, guru kesukaan, tugas-tugas nan bisa dikerjakan nanti tatkala memepet tenggat waktu.

"Ba!"

Saat ada yang mengagetkannya dari belakang, Erika langsung terlonjak dan beralih menunjukkan mimik wajah horor.

"Kenapa, Karin?"

"Eh, enggak apa-apa kok," balasnya. Erika yang biasa dipanggil Karin oleh teman kelasnya itu menggeleng pelan sambil tersenyum kecil.

Tak ada yang dibahas lagi setelah itu karena guru pelajaran telah masuk kelas.

Kegiatan belajar-mengajar berjalan sebagaimana biasa.

Erika menjauhi Ruang Iblis. Sudah seminggu sejak kejadian itu. Sekolah mereka yang lain, teman-temannya yang terdampak, belum dibuka lagi. Sebab SMP Erikarina berjauhan dengan lokasi kejadian, tempatnya tidak terpengaruh, yang paling masuk akal hanya sebatas imbauan dari kepala sekolah untuk tidak keluar sendirian di waktu setelah pulang.

Kehidupan sekolah Erika hanya berulang di berangkat, gosip, belajar, istirahat, belajar lagi, gosip tak bermutu, pulang. Sesampai rumah mengerjakan tugas dari guru, mengulang materi kelas, mempelajari bab selanjutnya, tidur, lalu bangun dan bersiap berangkat kembali.

Terus begitu sampai otak hafal setiap langkah-langkah kaki, kaki ingat lelahnya mencatat pelajaran pakai tangan, tangan paham susahnya mengikuti materi dengan mata, mata lelah ingin tidur.

Apalagi pihak sekolah tengah merancang sesuatu berkaitan ujian akhir, apalagi setelah ini kelas tiga sepertinya harus mempersiapkan segala hal untuk memasuki SMA pilihan, entah favorit sendiri atau kemauan orang tua. Erika yang bersangkutan belum tahu mau lanjut ke mana, paling-paling SMA yang sama dengan SMP-nya.

Padahal ada hal lebih penting yang perlu dirisaukan. Namun, dia tak ingin mengacuhkannya.

Sebenarnya, Erika masih peduli. Rasa kepedulian di atas segalanya.

Semuanya terus naik, dan apabila
tiap-tiap parameter yang dijadikan skala prioritas akan selalu menuju ke atas, apakah Erika juga demikian?

Tentang kebutuhan sehari-harinya, sekolahnya, keadaan di rumah, dan yang paling penting di antara semua itu adalah tentang Ruang Iblis; Mas Seng beserta para bawahan lain.

Pada versi Erika yang akhirnya, dia memantapkan diri untuk bergerak dan membuat kemajuan.

Di sebuah mal terdapat kedai es krim. Dua orang remaja tengah duduk berhadapan, memasang wajah serius saat mengobrol sembari menyendok es krim. Hanya si perempuan berbaju 'one piece' biru dan rambut panjang tergerai yang menikmatinya.

Erika tengah melakukan konsultasi kepada Mas Seng.

"Jadi, kamu masih mau melanjutkan sebagai bawahan Ruang Iblis, Ketua?" tanya laki-laki yang lebih tua itu.

"Benar. Saya merasa masih ada tanggung jawab tertentu, Mas Seng," jawab Erika.

Jatuhnya puluhan korban pada kasus terbaru membuat Erika tersadar, bahwa pekerjaan menjadi bawahan Ruang Iblis penuh dengan risiko, dan semua orang yang mengikuti Mas Seng harus paham tentang konsekuensi ini. Erika mengetahui pula pada kasus Pak Theo dan Fina, semua korban terlibat telah siap dengan skenario terburuk.

Erika menunjukkan liontin yang terkalung di leher, tangannya memainkan benda itu. "Liontin ini, Mas Seng-kah yang mengambilnya saat menyelamatkan Kak Fina? Saya ingat saya memberikannya kepada beliau saat misi."

"Benar, itu saya," jawab Mas Seng, singkat.

Laki-laki itu memandanginya singkat lalu ingin mengulang konfirmasi.

"Jadi, kamu memutuskan untuk mengikuti jalan saya, mau bagaimana pun risiko yang bisa terjadi?"

Kedua ujung bibir tertarik, pipinya membentuk lesung. Senyum dan anggukan kecil adalah balasan. "Iya," ucap Erika, tak ada lagi keraguan dalam wajahnya.

Mas Seng hanya bisa melihat keseriusan dalam ekspresi itu.

"Ada satu syarat."

Sudah tidak ada jalan kembali bagi mereka berdua.

Mas Seng bertopang dagu. Erika memajukan badan.

"Apa itu?"

Sepatu hak dengan motif kupu-kupu, perempuan dengan kaki ramping itu berhenti di depan pintu kayu berayap. Berbaju modis, rok abu-abu serta stoking. Erika seperti mengunjungi teman.

Dia mengingat dengan perhati ucapan Mas Seng sebelum ini.

Master Ruang Iblis itu memintanya membujuk Ren agar kembali. Kedua pihak sudah tahu bahwa tiap-tiap yang bernyawa setelah dicabut tidak akan bisa dikembalikan. Tidak ada yang dapat mengembalikan Will. Maka cara untuk mengajaknya adalah dengan solusi yang realistis, sudah diajak memulihkan diri, tetapi selalu menghindar, diberi bimbingan konseling daring, tetapi tak pernah hadir. Semua itu tidak mempan.

Sekarang tugasnyalah, giliran Erika untuk menolong.

"Siapa, ya?" Orang di balik bertanya walau sudah tahu.

"Ini Erika. Apakah Kak Ren sibuk?"

Walau tak ada balasan lagi, Erika tetap akan melanjutkan.

Suatu hari, Erikarina yang masih berumur 15 tahun, direkrut menjadi bawahan Ruang Iblis setelah diselamatkan dari insiden supernatural yang dialaminya. Bersama Master Ruang Iblis dan bawahan lain, dia mendapat tugas mengirimkan sesuatu yang bukan hantu, "Ala", kembali ke dunia bawah.

Erikarina menjadi ketua para bawahan dengan peran memanajemen rekan-rekannya. Sebagai yang paling muda dan diberi kepercayaan, Erikarina menunjukkan usaha terbaiknya.

Sayangnya, pekerjaan Ruang Iblis tidak semudah bayangan. Banyak "Ala" yang berbuat semena-mena, membuat kerusakan di dunia fana, bahkan membunuh manusia. Beberapa bawahan ada yang ikut terbunuh.

Namun, Erikarina memetik satu hikmah dari semua ini. Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mati.

"Kak William juga tak akan senang dengan ini." Ingin perempuan itu melanjutkan ceramahnya di depan rumah orang, tetapi gerakan tak diduga membuatnya mendongak.

Seseorang membuka pintu. Laki-laki tinggi kurus yang tampak sayu. Rambut gondrongnya berantakan, baju seperti lengket akan bekas keringat dan tak diganti berhari-hari, kulit dipenuhi luka goresan.

"Oke, aku akan turuti kemauan orang itu."

Sejujurnya, lelaki itu sudah muka dengan semua ini.

Di Ruang Iblis, semuanya berkumpul. Mas Seng di depan. Krista, Erika, Bram dengan kupluknya, Zain yang pendiam, beberapa bawahan lain, untuk pertama kalinya Ren hadir dalam rapat.

"Saya akan mengambil tindakan tegas untuk mencegah jatuhnya korban. Supaya tidak ada korban yang menderita akibat Ruang Iblis lagi."

Seluruh pasang mata tampak antusias. Mereka masih mencoba mencegah trauma dalam diri masing-masing menggali lebih dalam.

"Saya akan memberi paksaan kepada kalian, semuanya saja, supaya mengikuti ujian Master Ruang Iblis selanjutnya. Semuanya ikut. Tanpa terkecuali."

Dari penjelasan itu, ujian tahap pertama, mereka harus menghadapi trauma masa kecilnya.

Di dalam diri masing-masing manusia ada Ala yang terbentuk dari trauma masa kecil.

"Saya akan mengeluarkannya, tapi itu membutuhkan kondisi tertentu."

Setelah mengembalikan Ala itu, para bawahan dianggap memenuhi syarat untuk menjadi kandidat Master Ruang Iblis.

###

Klaten, 8 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro