. . . . .

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah mobil berwarna gelap berhenti di suatu rumah. Kedua pintu yang berada di depan mobil terbuka bersamaan. Seorang pemuda menatap dalam-dalam rumah yang ada di depannya. Kedua mata hitamnya memancarkan kesedihan yang mendalam.

"Kei, kau ambillah barangmu dan kedua orang tuamu yang ingin kau simpan. Paman akan mengambil beberapa alat yang lainnya," kata seorang pria di samping pemuda itu.

Pemuda yang di panggil Kei itu mengangguk, membiarkan pamannya jalan terlebih dahulu. Ia mulai menggerakkan kakinya langkah demi langkah, bersamaan dengan itu beberapa memori kembali berputar.

#flashback On.

"Huh? Ibu dan ayah ingin pergi ke mana?" tanya Kei yang tak sengaja melewati ruang tengah.

"Uh... Kami hanya...." ibunya menatap ayahnya ragu.

"Kami hanya ingin mengunjungi nenekmu," kata ayahnya sambil tersenyum.

"Itu benar, kami akan menghabiskan beberapa hari di sana. Tidak masalah bukan jika kau berada di sini sendirian?"  tanya ibunya dengan raut khawatir.

"Aku tidak ada masalah, tetapi mengapa kalian tidak membawa baju ganti? Hanya membawa tas kecil?" tanya Kei kembali.

"Karena di sana sudah ada beberapa baju ganti kami yang tertinggal di tempat nenekmu," kata ibunya cepat dengan senyum lebar.

Kei yang sempat curiga menghapus pikiran negatifnya itu. "Aku mengerti, berhati-hatilah," kata Kei dengan senyuman di wajahnya.

Ibunya dan ayahnya saling bertatapan yang membuat Kei kembali bingung.

Ibunya menepuk tangannya dengan senyuman lebar, "Bagaimana jika ibu memasakkan sesuatu agar ibu tak perlu khawatir dengan makanmu hari ini?" tanya ibunya ceria.

#flashback Off.

Kei mengeratkan genggamannya yang menggenggam ujung jaketnya. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar dan air matanya hampir ingin turun kembali.

Seharusnya ia dapat menahan kedua orang tuanya.
Seharusnya ia sadar akan keanehan sifat kedua orang tuanya.
Itu yang ia pikirkan.

Itu yang ia sesali.

#flashback On.

"Apakah tidak apa-apa jika ibu memasak sekarang?" tanya Kei saat ibunya telah selesai memasakkan nasi dengan beberapa lauknya.

"Tenang saja, nenekmu juga pernah menjadi ibu. Ia pasti akan mengerti, nah ayo makan." Ibunya menyodorkan sendok garpu untuk anak dan suaminya.

Kei memakan sesuap makanan itu.

"Enak?" tanya ibunya was-was.

Kei mengangguk, "Enak seperti biasanya."

"Baguslah!" Ibunya tersenyum lebar. "Kau tau, ayahmu membantu ibu dalam memasak loh. Sudah lama bukan kau tidak merasakan masakan ayahmu?" tanya ibunya dengan senyum lebar.

"Itu benar, sudah lama aku tidak merasakan masakan ayah. Pantas saja ada yang berbeda dari masakan ibu." Kei tersenyum lebar lalu kembali menyantap makanannya.

Saat ia menyantap makanannya, terdengar bisikan percakapan kedua orang tuanya, "Aku merasakan instingku semakin kuat..."

"Kau yakin?"

Kei melirik kedua orang tuanya dan mendapati ibunya mengangguk dengan ekspresi takut.

"Insting mengenai apa?" Kei tahu betul bahwa insting ibunya tidak perlu dipertanyakan keakuratannya.

"Me-mengenai hujan! Iya hujan! Pastikan nanti kau harus mengangkat jemuran saat hujan mulai turun!" kata ibunya yang seperti orang panik.

"O... Ke?" kata Kei ragu.

Seorenya seperti yang dikatakan ibunya, lagit gelap membawa butiran air itu turun tetapi bukan hanya butiran basah itu saja yang dibawa langit gelap itu. Dering telepon rumahlah yang menjadi penyalurnya.

"Apakah ini kediaman keluarga pak Yuusaku?" tanya seseorang di seberang sana.

"Iya... siapa ini?" tanya Kei yang merasakan sesuatu tak beres.

"Maaf, jika saya boleh tau dengan siapa saya berbicara?"

"Saya anak dari pak Yuusaku, Keichi..."

"Begini... saya membawa sebuah kabar bagi anda..."

#flashback Off.

"Kei, ada apa?" tanya pria itu yang melihat keponakannya terdiam di depan kamar orang tuanya.

"Tidak, bukan apa-apa." Kei mulai membuka kamar yang ada di hadapannya.

Kedua matanya tertutup, bersamaan dengan itu ia dapat merasakan nafasnya juga tertahan. Suara pintu yang terbuka membuatnya membuka matanya perlahan. Keadaan yang sama dari yang terakhir kali ia lihat untuk mengucapkan selamat tinggal. Hanya saja kini debu mulai menyelimuti ruangan itu.

Pandangannya menyapu ke seluruh sudut, sembari menahan apa yang ingin keluar dari matanya. Pandangannya tertuju kepada suatu kotak putih di atas meja. Tangannya terulur untuk meraih dan membuka kotak tersebut.

Di dalamnya terdapat dua cincin yang diletakkan berdampingan. Merah dan hijau pucat. Kei menatap kedua cincin itu dalam-dalam. Tak pernah ia sekalipun melihat cincin ini dipakai oleh kedua orang tuanya. Entah apa yang dipikirkannya, ia menutup dan menaruh kotak itu di kantung celananya.

Matanya kembali menyusuri kamar orang tuanya. Pikirannya memerintahkan tangannya untuk membuka lemari atau laci, tetapi tangannya menolak. Tak sengaja ia melihat suatu sudut yang lumayan tersembunyi. Terlihat kain yang kini menutupi sesuatu.

Kei meraih kain tersebut dan terlihat pintu di baliknya. Tangannya tertarik untuk meraih pintu itu dan masuk ke dalamnya. Pintunya tertutup setelah Kei masuk ke dalamnya.

"Kei? Sudah selesai?" tanya sebuah suara yang masuk ke dalam kamar itu.

Paman Kei mencari-cari keponakannya dan tak sengaja mendapati kain yang berada di lantai. Kedua ujung bibirnya tertarik dan membuat lengkungan saat melihat pintu yang telah lama ia tak jumpai.

Kei melihat sekelilingnya, ia mendapati sebuah kamar yang berbeda. Ia berjalan sampai di sebuah pintu, membukanya dan merasakan sesuatu yang tak asing dengan sekelilingnya.

Setelah keluar dari bangunan, ia melihat sekelilingnya yang penuh dengan tanaman hijau. Ia berjalan selangkah demi selangkah sambil terus melihat sekitarnya.

.....

Sementara di sisi lain, di dunia yang sama terdapat lelaki tua dan anaknya yang saling menikmati pemandangan di depannya.

"Ayah yakin ayah kuat?" tanya gadisnya.

Ayahnya tertawa, "tentu saja."

"Ayah sadar umur dong..."

Ayahnya kembali tertawa. "Ayah sadar, dulu ayah pernah menjadi petualang bukan?"

"Petualang yang menanggung nyawa," gumam gadis itu pelan.

"Iya, tetapi kini ayah masih hidup sampai sekarang bukan? Ditambah mempunyai anak secantik dirimu," katanya sambil mengacak-acak rambut anak gadisnya.

"Baik-baik aku mengerti," kata gadis itu sambil menjauhkan tangan ayahnya dari kepalanya.

"Kakak datang!" seru seorang gadis dengan rambut hitamnya yang melayang.

"Heh? Siapa?"

"Benarkah?" tanya lelaki itu bingung.

"Dipastikan itu kakak," katanya sambil melihat ke satu arah tanpa melepaskan pandangannya.

Lelaki itu melihat arah pandangannya diikuti anak gadisnya yang masih kebingungan.

"Aku pergi dulu!" katanya sambil berlalu cepat.

"Tunggu Yang Chi!" tetapi terlambat, gadis yang dipanggil Yang Chi tersebut sudah berlalu jauh.

"Dasar... ia memang tidak akan menua."

"Siapa ayah?" tanya anaknya bingung.

"Keluargamu," kata lelaki itu sambil tersenyum hangat.

.....

Kei masih berjalan, melihat sekelilingnya. Karena bukan berada di hutan ia tak cemas mengenai jalan pulang.

"Buka kotak yang ada di sakumu."

Kei mengalihkan pandangannya dan melihat sesuatu—tidak lebih tepatnya seseorang, perempuan yang menatapnya penuh harap.

"Eh?"

"Buka saja!" katanya kesal.

Dengan gelagapan Kei merogoh sakunya dan langsung membuka kotak putih milik kedua orang tuanya. Dengan ajaib seorang lelaki berambut putih keluar dari salah satu cincin dan langsung memeluk gadis di depannya.

"Kakak..." Dapat dilihat mereka berpelukan sangat erat bahkan gadis itu meneteskan air matanya.

Kei yang melihat itu hanya terdiam dan menatap cincin milik kedua orang tuanya dalam-dalam.

"Bagaimana kabarmu?" tanya lelaki itu sambil mengusap lembut adiknya.

"Kesepian tanpamu," jawab adiknya sambil menampilkan senyum lebarnya.

"Sepertinya kau baik-baik saja," kata lelaki itu sambil tersenyum lembut.

"Lalu dia siapa kak? Mengapa ia dapat membawamu?" tanya adiknya sambil menunjuk Kei yang masih saja diam di tempatnya.

Lelaki berambut putih itu berbalik lalu tersenyum. "Kau Keichi ya?"

Kei hanya mengangguk pelan dengan berbagai pertanyaan di dalam kepalanya.

"Sepertinya waktu berlalu sangat lama. Pertama aku melihatmu saat kau masih bayi sampai kau baru saja berjalan. Ternyata sekarang kau sudah sebesar ini," kata lelaki itu sambil tersenyum penuh haru.

"Em... Maaf..."

"Oh iya, namaku Yinan. Lalu yang ini adalah adikku, Yang Chi. Ibumu yang memberi kami nama."

"M... Begitu..." Kei menundukkan kepalanya mendengar ibunya di sebut.

"Kak... Deva..." perkataannya terhenti saat kakaknya menatapnya seperti memintanya untuk berhenti membicarakan itu.

Yang Chi menunduk, entah mengapa kesedihan kini melingkupinya.

Langkah kaki kini menjadi perhatian mereka bertiga. Tak lama terlihat seorang lelaki tua dan seorang gadis di sebelahnya.

"Aku sudah tidak sekuat dulu," kata lelaki itu sambil menenangkan nafasnya.

"Karena itu jangan memaksakan dirimu," kata gadis itu dengan wajah khawatir.

"Oh Yinan! Lama tak berjumpa," sapa lelaki itu tanpa memperdulikan anaknya sendiri.

"Lama tak berjumpa juga, Devis," sapa Yinan sambil tersenyum.

Kei terdiam melihat lelaki yang dipanggil Devis itu. Wajah dan nama yang mirip seperti ibunya. Pertanyaan demi pertanyaan kembali bermunculan di kepalanya, hanya saja ia terlalu kalut dengan pikirannya.

"Lalu dia?" tanya Devis sambil menatap Kei.

"Dia Keichi," kata Yinan dengan tangan yang memegang kedua bahu Kei yang tersentak karenanya.

Dengan cepat ia menunduk hormat.

"Oh! Keichi! Sudah lama ya. Kei kecil kini sudah tumbuh dewasa. Sifatmu tetap sama seperti ayahmu dan wajahmu semakin mirip dengan ibumu," kata Devis sambil tertawa.

"Tentu saja, karena ia adalah anak mereka berdua." Yinan ikut tertawa.

Sedangkan Kei menatap Yinan yang kini entah mengapa mengambil alih menjadi salah satu orang tuanya.

"Ngomong-ngomong kedua orang tua itu diamana?" tanya Devis setelah selesai tertawa.

Kei tersentak kembali dan menundukkan kepalanya sambil menggenggam erat kotak yang kini telah tertutup itu.

Devis yang melihat itu menatap Yinan yang sebelumnya juga melirik Kei. Kesedihan terpancar dari wajah Yinan yang selalu tersenyum.

Devis mendekati Kei dan menepuk pundak pemuda itu yang membuat kepala terdongkak menatap Devis.

"Entah kau ingat atau tidak, aku adalah saudara kembar ibumu."

Kei terdiam dengan mata yang sedikit lebar. Kini salah satu pertanyaannya telah terjawab.

"Tetapi aku tidak begitu mengetahui semua sifat-sifat ibumu, hanya melihat saat ia disini dan menjalankan kegiatan saja," kata Devis sambil menunjukkan senyum lebarnya yang dibalas senyum kecil oleh Kei.

"Ah, kenalkan ini anakku Jilian."

Gadis yang merasa terpanggil kini tersenyum sebagai sapaan yang dibalas juga senyuman oleh Kei.

Devis mengajak keponakannya ke rumahnya dengan Yinan dan Yang Chi yang masih betah berada di luar tempat mereka.

.....


Seorang wanita menyambut mereka saat telah sampai di sebuah rumah. Kehadiran Kei disambut baik oleh wanita yang dikenalkan sebagai tantenya, Alya.

Walau pertanyaan mengenai kedua orang tua Kei kembali terucap dan terabaikan kini ia telah membulatkan tekadnya.

"Ayah dan ibu telah meninggal."

Semua yang mendengar itu tertegun. Walau mereka tau kenyataan itu hanya dari ekspresi yang dikeluarkan oleh pemuda itu.

"Maafkan kami..."

"Tidak, tidak apa-apa. Kalian mengenal ayah dan ibu sebelum aku bukan? Kalian berhak untuk tau," kata Kei sambil tersenyum sedih.

"Mereka meninggal belum lama," lanjut Kei sambil tertunduk.

Semua tetap terdiam menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut pemuda itu.

Kei menceritakan mengenai hari itu dan penyesalannya. Tubuhnya bergetar karena menyalahkan dirinya sendiri atas ketidak pekannya. Yinan sesekali mengusap pundak Kei yang cukup menenangkannya.

.
.
.
.

"AYAH!!!"

"PERGI SEKARANG!"

"TAPI AYAH!"

"PERGI!"

Dengan berat hati Kei menarik paksa Jilian menjauh dari tempat itu.

.....

Isakan Jilian menjadi lagu kesedihan di antara mereka berdua. Sebuah pohon berdiri dengan tegaknya di belakang mereka dan ditemani angin yang berhembus pelan.

Kei yang tak tau mau mengatakan apa hanya dapat mengelus pelan kepalanya.

"Maaf... aku beban bukan?" tanya Jilian sambil mengusap air matanya.

Kei menggeleng pelan. "Aku tau rasanya, kau boleh menangis sampai melegakan perasaanmu," kata Kei sambil tersenyum.

Jilian tertawa pelan sambil mengusap air matanya yang terus mengalir. "Jadi begini ya rasanya mempunyai kakak laki-laki?"

"Kau tidak menyukainya?" tanya Kei.

Jilian menggeleng, "aku sangat menyukainya." Jilian menunjukkan senyum lebarnya walaupun air mata terus saja mengalir.

Kei tersenyum melihat ekspresinya yang kian membaik.

"Bolehkah aku memelukmu?" tanya Jilian.

"Eh?"

.
.
.
.
.
.

[A/N]
Sudah aku katakan tidak akan ada lanjutan AIMW. Pake judul baru? Hahaha....

Nggak.

Kenapa aku tulis ini? Nggak sengaja kebayang aja, jadi ada kepengen nulis.

Jadinya Deva dan Hayate mati? Ya... Entah#taboked. Saya si asal aja bikinnya. Kalo kedua orang itu mati kan lebih tragis.... saya-nya.... (╥_╥)

Trus itu ceritanya Devis mati? Iya... Ceritanya aja.

Alya gimana? Nggak tau#digebukin rame-rame.

Oh iya, Keichi itu cowok/yaiyalah. Trus Kei dan Jilian tu beda sekitar... 2-3 tahun dan Lian itu cewek tomboy. Ya hampir mirip kayak Deva hanya saja dia nggak senekat Deva.

Yak dengan begini saya ucapkan salam perpisahan di AIMW ini. Masih ada sekitar tiga cerita (fiksi) yang harus di lanjutkan dan satu buku bergambar yang perlu di up lagi. Belum di tambah draft yang bakalan tak publis dan cerita colab....

Oh untuk fallyndanella04 gambarnya nyusul ya. Entah bakal minggu depan atau dua minggu lagi.

Babai~

-(30/11/2017)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro