꒰ 3 ꒱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ʚ n o w p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄   ◃◃   ⅠⅠ   ▹▹   ↻
I Love You So Much, You'll Know It (A Love So Beautiful OST) - Cover by Ysabelle

ʚ ɞ

Mataku teramat enggan untuk mengerjap barang sejurus. Bahkan sekadar menghela napas saja terkadang lupa–omong-omong soal napas, yah, aku tengah ambil-buang napas saat ini, napasku jadi manual. Tanpa sadar kepalaku terus bergerak maju dengan mata yang kian melebar.

Aku tak ingin kehilangan momen. Rasanya amat disayangkan jika aku mengalihkan atensi untuk mengacuhkan hal lain. Sejenak, aku lupa kalau aku harusnya di pinggir lapangan, meneriakkan sorak-sorai sambil menggerakkan tubuh mengikuti ritme lagu dari pelantang suara, mengikuti instruksi pelatih, mengulang gerakan demi gerakan hingga ia berkata "Istirahat!"–yang mana masih belum terucap dalam dua jam belakangan. Ah, kecuali tadi, saat perutku mendadak kram, kepalaku diserang pusing yang tak terelakkan, dan kerongkonganku meronta minta dibasahkan. Sang pelatih langsung saja menyuruhku istirahat di tribun, menenggak sejumlah air, dan duduk berlunjur.

Saat itu teman-temanku terlalu panik untuk iri menghadapi kenyataan bahwa aku satu-satunya orang yang diberi kebebasan untuk tidak latihan sementara. Mereka menelepon salah seorang adik kelas yang kebetulan posisinya sama denganku di timnya. Agak sedikit drama, tadi adik kelas itu tak mengangkat-angkat saat ditelepon, baru diangkat saat sudah sampai rumah, tapi syukurlah dia mau menyempatkan diri untuk ke sini, ke gelanggang olahraga utama di kota ini–sekolah kami memang selalu niat dalam hal seperti ini.

Besok tim futsal bakal bertanding memperebutkan trofi kemenangan melawan tim futsal dari sekolah lain. Minggu lalu tim sekolah kami berhasil mengalahkan SMA sebelah, dan aku ada di sana saat menyaksikan detik-detik kemenangan mereka. Berawal dari Rizella dan Kanya yang mengajak aku dan Oliv menyusup ke sini selepas kami latihan cheerleader, ikut salah satu teman OSIS mereka yang kebagian seksi dokumentasi.

Ngomong-ngomong, tim cheerleader baru akan bertanding besok, hari ini semacam gladiresik. Dan hal yang menyebabkan sang pelatih menyuruh kami latihan di sini adalah untuk menyemangati anak-anak futsal yang sedang berlatih, meski akhirnya kami menjalani kepentingan yang sama tapi berbeda. Usulannya itu agak aneh, tapi aku mengamini saja. Sempat ada protes-protes yang mengatakan bahwa mereka takut kegebok bola, kemudian ... mereka menyetujui ini semua demi aku, aku tak berbohong.

Ah, kembali lagi ke awal. Mungkin kalian sudah menerka-nerka mengenai siapa atau apa yang kuperhatikan hingga sedemikian terpana. Ya, itu dia. Sesosok laki-laki bertubuh kurus, kulit putihnya yang kini dihiasi butiran peluh, dengan jersey kebanggaan sekolah yang melekat di tubuhnya, serta rambut yang lepek dan hampir menyentuh mata hingga mengharuskannya untuk memakai bando. Mungkin deskripsi yang kuberikan itu sama sekali tak menarik, tapi, kau tahu lah orang kasmaran.

Aku tak jemu memerhatikan detail gerak-geriknya, yang berefek pada senyumku yang akan terus mengembang, atau bahkan meloloskan kekehan kecil. Jantungku seakan ditempa tatkala pemuda itu menyugar rambutnya yang bermandikan sinar lampu, ketika ia memamerkan kilau geliginya hingga sepasang lesung tercetak. Aku ... diabetes.

Terkadang aku mendapati diriku telah menggigit salah satu telunjukku, bahkan kini aku baru sadar telah menggigiti bibir bagian bawahku. Lalu saat menyadari hal itu aku merasakan sebuah tepukan pelan di bahu. Kepalaku menoleh, kemudian menangkap sosok bertubuh mungil dengan keringat mengucur deras dari pelipisnya. Ia menggunakan bahuku untuk menopang badannya yang kepayahan buat duduk.

"Oh, Oliv, istirahat?"

Belum sempat merespons ucapanku, ia segera menyambar botol minumnya, membuatku merasa ada keharusan untuk ikut minum–mengingat aku tumbang dikarenakan dehidrasi parah tadi.

Tak menunggu jawaban dari Oliv, aku melihat teman-temanku yang lain ikut naik ke tribun, menyuarakan keinginan untuk mandi di siang bolong.

Oliv mengangguk dengan mulut yang masih menggembung dipenuhi air. "Iya, udah baikan, An?" tanyanya.

Aku mengangguk, kemudian menjawab, "Um, kayaknya, sih, udah."

Merasa tak enak karena memunggungi Oliv dan menempati hampir tiga kursi sekaligus sementara temanku yang lain banyak yang duduk di undakan, aku memindahkan kaki dengan gerak lambat, dan kontan merasakan sedikit nyeri di perut–sedikit, jauh berkurang ketimbang sebelumnya. Aku menaruh kaki di bawah.

Seketika beberapa teman mendatangiku untuk bertanya, "Udah mendingan?"

Lantas kujawab, "Yah, mendingan dari yang tadi, sih, Git."

Lalu aku teringat sesuatu. "Aqila!" Gadis itu beserta beberapa orang di dekatnya menoleh. "Makasih ya, udah gantiin aku!"–ada jeda beberapa detik sebelum aku melanjutkan–"Maaf, maaf banget ngerepotin," ucapku penuh penekanan pada dua kata maaf. Aku menyatukan kedua telapak tanganku, membentuk gestur maaf.

"Nggak apa-apa kok, Kak Anais." Ia tersenyum, nada bicaranya ramah. "Udah mendingan, Kak?" tanyanya.

"Udah, kok," jawabku, "Aku nggak apa-apa," imbuhku, meyakinkan.

Sesuatu berkelebat dalam pikiranku. Kram perut ....

"Qila, hari ini tanggal berapa?" tanyaku.

Gadis itu memencet tombol home yang ada di ponselnya, lalu menjawab, "Tanggal 11, Kak." Ia kembali menatapku. "Emang kenapa?"

Sudah masuk pertengahan bulan toh ....

"Oh, nggak apa, makasih ya," responsku.

Lalu pelan-pelan aku menepuk pundak Oliv. Cewek itu menegok, alisnya terangkat.

"Temenin aku, yuk!"

Kami beranjak dari tribun ke bawah tepat saat para anak futsal tengah menyudahi latihan mereka untuk sementara. Semua laki-laki itu hendak bergegas naik ke tribun.

Kamila dengan sigap menghampiri Rivan, pacarnya. Dan beberapa cowok-cowok tersebut sudah naik ke atas, bergabung bersama teman-temanku.

Kaki kami menyentuh lantai tepat saat ... dia ada di sana di depanku, di depan kami berdua.

Kacaulah detak jantungku, seketika ada perasaan geli di dalam perutku, seakan ada kupu-kupu yang terbang-terbang di dalam perut. Mendadak aku lupa cara menatap wajah orang, sekaligus timbul keinginan yang menggebu untuk menatap tiap sudut wajahnya. Mati-matian aku memalingkan pandangan, kuharap tak ada yang menyadari keanehan ini.

"Oliv, ya?" tanya lelaki itu.

"Iya, kenapa?" tanya Oliv.

"Tadi Pak Aris manggil," ucapnya, suaranya ... khas lelaki baru puber, tapi cukup membuatku kesemsem tiap ia membuka mulut.

"Oh, oke, makasih, Abi."

Cowok itu melenggang ke atas, meninggalkan kami.

"An." Tak kusadari aku tengah terdiam dari tadi, memandang kosong seisi lapangan futsal. "Ayo," ajaknya.

Ada perasaan aneh menyambangi hati kala mengetahui ia tak menyapaku, hanya berbincang sejenak dengan Oliv, menyampaikan pesan dari pelatih kami. Yang kurasakan seperti ... kecewa, sedih, tapi juga ada senang yang ganjil karena ia kemungkinan tak menyadari raut wajahku yang jelas mengundang kecurigaan.

──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

Minggu, 1 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro