#10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raut muka Kim Mingyu tak semenyenangkan beberapa menit lalu ketika Jung Chaeyeon masih duduk di kursi sambil menghidu aroma teh kamomil. Tatapannya sekeras perjalanan hidup yang telah dia lewati selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Tangan Mingyu hanya terkepal tanpa ingin melayangkan pukulan atau semacamnya.

"Kenapa menatapku seperti itu? Bola matamu bisa lepas, Bodoh." Min Hyuk berujar sambil terkekeh. Nikotin yang dijepit di sela jemari diketuk pelan, merontokkan puntung yang sudah terbakar di bagian ujung. Sebelah tangan yang bebas menggapai pundak Mingyu yang bergeming, memberi tepukan kecil yang perlahan berubah menjadi cengkeraman.

"Kau pasti sudah tahu mengapa aku kemari, bukan?"

Mingyu tak berminat membalas. Aroma alkohol dan rokok yang menempel di baju pria di hadapannya sudah memberi banyak penjelasan. Pun sebetulnya tanpa mengendus aroma itu, dia sudah mengerti mengapa Kim Min Hyuk harus bersusah payah mendatanginya ke Yeouido, ke tempat di mana pria itu memilih melepas titel keluarga yang tersemat di bahu sebagai anak tertua Kim. Tentu saja. Apalagi kalau bukan karena butuh uang.

"Hei, kenapa tidak menjawab?" Min Hyuk menepuk pipi Mingyu. Yang ditepuk cuma diam, enggan membuka mulut. Hal itu membuat tawa rendah si pria Kim mencuat keluar, lalu detik berikutnya berubah dengan tatapan menantang. "Kau akan begini terus padaku? Huh?"

"Kita bicara di tempat lain." Tanpa menoleh, Mingyu berjalan terlebih dulu. Dia tak terlalu peduli ketika kakaknya—entah masih bisa dia panggil begitu atau tidak—berdesis dengan sisa tawa guna menutupi rasa jengkel.

Udara musim gugur malam ini dihiasi rintik hujan yang menyiram tipis-tipis. Tetes-tetes airnya hanya menembus permukaan, tak sampai membuat jaket yang dikenakan basah. Tanpa disuruh, kepala Mingyu memilah Chaeyeon di antara banyak orang yang mampir di hidupnya sebagai orang yang menjadikan khawatirnya agak berlebihan. Entah bagaimana dan apa alasannya, Mingyu juga penasaran. Apa dia sudah sampai rumah?

Tak lama ponsel Mingyu bergetar. Satu pesan muncul dengan nama kontak yang baru saja ditambahkan oleh—sejujurnya ia tak ingin mengakui ini, tapi baiklah—gadis Jung yang banyak bicara dan memiliki senyum menawan tersebut. Kaki Mingyu mengikuti trotoar yang mengkilap karena terguyur hujan, sedang tangan kiri menekuri sebuah pesan yang ketika dibaca bisa terdengar jelas bagaimana orang itu mengatakannya. Setitik dua titik air jatuh di layar ponsel, tapi itu tak menghalangi pandangan Mingyu dari sebaris pesan yang tersuguh di sana.

Kau masih punya utang mentraktirku minum, Mingyu-ssi.

Sudut bibir Mingyu ditarik tak kentara. Jemarinya mengetik pesan balasan. Rasa canggung sempat merayap. Mingyu berpikir sejenak sebelum benar-benar mengirim pesan tersebut. Apakah ini boleh dilakukan? Untuk seseorang seasing Jung Chaeyeon?

Hm, aku mengerti.

Napas Mingyu diembuskan dengan agak berlebihan. Dia seharusnya tak perlu merasa segugup ini hanya untuk mengirim 'Hm, aku mengerti' kepada seorang partner adu mulut yang kadang kelewat berisik dan menyebalkan. Juga, dia tak terlalu yakin apakah itu bisa disebut adu mulut. Memikirkan itu Mingyu hanya mendengkus.

"Hei, Kim Mingyu. Kau ingin bicara di mana? Jangan main-main denganku."

Suara Min Hyuk membuat Mingyu seperti ditarik pada kenyataan. Tanpa membalas, dia menyimpan lagi ponsel di saku, kemudian lanjut berjalan hingga menemukan tempat cocok yang bisa dijadikan mengobrol. Dia tak akan memilih tempat terbuka yang ramai dan mencolok atau Min Hyuk akan sengaja mencari masalah dan mengundang kerumunan demi melihat muka panik seorang Kim Mingyu. Walau udara mulai membekukan tulang-tulang dan orang tak mau kepayahan mempedulikan mereka, bukan berarti atensi mereka tak tertarik. Jadi, untuk hal-hal yang demikian, Mingyu memutuskan menghentikan sepatu di sebuah taman bermain di sekitar tanah lapang yang dihuni rerumputan liar.

"Ya!"

Mingyu yang telah berjalan lebih dulu ditarik cukup keras. Jaket lelaki itu ikut melorot, menampilkan baju tipis tanpa lengan yang tengah dikenakan, sedang perban sisa kemarin masih membalut. Hawa dingin langsung menghujam permukaan kulit. Mingyu menoleh tak acuh. Muka Min Hyuk memerah, tak kuasa menahan gejolak untuk meninju pemuda Kim di depannya tersebut.

"Kemari, Berengsek." Tubuh jangkung Mingyu ditarik lebih dekat. "Kau pikir kau siapa, huh? Baru begini kau sudah meremehkan keberadaanku? Huh?!" Min Hyuk berteriak tepat di muka. Ekspresi Mingyu masih sama. Dia tak menunjukkan banyak reaksi selain muka keras dan dingin.

"Aku akan memberimu uang. Jadi kumohon, setelah ini kau pergi," katanya, yang justru membuat pria di hadapannya makin geram.

"Apa? Kau bilang apa barusan?" Jaket Mingyu dicengkeram. Tawa yang cenderung menertawakan diri sendiri segera membungkus kedua telinga. Tatapan penuh rasa benci berpendar di manik Min Hyuk ketika tawanya tak lagi menggema.

"Hei, Kim Mingyu. Kalaupun kau sudah kehilangan rasa kemanusiaanmu, kau tidak boleh kehilangan tata krama dan sopan santunmu, Berengsek. Kau masih tidak mengerti kalau hidup harus ada timbal balik rupanya. Aku yang membuatmu memiliki banyak uang, Saekki-ya. Bukannya kau butuh biaya untuk mengurus wanita gila itu?"

Kali ini Mingyu baru bereaksi. Gigi-giginya saling bergesek. Kepalan yang telah disiapkan sudah siap dilayangkan. Dan sebelum kata-kata lain sempat keluar dari mulut Min Hyuk, jotosan langsung menghujam tulang pipi. Pria itu tumbang. Cengkeraman di jaket ikut lepas.

"Tutup mulutmu, Kim Min Hyuk."

Mingyu menarik sebuah amplop tebal dan cukup besar dari saku bagian dalam, lalu dengan kesabaran yang berusaha ditahan-tahan, dia melempar barang berisi lembaran won tersebut tepat di dekat tempat Min Hyuk jatuh terduduk.

"Silakan pergi. Aku sudah memberikan semua uangku." Jaket yang dikenakan dirapikan lagi sambil berusaha membawa kakinya menjauh dari sana. Namun, belum sampai selangkah, Mingyu justru hilang keseimbangan. Min Hyuk berhasil bangkit dengan cepat, lalu melayangkan tinju balasan.

"Ya!" geram Min Hyuk. Satu tinjuan menjejak di pipi kanan Mingyu yang diam saja—tak berusaha berontak maupun membalas. Tendangan berkali-kali menghujani perut dan tubuh. Mingyu tetap diam. Kedua tangannya berusaha melindungi kepala, sementara Min Hyuk makin membabi buta. Urat-urat di leher Mingyu mencuat, menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Dia bisa saja menghabisi pria itu kalau mau, tetapi dia memilih tak melakukan apa pun. Bahkan bila Min Hyuk berniat menghilangkan nyawanya saat itu juga, dia tak akan menginterupsi. Lagipula semua sudah berantakan sejak awal. Hidupnya sudah lebur bersama banyak rasa kecewa.

Min Hyuk baru berhenti ketika Mingyu sudah babak belur. Lelaki itu meringkuk memegang perut sambil meringis kecil. Luka di lengan kembali berdenyut. Kepul tipis yang disebabkan suhu rendah berembus secara konstan dari mulut Mingyu.

"Aku harus melakukan ini supaya kau lebih sadar." Amplop berisi uang yang tadi sempat dilempar oleh Mingyu kini diambil. "Lain kali perhatikan ucapanmu. Beruntung aku tidak melakukannya lebih dari ini."

Selanjutnya, Min Hyuk sudah hilang dari pandangan Mingyu yang sedikit berkunang. Matanya berembun. Ada pengar yang menjalari hidung. Perih dan ngilu di sekujur tubuh seolah tak ada apa-apanya daripada segumpal sesak yang tak bisa terungkap menggumpal, memenuhi dada. Nyerinya tak keruan. Dua butir bening akhirnya leleh.

"Ayah, tiba-tiba aku merindukanmu."

•ㅅ•

"Aku pulang."

Mingyu melepas sepatu tanpa tenaga. Perkara bertemu Kim Min Hyuk bukanlah hal yang selalu mudah. Perasaannya selalu bergolak-golak. Di sisi lain dia ingin membenci seperti pria itu membenci keluarga ini. Namun, di sisi lain yang lebih terlihat manusiawi, dia masih mengharapkan beberapa hal baik yang bisa mengubah keadaan pelik di antara mereka.

Helaan napas Mingyu terdengar lebih sesak dari sebelumnya. Dia berusaha mengenyahkan pemikiran itu. Kim Min Hyuk tak mungkin peduli. Justru orang itulah yang terlebih dulu membentangkan jarak sedemikian rupa. Bahkan pada wanita yang kini tengah mondar-mandir di ruang keluarga tersebut.

Pada cahaya yang tak sebenderang lampu di depan apartemen, Mingyu mencoba memamerkan senyum terbaik. Menyapa wanita yang pundaknya merapuh itu dengan nada bicara kelewat hangat. Barulah pada sepersekian sekon, yang bersangkutan menoleh, membalas seberkas senyuman sang putra.

"Oh, adeul. Kau sudah pulang?" Wanita itu berangsur mendekat, menyentuh lengan Mingyu sambil diusap pelan. Sebelah tangan terlihat membawa telepon rumah tanpa kabel—benda yang sepertinya menjadikan wanita itu mondar-mandir sendirian. "Tadi ayahmu telepon. Kita bisa liburan bersama akhir pekan nanti. Kau sudah hubungi kakakmu, 'kan?"

Air muka Mingyu yang dibuat cerah berangsur mengendur. Nyeri di sekujur tubuh rasa-rasanya langsung lesap sebab di bagian terdalam dadanya ada yang lebih berkedut-kedut. Telepon itu sudah tidak berfungsi lebih dari tiga tahun, dan ibunya mencoba mengucapkan hal-hal yang membuat perih makin tak berkesudahan. Cukup. Mingyu memohon sambil memejam singkat.

"Astaga, ada apa dengan wajahmu?"

Wanita itu refleks menyentuh kedua pipi Mingyu ketika lampu menerangi wajah tegas penuh lebam tersebut. Tangan besarnya menelungkup di atas tangan sang ibu, lalu memberi senyum paling menenangkan supaya rasa khawatir tidak menyeruak terlalu banyak.

"Aku tidak apa-apa, Bu. Hanya tak sengaja jatuh." Mingyu tahu kalimat itu adalah hal terkonyol yang dia ucapkan.

"Siapa yang melakukan ini padamu?"

"Kubilang, aku tidak apa-apa." Mingyu membawa tangan yang menangkup pipi perlahan turun sebelum digenggam beberapa detik. Meski mata renta di hadapannya masih menuntut penjelasan, tapi ibunya tak punya pilihan lain. Atau justru inilah pilihan terbaik agar perihal lebam bisa cepat dilupakan dan tak diungkit lagi. "Bolehkah aku istirahat lebih awal, Bu? Hari ini aku sedikit kelelahan," ujar Mingyu. Suara rendahnya hampir menyamai suara penghangat ruangan.

"Ah ... begitukah?" Wanita itu sempat melirik telepon di pelukan, lalu beralih menatap sang putra. Ada raut yang tak bisa Mingyu baca. "Baiklah, selamat istirahat."

•ㅅ•

If you are reading this story on any other platform OTHER THAN W-A-T-T-P-A-D (alias dunia oren), you are very likely to be at risk of a MALWARE ATTACK. If you wish to read this story in it's original, safe, form, PLEASE GO TO : (https://www.wattpad.com/story/280355282)

maaf sebelumnya buat teman-teman yang kebetulan ngikutin cerita ini atas ketidaknyamanannya. semoga bisa dimaklumi.

2021년 9월 22일

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro