Cerita 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hee Young terbangun karena sensasi panas menyesakkan. Lengan berat melingkari perutnya. Perempuan itu sejenak disorientasi sebelum tersadar dia tengah berada di hunian mungilnya. Saat menoleh, dia terkejut setengah mati mendapati Shou tidur memeluknya.

Perlahan Hee Young memindahkan lengan Shou, tapi lelaki itu sepertinya sudah terbangun. Suara seraknya terdengar malas.

“Mau ke mana?”

Hee Young meringis. Pipinya memanas merasakan telapak besar Shou mengusap perutnya. “Kamar mandi,” jawabnya malu-malu. “Aku harus mandi.”

“Ayo?” Shou mendadak bangkit. Dengan mudah dia menggendong Hee Young.

Perempuan itu memekik kaget. Selimut melorot ke ranjang. Kini tak hanya wajah, tapi seluruh tubuh Hee Young memerah.

“Shou, lepas! Aku bisa mandi sendiri.”

“Mandi bersama lebih cepat. Kita sudah ditunggu kakak ipar,” ujarnya sambil melangkah ke kamar mandi.

Shou menurunkan perempuannya lalu mengatur suhu pancuran. Tak ada bak mandi raksasa seperti di rumah aktor itu. Gigi kelinci Shou tersembul saat dia tersenyum setelah memastikan air cukup hangat.

“Kemarin kakak ipar menelepon. Dia mengundang kita makan malam, tapi jadwal syutingku padat.”

“Lalu kau memindahnya ke sarapan?” Hee Young menikmati dimanjakan pria tampan itu.

“Kafe masih sepi saat pagi.” Shou menggosok punggung Hee Young lembut. Harum sabun menguar di kamar mandi kecil itu. “Kulitmu halus,” ucapnya sambil mengecup tengkuk sang istri.

“Shou, jangan, kita harus segera ke tempat kakakmu.” Hee Young buru-buru melarang kala menyadari gelagat suaminya lebih dari sekedar menggosok punggung. Bokongnya merasakan bagian tubuh Shou yang mengeras.

“Aku senang jika kau bersikap santai seperti ini.” Shou tak memedulikan larangan Hee Young. Dia masih terus menggosok, tapi temponya makin pelan. “Pertama bertemu kau sangat takut padaku. Itu membuatku sedih.”

Hee Young terdiam. Sejujurnya, masih menjadi misteri mengapa paranoidnya mulai menghilang saat bersama Shou. Dia maju sedikit hanya untuk memberi jarak dengan kejantanan Shou yang menekan tubuhnya.

“Kau masih takut padaku?” Shou menghentikan usapan waslapnya.

Hee Young berpikir sejenak sebelum menjawab. “Sedikit.”

Perempuan itu sempat heran mendengar helaan napas lega Shou. Namun, setelahnya dia termangu oleh perkataan lembut yang dipenuhi janji.

“Bagus! Sisanya akan kuhilangkan sebelum ulang tahunmu. Kau bisa percaya padaku, Chagiya.”

Perasaan asing memenuhi rongga dada Hee Young. Suaminya yang begitu murah hati. Lelaki itu tahu masa lalunya dan kondisinya sebelum menikah, tapi masih tak beranjak dari sisi Hee Young. Matanya mengerjap-ngerjap cepat, berusaha menghalau air mata yang mulai merebak.

“Jangan menangis,” bisik Shou. Dia menarik tubuh mungil Hee Young, lalu memeluk dari belakang. “Hatiku turut hancur saat melihatmu menangis.”

Hatinya bergetar seolah ada belasan kupu-kupu beterbangan dalam tubuh. Berada di pelukan Shou terasa senyaman berbaring di hammock. Perempuan itu ingin meringkuk seperti bayi, nyaman dalam gendongan ibunya.

Namun, tak ada ibu lagi untuk Hee Young. Wanita itu telah meninggal belasan tahun silam. Yang ada hanya seorang lelaki jangkung dan luar biasa tampan. Mengingatkan Hee Young bahwa kenyamanan yang diharapkannya bisa jadi semu.

“Kau masih bersedih?” tanya Shou di telinga Hee Young.

“Tidak.” Perempuan itu menggeleng.

“Dingin?” tanyanya lagi.

Hee Young terdiam. Jelas pertanyaan Shou tidak merujuk pada suhu air pancuran, apalagi cuaca di luar.
Perlahan Hee Young menggeleng. Bahkan tanpa melihat pun, dia bisa merasakan lelaki itu tersenyum. Kali ini dia tak memejamkan mata saat Shou merundukkan tubuhnya. Perempuan itu menggigit bibir kala jemari lelaki itu membuka kewanitaannya.

Hee Young tak sadar tersenyum mendengar nada kaget dalam suara Shou. “Kau sudah siap? Untukku?”

“Menurutmu aku harus siap untuk siapa?” Hee Young memberanikan diri menoleh.

Shou menyeringai, “Tentu hanya untukku, Chagiya.”

Lalu Shou mendorong masuk dan memompa keras. Suara deru air bercampur rintihan Hee Young memenuhi bilik kecil itu. Tak perlu waktu lama bagi mereka berdua mencapai puncak. Pelepasan terjadi bersamaan. Shou dan Hee Young bersandar di dinding kamar mandi. Letih, tapi sangat bahagia.


~~oOo~~


Hee Young memasang masker hitamnya. Netra cokelatnya mengamati seksama bangunan dua lantai berukuran sekitar 300 meter persegi itu. Papan nama Prunos terpasang megah di salah satu panel dinding. Dindingnya dihiasi tanaman merambat menggantikan fungsi cat.

Dia sudah lama mendengar nama kondang Prunos. Namun, baru kali ini Hee Young menjejakkan kaki di sana.

“Ayo, masuk?” Shou menarik istrinya.

Kafe baru saja buka saat mereka datang. Jam sarapan jelas telah terlewat, tapi Shou tak tampak menyesal.

“Kalian sudah datang?” Kepala berambut platinum melongok dari balik pintu dapur. Hee Young mengenalnya sebagai Kim Hwan, sepupu Shou.

“Untunglah kalian cepat datang. Ae Ri sudah hampir meledakkan dapur jika kalian terlambat sepuluh menit lagi,” keluh Ryung, si patissier Prunos.

Hee Young memandang Shou tak mengerti. Lelaki itu tertawa.

Noona terkenal sangat ceroboh dan selalu sial. Minggu pertamanya bekerja di sini, aset kafe nyaris hilang separuh,” kekeh Shou. “Dia juga musuh bebuyutan Yoon yang perfeksionis.”

Hee Young manggut-manggut. Telinganya menangkap suara beling pecah, disusul teriakan seorang pria. Menit berikutnya wanita dengan perut besar berjalan terseok-seok keluar dapur.

“Yoon bisa membuat lagi manisan ceri itu. Kenapa harus marah-marah, sih?” gerutu Ae Ri.

“Kau memecahkan tiga toples besar, Ae Ri! Tiga toples!” teriakan keras membahana dari dapur.

“Aku tidak memecahkan! Aku hanya tak sengaja menyenggol!” Ae Ri balas berteriak.

Shou tergelak. Dari arah tangga, seorang pria luar biasa tampan turun dengan cepat—nyaris berlari. Wajahnya terlihat kalut.

“Kau tak membakar dapur lagi, kan?” cecarnya begitu tiba di bawah.

Ae Ri berkacakpinggang kesal. “Citra diriku seburuk itu ya, di mata kalian?”

Saat itulah wanita berbadan dua itu menoleh. Kerut di dahinya menghilang, berganti senyuman lebar. Melangkah santai dia menghampiri pasangan pengantin baru itu.

Aigoo, kalian kenapa berdiri saja di situ? Ayo, duduk? Aku sudah siapkan sarapan khusus untuk kalian.”

“Aku yang siapkan, Ae Ri! Kau tak usah masuk dapur,” teriak Yoon lagi.

Ae Ri mendelik jengkel, tapi tak protes. Napasnya sudah tak beraturan untuk beraktivitas padat. Dia dan Seok Jung membimbing pengantin baru itu menuju salah satu meja.

“Senang melihat kalian begitu mesra,” komentar Ae Ri.

Hee Young menelengkan kepala bingung. Hampir setengah menit dia baru menyadari maksud ucapan iparnya. Sejak tadi Shou belum melepas genggamannya. Perempuan itu buru-buru menyentak lembut tangan Shou.

Di depan mereka, Ae Ri dan Seok Jung bertukar pandang geli. Percakapan terjeda sejenak oleh kehadiran trio Kim lainnya yang bergabung untuk sarapan. Obrolan remeh-temeh mengalir lancar tanpa Hee Young terlibat aktif. Perempuan itu sediam tembok meski dikelilingi orang-orang dengan kemampuan menghasilkan kata luar biasa.

Saat meja usai dibereskan, Ae Ri berkata pada suaminya. “Kalau begitu, aku ajak Hee Young ke rumah kaca. Boleh?”

“Tentu saja.” Seok Jung bangkit dan menepuk bahu adiknya, memberi isyarat untuk ikut ke meja kasir.

Mereka baru selangkah meninggalkan meja saat lonceng kecil di atas pintu berdentang. Sepasang lelaki dan perempuan dalam penampilan bertolakbelakang melangkah masuk. Aura kehadiran mereka mampu menarik perhatian orang dalam radius lima meter. Tak terkecuali Hee Young dan Shou.

Dari balik ujung topi bucket yang menutupi separuh muka, perempuan itu mengamati kedatangan sahabatnya. Yong Jin terlihat akrab dengan Jung Sora. Mereka mengobrol dan tertawa lepas.

Cepat-cepat perempuan itu memasang lagi masker muka. Tanpa sadar tubuhnya beringsut ke belakang Ae Ri. Gerakan halus yang tak luput dari perhatian Nyonya Kim.

“Kalau tak salah, Jung Sora adalah lawan main Shou di drama terbarunya, kan?” bisik Ae Ri.

Hee Young mengangguk. Wanita itu kembali bertanya, “Apa kau tak nyaman dengannya? Jika iya, kita bisa kabur sekarang ke rumah kaca suamiku.”

Mata Hee Young berkedip-kedip. Apakah sikapnya yang mencolok atau Ae Ri yang blak-blakan hingga wanita itu bisa merasakan ketidaknyamanannya bertemu dengan Sora? Belum sempat menjawab, suara genit melengking tinggi di kafe. Semua orang menoleh ke sumbernya dan ternganga.

Sora berhasil melihat Shou. Tanpa risih, perempuan itu memghambur ke pelukan lelaki itu, mendekapnya erat tanpa peduli pandangan syok Hee Young.

“Wah, kita memang berjodoh. Makan siang di sini, Shou? Mau kutemani?”

Ae Ri memeragakan adegan seolah muntah. Dia bersiap buka mulut, tapi ditahan Hee Young. Perempuan itu menggelengkan kepala dan buru-buru menunduk saat Ae Ri melotot galak.

“Shou sudah makan,” sela Ae Ri.

“Ah, kalau begitu dia harus menemaniku makan.” Sora bergayut manja di lengan Shou. Sebelah matanya mengedip pada Seok Jung.

Malaikat itu mengernyit, tapi tak berkomentar apapun. Dia hanya melayangkan pandang bergantian antara Sora, Shou, dan Hee Young. Lantas senyumnya terbit.

“Hee Young, kau mau di sini atau ke rumah kaca? Aku punya koleksi mawar langka. Kau bisa gunakan untuk inspirasi make up-mu,” ajak Seok Jung.

Yeobo?” Ae Ri protes.

“Mau melihat sekarang?” Seok Jung tak memedulikan keberatan istrinya.

Belum juga Hee Young menjawab, suara maskulin menyapa kerumunan kecil itu. Semua kepala menoleh pada si pendatang baru.

“Hee Young, kamu juga di sini?”

“Kau tahu dia ini Hee Young?” Ae Ri langsung bertanya heran. “Dia tertutup rapat dari ujung kepala sampai ujung kaki.”

Yong Jin mengangguk. “Aku sudah hafal penampilannya dan aromanya. Mau ditutup dengan karung goni pun, aku bisa mengenalinya,” seringai lelaki itu.

Shou ganti melotot galak. Hee Young berdiri salah tingkah.

Bak orang lugu dan tak mengerti implikasi ucapannya, Yong Jin bertanya ramah. “Boleh aku ikut pergi ke rumah kaca? Konon rumah kaca Prunos sangat terkenal. Akan jadi hal terhormat untukku jika diperbolehkan berkunjung ke sana.”

“Tak boleh!”

“Boleh, silakan.”

Dua suara milik Shou dan Seok Jung berseru bersamaan. Kakak-beradik itu saling bertukar pandang. Shou di pihak yang melarang melempar tatapan mau pada kakaknya. Sementara Seok Jung menaikkan alis geli.

“Rumah kaca Prunos terbuka untuk siapapun, tapi hanya area-area tertentu. Mari, kita ke sana.”

Shou hanya melihat kepergian Hee Young dan Yong Jin dengan bibir terkatup. Ae Ri tersenyum-senyum penuh arti.

“Aku pergi dulu, Adik Ipar. Nikmati waktumu dengan Nona Jung. Permisi?”

Ujung bibirnya berkedut. Shou menggeratakkan gigi. Tatapan setajam pedang mengiringi kepergian semua orang. Saat Sora menyentuh lengannya lembut, Shou tanpa sadar membentak.

“Aku sudah makan! Kau makan saja sendiri!”

Sora sontak berkaca-kaca. Shou mengerang keras dalam hati. Paginya yang indah dalam sekejap jadi berantakan.

“Apalagi, Sora?” keluh Shou. Tak ada empati di suaranya. Sebaliknya, pria itu tampak jelas ingin segera hengkang dari hadapan Sora.

“Kau membuatku malu.” Sora tiba-tiba memeluk perut Shou. “Semua orang menatap kita.”

Shou terhenyak mendapat serangan Sora. Matanya terpicing. “Jung Sora, apa yang kau rencanakan?”


~~oOo~~



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro