#7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mingyu menggerakkan jemari pada pinggiran cangkir teh yang belum berkurang sedikit pun. Aroma yang semula menguar hanya tersisa samar-samar. Hangatnya telah berkurang hingga menyentuh persen paling rendah. Teh itu telanjur dingin. Minatnya untuk menyesap minuman itu belum hadir. Lagipula, dia tidak datang jauh-jauh kemari hanya untuk memesan secangkir teh krisan.

Pandangannya diedarkan sedikit ke arah sudut dekat pintu. Seorang pria bertubuh gempal duduk di sana. Menikmati seporsi daging yang dipanggang seorang diri. Dari cara makannya, Mingyu seperti bisa menyimpulkan kalau pria itu memiliki selera makan yang tinggi. Hanya melihat saja, dia sudah kenyang.

Usai meloloskan napas panjang, Mingyu sesekali membuka halaman buku tebal yang sengaja dibuka secara acak demi menyempurnakan penyamaran. Kacamata andalan bertengger di hidung. Dia sudah seperti mahasiswa rajin yang berprestasi dan gemar mengendap di perpustakaan kampus.

"Kau sudah bertemu targetmu?" Suara Wonwoo pada earphone yang terpasang di telinga terdengar.

"Aku sedang melakukannya." Mingyu sedikit merendahkan pandangan, sementara tangan menutupi bagian mulut. Dia berbisik sepelan mungkin untuk meminimalisir orang lain mendengar pembicaraannya dengan Wonwoo meski itu tidak mungkin. Duduk di kursi paling sudut dan dekat jendela memang selalu menguntungkan.

"Uangnya tidak terlalu besar daripada sebelumnya. Tapi kuharap kau tidak melakukan kesalahan sekecil apa pun. Aku tidak ingin jejakmu diketahui hanya karena kau ceroboh."

Mingyu hanya bergumam kecil. Tak berminat mengeluarkan lebih kata-kata untuk menanggapi ucapan Wonwoo. Laki-laki itu sepertinya sedang berbicara sambil menyantap sesuatu. Suara kunyahannya membuat telinga tidak nyaman.

"Sebaiknya kau telan dulu makananmu sebelum bicara." Mingyu mencibir. Wonwoo tergelak singkat, lalu terdengar air yang diteguk dengan irama teratur. Decakan Mingyu tak bisa ditahan. Bisa-bisanya di saat seperti ini laki-laki itu sibuk makan dan minum. Padahal secangkir teh di hadapannya ini belum tersentuh sama sekali.

"Kau yakin menyuruhku membereskan orang ini? Dia tidak terlihat mencolok. Orang seperti apa dia?" Mingyu berujar. Fokusnya sudah dialihkan pada pria tambun yang masih sibuk menyantap makanan.

"Kali ini memang bukan orang yang memiliki latar belakang spesial. Dia hanya orang biasa yang suka makan dan mabuk-mabukkan."

"Kenapa aku harus melenyapkannya?"

"Karena itu pekerjaanmu."

Mingyu berdecak. Menahan diri agar tidak berbicara dengan suara lantang di kafe yang ramai pengunjung tersebut dan berakhir mengundang banyak atensi.

"Aku bertanya serius," tegasnya. Dari seberang, Wonwoo tak lagi memiliki minat untuk melempar candaan. Nada bicara Mingyu yang seperti itu sudah bisa diartikan bahwa mereka perlu berbicara secara serius.

"Dia menyiksa istrinya sampai koma dan membunuh bayi mereka yang baru lahir. Anak sulungnya tidak terima dan mengirimku sejumlah uang untuk mengurusnya. Dan begitulah selanjutnya dia akan mati."

"Manusia zaman sekarang mengerikan." Mingyu berkata pelan. Pandangannya masih tak lepas pada pria sasarannya tersebut.

"Sudah, lakukan saja tugasmu. Kau biasanya tidak memikirkan hal-hal seperti itu. Tapi hari ini mendadak banyak bicara. Kau yang jauh lebih mengerikan, K."

"Kau yang dari tadi banyak bicara, Jeon." ketus Mingyu. Celotehan Wonwoo segera terdengar. Untungnya dia tak peduli. Matanya ikut bergerak ketika pria tadi terlihat memanggil seorang pelayan dan memesan beberapa porsi tambahan. Kali ini barulah Mingyu meragukan keberadaannya sendiri duduk di sini dan menyamar sebagai seorang mahasiswa. Mengapa dia harus bersusah payah menonton orang makan selama berjam-jam? Menyebalkan.

"Kau tahu, kakakmu semalam menghubungiku. Dia bertanya tentang dirimu." Wonwoo kembali berujar setelah jeda beberapa saat. Tahu bahwa bahasan seperti ini mungkin saja tidak menyenangkan, dia sudah mengantisipasi bagaimana Mingyu akan bersikap.

"Kau tidak perlu menanggapinya."

Dan Wonwoo memang sudah memperkirakan balasan Mingyu akan seperti itu.

"Dia menanyakan keadaanmu, Bodoh."

Mingyu menyentuh cangkir teh yang diabaikan sejak tadi, lalu dalam sekali teguk dia menghabiskan teh krisan tersebut. Selain pembicaraan mengenai sang ayah, hal yang membuat amarahnya ingin meletus adalah dengan menyebut-nyebut soal kakaknya. Memang, percakapan intim yang menyenangkan sering kali ia harapkan, tetapi ia tak pernah benar-benar berharap soal itu. Sebab semuanya terlalu mustahil terjadi.

"Aku tidak punya waktu untuk membicarakan ini. Aku harus pergi." Mingyu berusaha menyudahi pembicaraan menyebalkan tersebut dengan tak lagi memperpanjang percakapannya dengan Jeon Wonwoo. Kaki jenjangnya sudah bersiap ketika sang target beranjak dan menghampiri meja kasir sambil merogoh isi dompet.

"Astaga, baiklah. Aku mengerti. Kalau—"

Tanpa aba-aba Mingyu melepas earphone, lalu ikut berdiri usai membawa tas dan buku tebal yang semula digelar di meja. Sejenak dia bisa membayangkan bagaimana Wonwoo akan mengomel sambil mengumpati dirinya. Namun sekali lagi, ia tidak peduli. Kakinya ikut mendekat menuju meja kasir dengan gestur senatural mungkin.

"Ji Eun, kau ingin memesan apa?"

"Aku sedang tidak ingin memesan apa pun."

Mingyu menoleh sebentar ketika dua perempuan mengambil tempat duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Dilihat dari penampilannya, mereka pasti masih mahasiswa. Dan karena itu pula dia baru menyadari bahwa kawasan ini masih terlalu dekat dengan area kampus. Kampus ternama yang menempati tiga jajaran kampus teratas di Korea Selatan, Yonsei University.

"Ayolah, jangan seperti ini. Kau boleh memesan apa pun. Aku yang akan mentraktir." Salah seorang dari mereka kembali bicara. Garis wajahnya mengagumkan. Mingyu memperkirakan kalau gadis itu bisa populer gara-gara paras ayunya.

"Tapi aku memang tidak ingin memesan apa pun, Krystal." Gadis satunya berkomentar. "Setelah ini aku masih ada kelas. Jadi, bisakah kau cepat sedikit? Lagipula kenapa juga kau tiba-tiba ingin makan di luar."

"Ya ampun, ini tidak akan lama, Ji Eun-ah."

Mingyu bergeser maju. Dia sengaja memesan americano dingin demi bisa berdiri di dekat sang target. Usai membayar, dia langsung bergegas hingga tak sadar bahwa seseorang sedang berjalan tepat di depannya. Benturan kecil terjadi. Gadis itu, gadis yang memiliki garis wajah mengagumkan, nyaris terjatuh bila tangan Mingyu tak sigap menahannya.

"O-oh, terima kasih," katanya.

Mingyu melepas tautan itu dengan cepat, lalu memunguti bukunya yang sempat terjatuh. Tanpa membalas, dia segera mengambil langkah panjang. Dia bisa kehilangan target bila terlalu lama di sana.

"Aku belum pernah melihatnya. Apa dia mahasiswa di kampus kita?"

"Aku tidak peduli. Kau cepat pesan, sebelum aku berubah pikiran."

Mingyu bisa mendengar lamat-lamat kalimat itu saat punggungnya semakin jauh dan hilang di balik pintu.

•ㅅ•

Seodaemun menyimpan banyak kenangan masa kecil Mingyu yang lumayan menyenangkan. Saat dunia belum berubah kejam seperti sekarang, segalanya terasa bisa dilalui tanpa kendala. Atau mungkin dunia memang sudah kejam sejak dulu. Hanya saja dia terlalu muda untuk menyadari.

Sekarang Seodaemun tampak asing. Udaranya tak seakrab dulu. Semenjak sang ayah meninggal, dia sudah menghapus tempat ini dari daftar kenangan. Apalagi dia tahu—menurut informasi Wonwoo—bahwa kakaknya memilih tinggal di sini. Dengan alasan seperti itulah Mingyu akhirnya memutuskan untuk menyingkirkan segelintir memori lama tentang Seodaemun agar tak meraup nyeri terlalu banyak. Ia hanya akan menyelesaikan misi, setelah itu kembali ke Yeouido secepat mungkin.

Mingyu menaikkan masker hingga menutupi sebagian wajah. Topi hitam polos bertengger di kepala. Penampilan mahasiswanya telah berganti. Tasnya diendapkan di sebuah tong sampah di sudut jalan. Tak ada kacamata. Tak ada buku tebal. Hanya ada sepucuk pistol dan pisau lipat yang tersembunyi di balik saku. Kedua tangannya dibungkus sarung tangan berbahan kulit. Langkahnya dibawa semakin cepat, menyelinap di antara gang kecil yang tak terurus. Sesekali targetnya berhenti, menengok ke belakang, lalu menambah kecepatan.

Pria itu mulai lari terbirit, membawa serta kantong plastik berisi beberapa botol soju. Badannya yang gempal membuat pergerakkannya sedikit lambat. Mingyu hanya berjarak kurang dari dua puluh meter. Tubuhnya bergerak gesit, mengikuti si pria yang sepertinya sudah terlalu sadar kalau sedang diikuti. Lengah sedetik, pria tadi tahu-tahu menghilang di balik tembok bangunan yang dihiasi sulur-sulur tanaman, duduk di sana sambil memeluk botol-botol soju. Saat presensi Mingyu muncul di depannya, balok kayu langsung menghantam punggung. Beruntung, Mingyu bisa membaca situasi. Jadi, pada pukulan kedua dia bisa menghindar.

"Siapa yang menyuruhmu?" tanya pria itu. Balok kayu digenggam erat, diacungkan ke depan bila sewaktu-waktu Mingyu menyerang.

"Kau tidak perlu tahu," balas Mingyu singkat. Kakinya maju perlahan. Satu jegalan berhasil membuat pria tambun itu merosot. Botol soju jatuh berhamburan, menggelinding ke segala arah. Tegopoh-gopoh tangannya meraih balok kayu, tetapi Mingyu segera menendang kayu itu jauh-jauh lalu melayangkan pukulan beberapa kali.

"Berengsek kau!"

"Kau yang lebih berengsek. Pria macam apa yang melukai istri dan membunuh anaknya sendiri? Huh?" Kini bukan pukulan yang diacungkan, melainkan sebuah pistol. Pria tadi berubah pucat. Matanya tidak fokus karena konsumsi alkohol yang berlebihan. Tubuhnya yang masih terduduk di aspal bergerak mundur, gemetaran.

"Tolong jangan bunuh aku."

Mingyu tak menghiraukan. Dia tetap bergerak maju sebelum pria di depannya itu tiba-tiba tertawa, membuat Mingyu jengkel sendiri. Setelah beberapa saat, Mingyu baru mengerti arti dari tawa tersebut. Pria itu mengacungkan sebuah pecahan kaca berukuran besar yang berserak di sekitar tempat sampah, lalu berusaha melemparnya ke arah Mingyu. Saat Mingyu sibuk menghindar, sebuah pistol muncul dari balik saku celana. Satu peluru berhasil merobek lengan jaket Mingyu. Cairan merah langsung merembes, membuat sebuah pola di sana.

Mingyu menahan geraman. Satu peluru melesat. Bukan ditujukan untuk pria tersebut, tetapi sengaja dibelokkan ke arah lain, menembus tong sampah yang ada di sana. Baru saat fokus pria tambun itu terpecah, Mingyu melesatkan peluru kedua dan berhasil mengenai tangan, sehingga pistol yang digenggam si pria segera jatuh. Ia memungutnya cepat. Kali ini, wajah pria itu telah seutuhnya memucat. Tidak ada senjata yang bisa melindungi.

"Kau mau bertanggung jawab soal lenganku?" tanya Mingyu. Kini ada dua pistol yang tergenggam di tangan. Orang di depannya cuma bisa menggeleng-geleng tanda meminta ampun. Tangannya sudah berdarah-darah.

"Kumohon. Aku akan bersikap baik setelah ini. Jadi, kumohon lepaskan aku. Aku bisa membawamu ke rumah sakit untuk mengobati lukamu."

Mingyu berdesis tak acuh. Kakinya bergerak makin dekat, sedangkan pistol andalannya sudah menempel di pelipis pria tersebut.

"Memohonlah di akhirat nanti. Aku hanya perlu melenyapkan sampah sepertimu," final Mingyu. Detik selanjutnya, satu peluru berhasil menumbangkan pria tambun di hadapannya. Pistol yang dipungut digenggamkan di tangan, seolah-seolah pria itu berusaha melenyapkan dirinya sendiri usai membuat sang istri koma dan bayinya tewas. Botol soju yang masih bisa dijangkau dibuka, lalu menumpahkan semua isinya di pakaian si pria.

Misi selesai.

•ㅅ•

Hai, hailoo.

Kali ini aku nyulik Krystal Jung, tokohnya Quintis8, sama Lee Ji Eun, tokoh dari putriaac sebagai cameo. Kebetulan Kiming lagi ada misi di sana. Jadi sekalian deh. Hihi.

Jangan lupa mampir di lapak mereka juga, ya!

2021년 9월 15일

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro