#5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chaeyeon memandangi pantulan diri pada pintu kaca besar Haengbok Florist. Lonceng dengan bandul panjang sebanyak tiga buah menggantung di sana. Semerbak bunga-bungaan tercium. Aromanya sedikit membikin rileks. Setidaknya mampu mengusir sisa-sisa ocehan Nam Jin Hyuk yang masih terngiang di telinga.

"Anda mencari siapa?"

Pintu tiba-tiba terbuka. Seorang pria dengan tinggi rata-rata menyembul. Celemek seperti yang biasa dipakai Mingyu membalut tubuh. Rambut pirang dengan poni menutupi dahi menjadi pemandangan paling mencolok dari penampilan laki-laki bermata kecil tersebut. Dagunya tidak lancip, tetapi bentuk rahang, alis, dan lengkung mata membuat wajahnya tampak runcing. Bila tersenyum, netranya akan tenggelam. Kedua pipi pria itu seperti dijejali bulatan kapas. Mengembung dan tampak manis. Pria yang berdiri di hadapan Chaeyeon ini punya ekspresi lucu dan menyenangkan.

"Oh ... itu ...." Chaeyeon tersenyum canggung. Matanya sempat menilik ke dalam, yang refleks diikuti pria di depannya tersebut. "Apa Kim Mingyu-ssi ada di dalam?" tanyanya.

"Ah, Kim Mingyu. Hari ini dia libur," ujar si pegawai dengan tanda nama Hoshi. "Ada apa mencarinya? Siapa tahu aku bisa membantu menyampaikannya pada Mingyu."

Chaeyeon buru-buru mengibaskan tangan rendah. "Bukan hal besar. Aku hanya tak sengaja meninggalkan ponselku padanya."

"Ah, begitu rupanya. Apakah aku perlu menghubungi Kim Mingyu? Kupikir itu akan menjadi hal besar bila kau tidak segera mengambilnya."

Hoshi merogoh saku celemek. Ponsel pintar keluaran terbaru telah berpindah di tangan. Jemarinya bersiap, hendak menghubungi Mingyu. Namun Chaeyeon kembali menggerakkan kedua tangan dengan gegabah. Berupaya menghentikan pria berambut pirang tersebut.

"Tidak perlu. Besok aku bisa kemari lagi. Kalau begitu, aku permisi. Maaf sudah merepotkan," katanya.

Hoshi tergelak rendah. Kepalanya mengangguk kecil. Tidak ada tanda-tanda kerepotan yang mengurapi wajah cerianya. Bahkan bila harus berbincang sambil berdiri selama satu jam ke depan, rasa-rasanya dia tidak akan keberatan. Yah, siapa yang bakal menolak kalau lawan bicaranya sebening Jung Chaeyeon.

"Tidak, ini sama sekali tidak merepotkan, Nona Cantik," balasnya dengan muka berseri-seri. Lalu sebelum Chaeyeon berniat pergi dari sana, dia menambahkan, "Omong-omong, kau boleh berbicara banmal padaku. Usia kita sepertinya tidak terpaut jauh."

Chaeyeon tidak yakin harus melempar balasan apa. Jadi dia hanya menyuguhkan segelintir senyum canggung sambil memberi pernyataan setuju. Laki-laki ini sepertinya selalu merasa antusias terhadap banyak hal. Meski begitu, Chaeyeon tidak bisa berlama-lama mengendap di sana. Dia mesti mencari kesibukan lain untuk mengusir sisa rasa sebal yang bercokol gara-gara Nam Jin Hyuk. Kalau diingat-ingat lagi, pria itu memang selalu menyebalkan.

Chaeyeon menghela napas panjang. Dalam satu menit, dia sudah melakukannya sebanyak lima kali. Tali tas selempang yang biasa dipakai bekerja digenggam. Kakinya diayunkan asal-asalan. Sungguh, mengapa hidupnya terlihat menyedihkan begini? Apa dia punya dosa besar di masa lalu sehingga harus menebusnya sekarang?

"Astaga, apa aku harus terus-menerus menanggung kesialan meski usiaku sudah 26?" Chaeyeon menggerutu. Pikirannya melayang pada hari di mana dia selalu mendapat semburan amarah dari Nam Jin Hyuk dan Kang Eunbi. Kalau boleh jujur, hampir tidak ada jeda baginya untuk menikmati hidup tenang di kantor. Senior gilanya yang bernama Song Baekchan itu selalu menyusahkan. Bila hendak menolak, senjata yang paling sering digunakan adalah, "Ayolah, apa kau akan bersikap begini pada sunbae-mu sendiri? Chaeyeon-ah, terkadang kau harus melakukan hal-hal rendah sekalipun, demi bertahan di kursi yang kau duduki. Jadi, bantulah aku."

Dan begitulah semua kesialan berawal.

Chaeyeon tidak bisa disebut sebagai karyawan lama, tapi juga bukan termasuk orang baru. Dia hanya berada di tengah-tengah yang keberadaannya masih sering tak terlihat. Tiga tahun waktunya lebih banyak disuruh membeli kopi dan makan siang daripada bekerja seutuhnya. Agak menyedihkan, tapi memang begitulah dia melakoni perannya selama ini. Selalu memasang senyum ceria di depan sang ayah hanya untuk menunjukkan bahwa dia menikmati hidup dan menjalani segala hal dengan baik, tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun.

"Ani, kenapa selalu hanya aku yang disalahkan? Baekchan sunbae yang kerjaannya cuma menyuruhku saja tidak pernah dimarahi." Mula-mula Chaeyeon menghampiri sebuah pohon ceri, lalu berbicara di depannya. Kaki yang dibalut Converse hitam menendang bagian akarnya yang menggumpal, menyembul dari balik jalan setapak yang dilapisi paving.

"Untuk sementara, biar Kang Eunbi yang mengambil alih pekerjaanmu. Kau boleh bersenang-senang dan menyumpahi orang sampai mulutmu berbusa." Dengkusan Chaeyeon keluar. Kini ganti tangan kanannya yang teracung, memukul udara peralihan musim panas ke musim gugur. "Astaga, aku tidak percaya dia akan mengatakan itu," imbuhnya.

"Di usianya itu, dia seharusnya sudah berkencan dengan banyak wanita. Menyebalkan. Kuharap aku tidak menikah dengan pria sejenis dia." Sambil melanjutkan berjalan, mulutnya masih sibuk mencerca pria bermarga Nam tersebut.

"Biasanya yang berkata begitu akan berakhir dengan pria seperti itu."

Suara seseorang berhasil membuat langkah kaki Chaeyeon berhenti. Di antara lalu-lalang orang-orang yang bersinggungan dengannya, dia berharap kalau itu bukan karyawan YBS. Bisa mampus riwayatnya.

"Apa katamu?" Chaeyeon refleks menoleh ke kanan. Tidak ada orang. Kepalan di tangan sudah disiapkan. Ia memutar kepala ke kiri. Barulah ia menemukan presensi seorang pria yang berjalan santai sehabis menyeberang jalan. Sekarang orang itu berdiri menjulang di sebelahnya dengan tangan menggenggam sekantong plastik bir kemasan kaleng. Sebelahnya lagi dimasukkan saku hoodie tebal polos warna abu.

"Oh? Kim Mingyu-ssi?"

"Sepertinya kau punya banyak waktu luang untuk menyumpahi orang lain, Jung Chaeyeon-ssi?" Mingyu berkata santai sambil tetap berdiri pada posisinya yang sok keren.

"Aku tidak menyumpah," bantah Chaeyeon cepat. Matanya melemparkan tatapan nyalang. Yang ditatap hanya memberikan senyum miring tipis—hampir-hampir tak kentara bila dilihat sekilas.

"Kau barusan melakukannya."

"Tidak." Chaeyeon bersikeras. Mingyu tak membalas. Laki-laki itu hanya mengangkat bahu singkat, sebelum melanjutkan langkahnya. Chaeyeon langsung mengejar dengan agak terbata. Pasalnya langkah Mingyu terlalu lebar untuk bisa disamakan.

"Tunggu dulu. Kau mau ke mana?"

"Pulang." Mingyu membalas tanpa menoleh. Fokusnya lurus pada trotoar yang ramai.

"Kemarin kau masih membawa ponselku, bukan? Sekarang, kembalikan padaku." Seolah baru ingat, Chaeyeon cepat-cepat mengutarakan maksud dan tujuannya mampir ke toko bunga tempat laki-laki itu bekerja.

"Aku tidak membawanya."

"Aku melihatmu memasukkannya di saku."

"Maksudku, aku tidak membawanya hari ini." Mingyu mengoreksi. Langkahnya lebih cepat. Gadis di sampingnya masih berusaha menyamai.

"Aku tidak mau tahu. Kembalikan. Aku tidak bisa hidup tanpa ponselku." Tangan Chaeyeon terjulur, meminta benda yang dimaksud.

"Tapi sekarang kau masih hidup tanpa ponselmu," celetuk Mingyu. Dia sudah berhenti. Berhenti mendadak, lebih tepatnya. Ia memutar kepala, menoleh pada Chaeyeon yang tak bisa mengantisipasi pergerakannya sendiri. Alhasil, gadis itu harus mundur agar bisa berdiri berdampingan dengannya.

"Apa?" Chaeyeon mulai jengkel berbicara dengan Mingyu. Laki-laki yang terlihat ramah itu ternyata lebih menyebalkan dari yang dia kira.

"Besok akan aku kembalikan," final Mingyu. Dia kembali melanjutkan jalan yang sempat terjeda sejenak.

"Tidak bisa. Ayo kita ke rumahmu, dan aku bisa mengambil ponselku."

"Tidak mau."

"Ya."

Chaeyeon meraih lengan Mingyu yang padat dan kekar. Namun berhasil dilepaskan oleh Mingyu dengan cepat, lalu kembali berjalan tanpa menghiraukan seruan Chaeyeon.

Seolah tak kehabisan akal, kini Chaeyeon beralih meraih kantong plastik berisi beberapa kaleng bir dari tangan Mingyu. Dia mengembalikan lagi usai mengambil satu kaleng, membuka, lalu meneguknya seperti orang kesetanan. Melihat itu, Mingyu hanya mengeluarkan desis dan decakan tak percaya.

"Apa yang kau lakukan?"

"Mengambil birmu." Chaeyeon membalas sambil menyeka sisa bir yang meluber di bibir. Mingyu tak menanggapi lagi. Setelah menggeleng-geleng, dia pergi begitu saja.

"Hei, tunggu dulu. Kau mau ke mana?"

"Pulang."

"Cih, kau mau pulang, tapi aku tidak boleh mampir untuk mengambil ponselku. Bukankah itu namanya keterlaluan?"

"Kau bisa memakai ponselku."

"Lupakan. Kau laki-laki menyebalkan."

Chaeyeon tak mengikuti Mingyu lagi. Dia berhenti dengan kedua tangan menyilang di dada sambil cemberut. Gara-gara itu, Mingyu justru meloloskan napas sebelum berbalik demi menghampiri gadis tersebut. Terpaksa. Dia hanya terpaksa. Tidak lebih.

"Kenapa kemari?" Chaeyeon mendelik tanpa berniat mengenyahkan tampang cemberutnya.

"Aku tidak ingin kau diam-diam menyumpahiku," balas Mingyu asal.

"Karena kau makin menyebalkan, aku akan mengambil birmu satu kali lagi." Tanpa persetujuan, Chaeyeon meraih kantong plastik yang dibawa Mingyu, mengambil, dan meminumnya seperti tadi. Mingyu sudah tak bisa memberikan reaksi apa pun. Dasar gadis gila.

"Ah, menyegarkan. Seharusnya memang begini aku menjalani hidup." Wajah cemberutnya kini telah berganti dengan senyum semringah. Mingyu sampai tak percaya dengan ekspresi itu. Gadis ini terlalu unik untuk hidupnya yang terlalu normal.

"Kim Mingyu-ssi, kau ada waktu luang?" tanya Chaeyeon setelah memastikan tak ada sisa satu tetes pun bir di kaleng.

"Kenapa?"

Chaeyeon tak langsung menjawab. Dia meraih lengan besar Mingyu, menyeretnya ke suatu tempat. Raut semringah masih terpatri di wajah. Sepertinya dia mulai terpengaruh dengan kadar alkohol yang telah masuk ke tubuh. Rona kemerah-merahan menyembul di pipi.

"Hei, lepaskan!" Mingyu berusaha mengenyahkan tangan Chaeyeon darinya. Namun tak berhasil. Gadis itu justru menariknya makin kencang. Terbata, dia mengikuti langkah Chaeyeon yang berjalan setengah berlari.

Sampai di tempat yang dituju, barulah Chaeyeon melepas tautannya dengan Kim Mingyu. Laki-laki itu sudah menggerutu dan mengeluh karena tangannya ditarik terlalu kencang.

"Aku hanya ingin menghirup udara segar Sungai Han." Chaeyeon menempatkan bokongnya pada sebuah undak rendah yang di depannya tersuguh aliran tenang Sungai Han.

Mereka berada di Hangang Park. Kelap-kelip lampu mulai menghiasi. Gedung-gedung tinggi berdiri kukuh di seberang. Namsan Tower yang agung juga terlihat, bersanding dengan Gunung Bukhan yang tertutup kabut. Hampir setiap saat, taman ini selalu terlihat ramai, atau setidaknya rutin didatangi pengunjung. Entah pagi, siang, sore, maupun malam. Meski tidak ramai, tempat ini akan selalu menyenangkan.

"Ah, menyenangkan sekali." Chaeyeon merentangkan tangan, mengisi paru-parunya dengan udara segar sebanyak mungkin. "Bisa aku minta birmu lagi? Kau masih punya banyak, bukan?"

"Kau sudah mabuk." Tentu Mingyu tak mau repot-repot menggendong Chaeyeon saat pulang nanti.

"Pelit sekali. Padahal aku hanya minta satu."

"Kau sudah menghabiskan dua kaleng bir."

"Aku tidak menyangka, seharian ini aku hanya bertemu laki-laki menyebalkan. Semua menyebalkan." Chaeyeon berkata dengan wajah sengaja dibuat lebih memelas. Tentu agar Mingyu jadi kasihan, lalu memberinya bir lagi. "Apa gunanya punya wajah tampan kalau menyebalkan?" imbuhnya. Telinga Mingyu jadi gatal sendiri.

"Baiklah, kau boleh mengambilnya." Terpaksa dia menyerahkan sekaleng bir kepada gadis aneh yang kini sudah menampilkan ekspresi senang. Astaga, yang benar saja.

"Kau tahu, Mingyu-ssi. Duduk sambil menikmati bir di tepian Sungai Han adalah hal yang luar biasa." Chaeyeon kembali mengoceh. Mingyu memilih tak peduli dan menikmati waktunya sendiri mengagumi pemandangan di depan matanya tersebut.

"Setelah ini aku akan pulang. Kau juga harus pulang, Jung Chaeyeon-ssi."

"Kau tidak minum?"

"Tidak."

"Lalu kenapa kau membeli bir sebanyak itu?"

"Geunyang."

Kekehan samar tercetak. Chaeyeon sudah mulai terbiasa dengan sikap Mingyu. Dia cukup bisa menyesuaikan setelah beberapa kali bertemu. Kesimpulan yang dapat ia ambil : seorang Kim Mingyu kadang manis—saat berada di toko bunga, kadang juga menyebalkan—seperti sekarang.

"Kau bisa memberikannya padaku kalau begitu. Hari ini aku mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan. Aku harus menjernihkan kepalaku."

"Alkohol tidak menyelesaikan apa pun. Jadi, berhenti minum." Mingyu mulai merapikan pakaian, bersiap pulang—pulang yang sesungguhnya tanpa ditunda-tunda lebih lama. Melihat itu, Chaeyeon langsung berdiri. Hendak mengikuti Mingyu bila sewaktu-waktu laki-laki itu berniat meninggalkannya diam-diam.

Tepat saat Chaeyeon berdiri, sesuatu melesat, melewati samping wajahnya dengan teramat cepat. Detik berikutnya, terdengar suara ambruk tepat di belakang dia dan Mingyu berada. Seorang pria terkapar dengan kepala berlubang. Darah mengucur deras, menggenangi sekitar. Chaeyeon refleks memekik sambil menutup mulut. Mingyu tak kalah terkejut. Netranya awas melirik sekitar. Jiwanya sebagai K langsung bekerja. Jerit tertahan segera bersahut-sahutan saat ada lebih banyak orang yang berkerumun.

Melihat wajah Chaeyeon berubah pucat, Mingyu buru-buru menarik gadis itu agar menjauh. Efek alkohol yang sempat bersemayam seolah luruh. Gadis itu tak berkutik, memilih mengikuti Mingyu dengan tubuh berkeringat dingin.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Mingyu, usai memastikan bahwa mereka jauh dari kawasan Hangang Park yang ramai. Bahkan kini suara sirine bersahut-sahutan, memenuhi sepanjang pendengaran.

"Apa yang baru saja terjadi?" serak gadis itu.

"Ayo pergi dari sini." Mingyu kembali menarik lengan Chaeyeon yang masih dingin. Tangan gadis itu gemetaran. Ada genangan kecil di pelupuk mata. Mingyu menggenggamnya lebih erat, berusaha memberikan rasa aman dan tenang.

"Mingyu-ssi ...." Suaranya bahkan ikut gemetaran.

"Tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja. Kau tidak terluka, 'kan?"

Chaeyeon menggeleng patah-patah. Syok masih mengambil alih kesadarannya. Pemandangan tadi terlalu mengejutkan. Mengetahui bahwa peluru tadi melesat melewatinya membuat Chaeyeon lemas. Kakinya tak sanggup berdiri tegak.

"Ayo, kuantar pulang."

•ㅅ•

2021년 9월 8일

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro