⏺️ Epilog ⏺️

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Mengapa manusia tak boleh menikahi malaikat?” Hee Young bertanya sebelum dengkusan kerasnya terdengar.

Dia mati-matian mencegah rasa mual yang terus-menerus datang. Dia meraih pemerah pipi dan memulaskan warna peach lebih banyak. Tak terlalu berpengaruh, Hee Young mendengkus melihat wajah pucat yang menatapnya balik dari cermin.

“Tentu saja agar keturunan murni terjaga,” jawab Hea. Dia menimang keponakan barunya dengan luwes. “Kau butuh perona pipi lebih terang. Serius kau ini seorang penata rias profesional?”

“Aku mual, Hea.” Hee Young mengeluh. Meski mulai bisa beradaptasi dengan kehidupan Dunia Atas, dia masih menolak memanggil Hea dengan embel-embel dewi di depan namanya.

“Mau muntah lagi?” Aeri datang dengan secangkir teh jahe dan mengulurkannya pada calon adik ipar. Kemudian diambilnya Yoongi dari tangan Hea. Anaknya yang baru berumur beberapa minggu itu tampak masih terlelap.

Hee Young langsung menandaskan teh jahenya. Dia sudah meminum obat anti mual, tapi janin di kandungannya seolah punya mekanisme sendiri untuk tetap menyiksa sang ibu.

“Apa kalian sangat memuja keturunan murni?” Hee Young merapikan gaun pengantinnya.  Bermodel hanbok modern dengan perpaduan bahan sutra dan renda buatan tangan, gaun warna ungu dalam berbagai gradasi itu berhasil memancarkan kilau cemerlang calon mempelai.

“Bukan memuja, hanya mencegah munculnya makhluk-makhluk yang merusak tatanan alam. Apa menurutmu tidak berbahaya jika terlahir anak setengah manusia dan setengah malaikat?” tanya Hea.

“Mengapa tidak? Mereka bisa jadi anak-anak yang cantik dan tampan.”

Hea menyabetkan kipasnya ke kepala Hee Young. Perempuan itu memekik kesakitan.

“Aduh, bisa tidak kau lebih menyayangi kepalaku?” gerutu Hee Young.

“Leluconmu tak lucu, Hee Young.” Hea menggoyang-goyangkan telunjuk. “Soal fisik mungkin mereka sempurna. Namun, dari segi kemampuan? Di dunia manusia, mereka terlalu kuat. Di dunia para malaikat, mereka akan jadi yang paling lemah. Tak ada tempat untuk generasi seperti itu.”

Hee Young mengusap perutnya. Kehamilan sudah memasuki minggu kedelapan. Dalam dirinya ada spirit Prunos yang membuat Hee Young setara dengan Haes-sal. Namun, jiwa manusia juga masih bersemayam di dirinya.

“Anakmu akan jadi anak Langit,” senyum Hea. “Kau tak perlu khawatir. Jiwa manusiamu perlahan akan menghilang dan digantikan spirit Prunos secara penuh.”

Ketukan di pintu mengusik obrolan para wanita. Kaeren, ibu mertuanya, melenggang masuk dengan sebuket bunga lili di tangan. Wajahnya berseri-seri.

“Ah, menantuku ada di sini semua.” Kaeren mengulurkan buket kepada Hee Young. “Ayo, bersiap. Pernikahanmu akan segera dimulai.”

“Aku serasa jadi orang asing,” sindir Hea. “Jika aku tak belajar bahasa Korea, bisa-bisa aku jadi kambing congek di antara kalian.”

Kaeren dan Aeri tertawa, sementara Hee Young tersenyum simpul. Wanita yang garis wajahnya masih sangat muda itu melambaikan tangan gemulai.

“Aku dipaksa Yoseong belajar bahasa tempat asal para menantuku. Karena belahan jiwa dua putraku harus betah saat berada jauh dari rumah.”

Hee Young memandang ibu mertuanya. Nyonya Kaeren yang sangat baik hati. Tak hanya membuatnya nyaman dengan selalu menggunakan bahasa Korea saat bercakap-cakap, beliau juga tak pernah absen menghidangkan makanan Bumi pada para menantunya.

Hee Young merasa seolah memiliki ibu kandung. Rasa sayangnya makin bertambah karena sang ibu mertua selalu memberi dukungan pada kehamilannya. Desah napasnya terdengar berat. Berbeda dengan Aeri yang lincah, kehamilan Hee Young terasa lebih sulit. Dia bahkan terpaksa menghabiskan seminggu penuh di tempat tidur karena mual dan muntah yang tak kunjung berhenti.

“Baiklah, sudah waktunya keluar.” Kaeren membantu Hee Young berdiri. Suaranya sedikit cemas. “Apa kau yakin cukup kuat berjalan? Aku bisa ambilkan kursi roda untukmu.”

“Ibu, aku baik-baik saja.” Hee Young menenangkan. “Hanya berjalan sebentar. Setelah ini aku akan banyak duduk.”

“Akan kusuruh suamiku mempercepat prosesinya.” Hea beranjak pergi. Di ujung lorong, dewi cantik itu berhenti sejenak. Wajahnya terkesima.

“Kurasa pernikahanmu benar-benar diberkati, Hee Young.”

“Ada apa?”

Hea menunjuk dengan dagunya. “Yang Mulia Hwanin datang ke sini. Kau mau dinikahkan oleh ayahku atau suamiku?”


~~oOo~~


Pesta pernikahannya fantastis. Hee Young mendesah keras. Dia menyapukan pandangan ke penjuru taman yang dipenuhi para malaikat. Dinikahkan sendiri oleh Hwanung, dengan disaksikan Hwanin, pasangan Haes-sal dan Hee Young resmi menjadi suami-istri.

“Terima kasih sudah mendukungku, Hea.” Hee Young berbisik pada Hea yang duduk di sebelahnya. Sementara pengantin pria masih sibuk berkeliling menyapa para tamu.

“Kapan kau akan memanggilku Dewi Hea?” Wanita cantik itu mengerling jenaka.

“Mungkin nanti setelah aku punya sebelas anak.” Hee Young berseloroh.

“Jika kau minta itu pada Haes-sal, dia akan menahanmu berbulan-bulan dalam kamar. Sekarang saja pandangannya sudah mau melahapmu bulat-bulat.”

“Hea?” Pengantin cantik itu memerah. “Jangan bicara seperti itu.”

“Kenapa tidak? Semua tamu bisa melihat tatapan lapar Haes-sal. Kau harusnya .... Aduh, aduh, jangan mencubitku!"

Hee Young sedikit mengancam. “Kulepaskan asal jangan bicara yang tidak-tidak.”

“Baiklah! Baiklah!”

“Janji?” Hee Young menegaskan.

“Janji! Janji!” Hea buru-buru berkata.

“Janji apa?”

Hee Young dan Hea mendongak. Haes-sal berdiri di belakang mereka. Seragam militernya menambah aura gagah sang malaikat.

“Bukan janji apa-apa,” ucap Hee Young cepat.

Haes-sal memberi hormat pada Hea. “Izinkan aku berterima kasih pada Anda, Yang Mulia.”

“Karena menjaga istrimu? Oh, tenang saja. Itu bukan masalah besar. Hee Young tidak seceroboh Aeri.”

“Bukan, aku ingin berterima kasih untuk hal lain.” Haes-sal membungkukkan badan. “Terima kasih karena mempermudah tugasku mengembalikan Nakai ke Dunia Bawah.”

“Siapa? Aku? Kau tak salah berterima kasih?” Hea menunjuk diri sendiri. Seringainya sangat lebar. “Aku tak pernah menangkap Nakai, Jenderal.”

“Apa maksud Anda?” Haes-sal mengernyit. “Bukankah agma itu sudah berada di Dunia Bawah?”

“Kata siapa? Nakai masih berkeliaran. Dia lolos dariku saat hendak kubawa ke Langit dan mengejar Song-he. Kau pikir bagaimana dewi itu mendapat luka di wajahnya?”

Haes-sal berubah pucat. “Sial!”

“Ya, cepatlah tangkap dia. Kudengar Nakai punya dendam besar padamu. Ingat anak dan istrimu.” Hea melambai-lambaikan tangan.

Haes-sal bergegas pergi meninggalkan keduanya. Langkahnya berderap cepat. Kepergiaannya yang terburu-buru memancing rasa ingin tahu semua tamu.

“Bagaimana Haes-sal akan menangkap Nakai dengan sayap seperti itu?” Hee Young was-was.

“Tenanglah. Dia seorang Prunos. Kau bisa mempercayai Haes-sal.” Hea mengedipkan sebelah mata.

“Jadi, sudah tahu jenis kelamin anakmu? Aku bertaruh dia perempuan yang cantik. Tapi Yang Mulia Hwanung bilang anakmu lelaki tampan. Kau mendukung aku atau suamiku?”

Hee Young terperangah. Taruhan macam apa itu? Belum sempat menjawab, ekor matanya melihat kilasan bayangan Haes-sal. Malaikat itu kembali dalam seragam Imoogi serba gelap.

“Haes-sal?” Hee Young menyongsong kedatangan suaminya. Dia memekik lirih saat pria itu merengkuhnya dalam pelukan, lalu mencium bibirnya keras dan lama di depan semua malaikat. Juga Hwanung dan Hwanin yang terang-terangan tersenyum geli dengan unjuk kemesraan sang jenderal.

“Aku mencintaimu.”

“Apa?”

Haes-sal tersenyum. “Aku lupa belum mengatakan hal itu padamu. Jaga anak kita baik-baik selama aku pergi.”

“Haes-sal, tunggu! Kau ke sini hanya untuk bilang itu? Haes-sal, hei! Jenderal Haes-sal!”


~~oOo~~

Finally, cerita ini berakhir sudah. Terima kasih untuk Readers yang sudah  membersamai cerita ini hingga akhir. Semoga kalian tetap suka  dengan cerita-ceritaku yang lain, ya. 😊

Anyway, sampai berjumpa di  lapakku selanjutnya. 😉😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro