Senyummu Motivasiku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Stres, depresi, frustasi, putus asa, kehilangan arah, lelah, dan lain sebagainya. Semua orang pasti pernah merasakannya tak terkecuali aku. Hal tersebut biasanya timbul karena masalah psikologis, pribadi, keluarga, maupun masalah pekerjaan yang sulit dihadapi. Namun kadang juga timbul karena masalah yang mungkin dianggap sepele dimata orang lain.

Aku ingin berbagi sebuah cerita, dimana aku pernah dihadapkan pada pilihan sulit yang berhubungan dengan masa depanku dan hal itu membuatku depresi.

Panggil saja aku Salsa, aku adalah seorang siswa yang tidak pandai dan juga tidak bodoh, hanya siswa biasa-biasa saja dan seorang introvert yang tidak banyak dikenal siswa lain di sekolah. Aku berasal dari keluarga sederhana dan bahagia tentunya. Saat ini aku duduk di kelas XI SMA dan aku sudah merencanakan masa depanku jauh-jauh hari.

Aku telah mencari informasi universitas negeri ternama beserta program studi yang sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakatku. Serta tak lupa memilih program studi sesuai dengan jurusanku saat ini yaitu IPA. Sebenarnya dari dulu aku tidak menduga akan masuk di jurusan IPA, tapi karena nilaiku yang memenuhi kriteria jadi aku terima saja. Toh anak IPA biasanya akan dinilai lebih pintar daripada anak IPS ataupun anak Bahasa, padahal sebenarnya semua itu sama saja.

Setelah memilih universitas dan program studi, aku tidak langsung meminta pendapat ataupun persetujuan orangtuaku karena aku yakin mereka pasti akan setuju dengan pilihanku. Aku berencana memberitahu mereka saat kelas XII nanti, namun aku tidak menduga kalau mereka punya rencana sendiri. Yaitu bahwa aku tidak diperbolehkan untuk kuliah.

Hal itu membuatku terkejut sekaligus syok. Padahal aku memiliki impian untuk kuliah lalu bekerja, setelah itu mengumpulkan uang agar bisa memberangkatkan kedua orangtuaku ke tanah suci. Aku juga ingin memiliki gelar S2 maupun S1 dan aku tidak ingin pendidikan terakhirku hanya ditingkat SMA. Saat itu aku ingin sekali membantah namun aku tak berdaya.

Alasanya karena tujuan orantuaku sangat mulia, setelah lulus SMA nanti mereka ingin memasukkanku ke pondok pesantren agar aku dapat menimba ilmu agama di sana. Mereka tidak sanggup membiayaiku kuliah karena masalah perekonomian keluarga, mereka dari awal memang tidak suka jika aku menjadi mahasiswa.

"Untuk apa kuliah? Kuliah hanya buang-buang uang. Memang kalau kuliah bisa menjamin kamu dapat pekerjaan? Kamu ini seorang perempuan nanti pasti akan menikah dan memiliki keturunan. Memang kalau bekerja nanti kamu bisa mengurus anak dan suamimu? Lebih baik kamu memperdalam ilmu agamamu." Itulah yang ibu katakan kepadaku. Aku hanya diam dan mengangguk seperti anak yang patuh.

Keluargaku bukan keluarga yang bisa dibilang agamis, ayahku bukan kyai maupun ustadz, dan ibuku juga bukan seorang bu nyai atau ustadzah. Namun dengan keinginan mereka yang seperti itu mana mungkin aku bisa menolak. Disisi lain aku juga ingin memiliki impianku sendiri, tapi jika yang kuhadapi adalah masalah perekonomian keluarga aku angkat tangan.

Aku tidak bisa mencari program beasiswa karena aku hanya murid biasa dan tidak terlalu pandai. Aku mulai berfikir bagaimana kalau aku akan dipandang rendah oleh teman-temanku, tetangga, dan masyarakat karena tidak melanjutkan kuliah? Bagaimana kalau aku dianggap tidak akan sukses karena hanya lulusan SMA? Kesuksesan apa yang harus aku ceritakan pada temanku saat reuni nanti? Pikiran-pikiran negatif itu terus menghantuiku hingga aku sulit untuk tidur. Ya, insomnia karena beban pikiran yang terlalu berlebihan.

Bukan hanya itu, aku bahkan kehilangan semangatku untuk belajar. Aku mulai malas mengerjakan tugas ataupun mencatat materi pembelajaran. Tugas hanya kukerjakan saat mepet dengan deadline, mengerjakanku juga sekedarnya bahkan kadang malah minta contekan keteman. Aku benar-benar kehilangan motivasiku untuk belajar.

Saat di sekolah aku yang selalu diam dan memendam masalahku sendiri mulai memberanikan diri untuk bercerita tentang masalahku kepada teman satu bangkuku. Sebut saja Salwa, dia yang mendengar ceritaku tentu terkejut karena orangtuaku tidak memperbolehkan aku untuk kuliah. Meskipun begitu Salwa memberitahuku untuk memenuhi keinginan kedua orangtuaku.

"Kalau orangtuamu ingin memasukkanmu ke pondok pesantren ya nurut aja, kuliah bukan segalanya kok. Banyak orang di luar sana yang sukses tanpa kuliah. Lagipula kalau kamu kuliah tanpa persetujuan orangtuamu, ilmu yang kamu dapat pasti akan sia-sia karena ridha Allah ada pada ridhanya orangtua," jelas Salwa.

Kata-kata Salwa membuatku takjub. Salwa benar, aku harus mengikuti keinginan orangtuaku karena rezeki seseorang telah diatur saat mereka masih berada di dalam kandungan. Lantas, buat apa terus-terusan terpuruk seperti ini?

Sepulang sekolah, aku lalu berbicara kepada orangtuaku bahwa aku telah setuju untuk dimasukkan ke pondok pesantran dan menimba ilmu agama di sana. Tentu saja orangtuaku sangat senang, senyuman mereka membuatku sadar kalau hal itu lebih berarti dari kesuksesan apapun. Aku harus selalu menjaga senyuman kedua orangtuaku dan menjadi anak yang berbakti.

Aku mencoret daftar keinginanku lalu menggantinya dengan yang baru. Aku mencari-cari di internet tentang ilmu-ilmu agama yang sempat kulupakan.

Aku yang selalu mengutamakan tentang kesuksesan dunia ini tersadar bahwa ilmu yang akan kudapatkan di pesantren dapat menjadi bekal untuk di akhirat atau di kehidupan yang kekal kelak.

Karena aku harus membuat senyum kedua orangtuaku tetap merekah, semangat belajarku yang menurun mulai kembali lagi. Meskipun tahu kalau aku tidak akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, aku tetap belajar pelajaran umum karena aku harus lulus dengan nilai yang memuaskan sehingga membuat orangtuaku bangga.

Saat aku duduk di bangku kelas XII SMA aku baru tahu kalau tidak semua siswa di kelasku melanjutkan kuliah. Ada yang memilih bekerja karena perekonomian keluarganya yang tidak bisa membiayai dia untuk kuliah, ada yang memilih untuk melanjutkan kedinasan Salwa contohnya, dan ada juga yang memilih masuk ke pondok pesantren. Kalau mencari lebih jauh ternyata aku tidak sendiri, banyak orang yang sepertiku atau bahkan ada yang tidak seberuntung diriku.

Selama ini pikiranku terlalu sempit, aku selalu menatap keatas dan lupa bahwa masih ada yang berada di bawahku. Aku selalu memikirkan tentang dunia yang hanya sementara ini dan lupa dengan kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Aku bersyukur dengan keputusanku saat ini, bukan hanya dapat membuat kedua orangtuaku bangga. Namun aku juga dapat memperkuat ilmu agamaku, menjadi anak yang solihah, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT yang telah memilihkan jalan yang tepat untukku.

Untuk kalian yang telah membaca ceritaku ini, mungkin bagi kalian cerita ini terdengar sepele tapi saat mengalaminya sendiri kalian pasti akan mengerti apa yang aku rasakan. Ralat, bukan hanya aku tapi aku yakin banyak diantara kalian yang mengalami hal serupa seperti yang aku alami dimana impian kita ditentang oleh orang terdekat kita sendiri.

Jujur, aku sempat merasa iri dengan teman-temanku waktu itu tapi itu semua tetap tidak ada gunanya. Menurutku memenuhi keinginan orangtua selama itu positif lebih baik penuhi saja. Aku yakin saat orangtua kalian merestui apa yang kalian kerjakan, kalian akan menjadi orang yang sukses dimasa depan. Kita sebagai anak juga memiliki kewajiban untuk membalas semua jasa orangtua yang telah merawat dan membesarkan kita dari kecil.

Tidak ada gunanya terus-terusan terpuruk, stres, atau depresi. Karena kita punya Tuhan Yang Maha Esa, selama kita terus berdoa dan memohon petunjuk pada-Nya maka masalah yang kita hadapi akan selesai dengan sendirinya. Semua hanya butuh proses dan pilihan ada di tanganmu, kau mau bangkit dan menghadapi masalahmu atau tetap diam dan meratapi nasibmu. Ingat bahwa masalah tidak akan selesai kalau kalian diam saja.

Bukan maksudku menggurui namun aku hanya memberikan motivasi. Bagi kalian yang introvert, tidak ada salahnya menceritakan masalahmu kepada orang yang paling kau percaya, sahabatmu contohnya. Seperti aku yang mungkin masih terpuruk jika waktu itu aku tidak bercerita kepada Salwa. Namun semua itu terserah padamu, tidak semua orang seperti Salwa. Terima kasih karena telah membaca ceritaku.

~Selesai~

A/N

Sebenarnya cerita ini sudah kubuat kurang lebih dua tahun yang lalu. Juga terinspirasi dari kisah nyata temanku.

Aku merasa ini malah tidak seperti cerita atau cerpen pada umumnya. Entah kenapa aku yang membaca ini malah seperti mendengarkan sebuah curhatan.

Tapi kalian merasa gak sih kalau cerita ini maknanya deep banget?

Maksudku tentang impian yang bertentangan dengan orangtua, itu bukan hal sepele yang bisa dikesampingkan.

Atau jangan-jangan ada yang pernah mengalami pengalaman yang sama?

Oke sampai di sini dulu.

Sampai jumpa lagi :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro