15. Salju di Musim Panas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di suatu tempat yang jauh dari peradapan, ada sebuah rumah yang cukup luas. Tetapi hanya diisi oleh 2 orang kakak-beradik. Kakaknya sedang berkutat dengan sebuah buku, sedangkan adiknya sedang memeluk bonekanya erat.

"Kakak, apa yang kau lakukan?" Tanya adiknya dengan perasaan takut.

"Tenang saja, kau pasti akan lihat dan bangga dengan apa yang aku lakukan!" Seru kakaknya sambil tertawa penuh makna dan tidak lepas dari buku tersebut.

Adiknya menunduk, memeluk bonekanya lebih erat lagi. Kedua alisnya menekuk, seakan-akan menyesali semuanya.
.
.
.
#Entah sengaja atau tidak, Deva menggenggam erat sabit Redina sampai tangan kirinya keluar darah.#

Suara pedang saling bertabrakan.

#Deva melihat tangannya yang tadi terluka, terlihat masih ada darah yang menetes tetapi Deva langsung mengepal tangannya.#

Sebuah tendangan yang dapat dihindari dengan mulus.

#"Hoi! Kau masih bisa bertahan?" "Hei! Mukamu sudah pucat tau!"

"Aku masih bisa bertahan kok... sedikit lagi..."#

Suara dua orang saling berlari mendekat.

#Pandangan Deva terlihat sedikit memburam dan ia hampir kehilangan keseimbangan. Terakhir kali ia masih bisa melihat Hayate yang melihatnya dengan tatapan kaget lalu semuanya menjadi hitam. Hayate yang melihat Deva yang mulai terjatuh langsung menangkap Deva.#

Suara pedang kembali bertabrakan beberapa kali.

#"Begini, saat pertarungan selesai kami memanggil-manggil namamu untuk turun. Tetapi kau tidak menyaut. Akhirnya Leo memanjat dan melihatmu tertidur. Saat Leo menyentuh badanmu terasa panas katanya. Jadi kami membawamu ke sini. Tak mungkin kalau kita menggunakan tenda saat ada yang sakit."#

Suara pedang yang membelah angin karena lawannya menghindar.

#"Deva, apa kau sudah tak apa-apa?"

Deva menoleh kearah Leo yang juga bisa dilihat teman-temannya dan tersenyum pelan sambil menekuk alisnya. Ia berjalan karena bos kadal itu sudah mulai berdiri.#

Kedua pedang kembali beradu menghasilkan suara gesekan.

#Bos kadal memukul tepat di kepala Deva yang ternyata dari tadi sakit dengan cepat. Bahkan teman-temannya shock melihat itu.

"DEVA!"#

Deva menghela nafasnya pelan. Walaupun ia sedang berlatih pedang dengan Devis, tetapi pikirannya kembali menerawang kejadian-kejadian pada saat beberapa hari yang lalu.

"Ada apa?" Tanya Devis kebingungan melihat wajah Deva yang seperti tubuh tanpa jiwa.

Deva menurunkan pedangnya, begitu juga Devis. "Kayaknya aku..."

Devis melihat Deva menunggu kelanjutan perkataan Deva.

"Lemah banget ya..." kata Deva pelan.

Devis terdiam lalu langsung tertawa terbahak-bahak. Deva yang melihat itu merasa kesal, padahal ia merasa perkataannya serius.

"Lalu bisakah kau jelaskan saat kau melompati, melewati jurang itu? Apakah itu lemah?"

"Itu..."

"Bagaimana saat bertarung dengan bos kadal itu? Bukankah saat itu kau sedang sakit?"

"Em..."

"Bagaimana saat kau menolong Edward?"

"Huh? Hanya menendang itu hal yang mudah."

"Lalu saat bertarung dengan wanita berambut merah dan em... siapa itu..? Ah! Domdol ya?"

"Saat itu hanya karena terluka aku lemah bukan?" Tanya Deva kembali dengan mulut yang dimajukan.

Devis terlihat berpikir lalu tertawa kembali, "tetapi kau memaksakan diri untuk menyembuhkan mereka," kata Devis dengan semangat.

"Tentu saja, aku tidak akan membiarkan mereka seperti saat itu."

"Tepat sekali! Disalah letak kekuatanmu. Memangnya ada apa sampai kau memikirkannya? Aku kira kau tidak peduli," tanya Devis sambil melihat Deva bingung.

"Aku benci jadi cewek lemah," kata Deva singkat dengan tatapan keseriusan yang memancar dari matanya.

Devis memasang senyum jailnya, "pasti karena Hayate ya?"

"Di-dia nggak ada hubungannya soal ini!" Seru Deva malu.

"Benarkah?" Goda Devis yang membuat Deva melihatnya dengan tatapan kematiannya. "Baiklah, aku minta maaf. Aku hanya bercanda, jangan di masukan ke dalam hati," kata Devis menenangkan Deva.

"Huh sudahlah, kita kembali saja," kata Deva kesal sambil menonaktifkan kekuatan Yin-nya, begitu juga Devis.
.
.


Sesampainya mereka di dekat rumah lipat itu berada, mereka merasakan dingin walaupun matahari bersinar terang. Deva langsung memeluk dirinya dan menggosok-gosokan kedua lengannya.

"Apakah di dunia sihir ada musim salju?" Tanya Deva bingung.

"Ada, tetapi seingatku sekarang bukanlah musim salju," kata Devis yang terlihat biasa saja.

Akhirnya mereka sampai di tujuan mereka dan melihat beberapa tumbuhan yang sudah membeku. Mereka berdua saling melihat satu sama lain, lalu mencari-cari apa yang sedang terjadi.

"Oh hai," kata Edward gugup.

Deva menatap Edward dalam, meminta penjelasan lebih.

"Kenapa kau memeluk dirimu sendiri? Apa kau kedinginan? Aneh sekali, aku tidak merasakan apa-apa," tanya Edward pura-pura tidak tahu. Padahal nafasnya mulai terlihat putih.

"Dalam hitungan 5, 4, 3, 2, -" hitungan Deva dan Devis yang memasang muka datar dipotong oleh Edward.

"Ah! Baiklah, maaf aku tidak sangaja. Aku hanya mau mencoba sihirku yang lain," kata Edward bersalah.

"Lalu sampai kapan dingin ini akan berlangsung?" Tanya Devis sambil melipat tangannya di depan dada.

"Aku tidak tau," kata Edward pelan.

"Hah?! Jadi hawanya akan terus menurun?! Lalu kalau di biarkan apa akan terus menyebar?!" Tanya Deva berturut-turut dengan nada yang di tinggikan.

"Deva, ini adalah kecelakaan," kata Shafira menenangkan Deva.

"Iya, kau ini kenapa langsung marah-marah? Tidakkah kau mencoba mencari solusi?" Timpal Chloe yang terdengar kesal.

Bukannya menjawab Deva hanya memeluk tubuhnya lebih erat lagi lalu berjongkok sambil terus memeluk tubuhnya. Walaupun sekarang ia memakai jaket, tetapi ia tetap merasakan dingin yang amat sangat.

"Kau kenapa Dev?" Tanya Devis bingung.

"Indonesia itu Negara tropis tauk! Mana ada salju!" Omel Deva kesal

Seketika itu Devis, Edward, Shafira dan Chloe tersentak lalu saling berpandangan. Sedangkan Deva meringkuk kedinginan.

"Eh, eh, bagaimana ini?" Tanya Edward panik.

"Pertama-tama kau jangan dekat-dekat dengannya untuk sekarang," kata Chloe pada Edward yang sama paniknya.

Sambil meringkuk, Deva menonton teman-temannya yang panik. Shafira yang mencoba melihat kanan dan kiri secara cepat, Devis yang memukul-mukul kepalanya pelan tetapi cepat menandakan ia berpikir, Chloe yang mendorong Edward yang juga sama kebingungannya. Tiba-tiba Katryson datang dengan tenangnya.

"Ada apa?" Tanyanya ringan.

"Deva tidak pernah memegang salju!" Ucap Shafira panik.

"Kalau begitu suruh saja ia pegang," jawab Katryson enteng.

"Bukan begitu!" Seru Chloe gemas.

"Lalu?"

"Ia berasal dari daerah tropis," jawab Devis setenang mungkin.

"Hm... kalau begitu panggi Hayate saja, tadi aku memegang tangannya terasa hangat," kata Katryson yang tidak kaget sama sekali.

"Aku tak menyangka ternyata Katryson..." ucap Deva pelan dan sengaja ia potong.

Katryson yang melihat Deva terdiam sejenak, mencerna apa yang dipikirkan Deva. Akhirnya setelah beberapa detik ia mulai sadar dengan apa yang ia pikirkan.

"Memangnya kalau aku memegang tangannya kenapa?!" Seru Katryson kesal.

"Katrson... ternyata kau selama ini..." kata Devis pelan sambil menutup mulutnya dan memasang waja iba.

"Apa maksud dari wajahmu hah?!" Seru Katrson kesal sambil menunjuk Devis.

"Aku sudah bawa Hayate!" Seru Chloe sambil berlari dan menarik tangan Hayate.

Hayate yang bingung hanya pasrah di tarik lalu matanya tertuju pada Deva yang sedang meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri. Setelah sudah lumayan mendekat, ia berjalan dan ikut berjongkok di depan Deva.

"Ada apa?" Tanya Hayate bingung.

"Dingin..." kata Deva dengan wajah kesal.

Hayate memegang pipi Deva dan tersentak, "pipimu dingin sekali!" Serunya panik.

"Ia berasal dari daerah tropis, jadi itu bukanlah hal yang mengagetkan," kata Devis yang sudah tenang.

Hayate mengangguk-angguk mengerti.

"Hayate," panggil Deva.

"Ya?"

"Boleh aku memelukmu?" Tanya Deva dengan tatapan datar tetapi itu cukup membuat Hayate merona.

"Eh tapi..-"

Tanpa mendengar lanjut perkataan Hayate, Deva langsung membiarkan tubuhnya jatuh ke arah Hayate.

"Hangat!" Seru Deva gembira.

Hayate sempat terbeku sejenak lalu memeluk Deva yang membuat mereka berdua merasakan kehangatan. Hanya satu yang Deva inginkan. Yup, hangat. Tak ada yang lain.

Teman-temannya bernafas lega, tidak dengan Katryson yang tidak terlalu kaget sejak awal. Setelah beberapa detik Deva bisa merasakan kehangatan tubuhnya kembali, ia membuka mata dan menatap tajam Edward.

"Jadi jelaskan kenapa bisa sampai seperti ini, Edward," ucap Deva yang masih ada di pelukan Hayate.

"Aku hanya... melatih sihirku..." jawab Edward ragu.

"Jelaskan lebih rinci," kata Deva menatap Edward lebih tajam lagi.

"Maaf, kalau di bilang melatih aku pikir lebih kearah... ceroboh? Aku mencoba teknik membekukan tanpa menyentuh. Karena sekali berhasil aku melakukannya terus menerus," kata Edward menyesal.

"Lalu menyebar?" Tanya Deva yang masih Setia di posisinya.

Edward hanya mengangguk sebagai jawabannya. Ia merasa sangat bersalah jika ia membuka membuka mulutnya sekali lagi.

Deva memejamkan matanya, menarik dan menghembuskan nafasnya pelab. Tetapi ia tetap mememejamkan matanya, yang membuatnya terlihat seperti sedang berpikir. Kenyataannya ia memang sedang berpikir.

Jika ia menahan sihir Edward sejenak itu tak akan berpengaruh, bahkan jika Edward matipun es itu akan tetap menyebar. Jika meminta tolong pada Hayate hutan bisa saja terbakar. Walaupun di bantu sihir Shafira dan Rose apa itu boleh? Tiba-tiba Deva tersentak sambil membuka matanya.

Teman-temannya melihat Deva bingung, saat mereka ingin bertanya Deva langsung berlari begitu saja yang menbuat teman-temannya mengikutinya dari belakang. Deva melihat kiri dan kanan, tetapi terlihat es sudah menutupi tanah. Ia tetap berjalan, mengabaikan apapun disekelilingnya. Yang terpenting ia mendapatkan tanah.

Tiba-tiba matanya tertuju pada tanah yang belum terkena es. Dengan cepat Deva berlari menuju tanah itu dan meletakkan tangannya di tanah itu lalu kembali memejamkan matanya.

"Deva apa yang kau lakukan?" Tanya Shafira bingung.

"Mensummon," jawab Deva pendek sambil tersenyum penuh arti.

Perkataan Deva membuat teman-temannya menatap satu sama lain dengan penuh tanda tanya. Ada yang tidak tau apa itu summon dan tidak tau Deva mensummon siapa.

[Yang saya tau summon itu kayak memanggil yang bukan manusia. Biasanya kayak memanggil iblis dsb dan biasanya pake lingkaran mantra. Tapi tenang aja, itu Deva cuman bercanda kok.]

Sebuah getaran muncul dari dalam tanah. Lalu tak lama muncullah sebuah pohon raksasa. Pohon itu berbalik, menunjukan mulut dan kedua matanya.

"Kenapa kau memanggilku?" Tanya pohon penjaga hutan itu sambil melihat Deva datar.

"Begini loh pak penjaga," kata Deva lalu mulai menceritakan semua yang ia tau dan di tambah oleh teman-temannya di antara ia cerita.

"Hm... lalu?" Tanya pohon penjaga.

"Aku cukup kaget dengan reaksimu pohon penjaga," kata Deva memasang wajah kaget yang tidak terlalu kaget.

"Ini sangat sering terjadi, seharusnya akulah yang cukup kaget kau memanggilku gadis kecil. Tetapi kau sepertinya bertambah tinggi ya?" Tanya pohon penjaga sambil melihat Deva.

"Yup! Tiga tahun sudah berjalan loh, sepertinya anda tidak tau ya? Lagipula aku adalah penyihir tumbuhan. Kalau aku tidak peduli bisa-bisa aku tidak di perbolehkan menginjak tanah," kata Deva kesal.

Pohon penjaga itu tertawa, "baiklah, akan aku bantu. Tetapi aku tak bisa mencairkan es itu."

"Tenang saja, ada sihir api di sini. Tetapi jika bagian tumbuhan yang hangus bagaimana?" Tanya Deva sambil menepuk pundak Hayate.

"Itu bisa aku urus, lalu kau cairkanlah es itu," perintah pohon penjaga sambil melihat kearah Hayate yang dibalas anggukan olehnya.

Mereka kembali berjalan menuju rumah lipat. Sesampainya di sana, ada Leo, Eric dan Rose yang sedang melihat mereka bingung karena mereka bersama pohon penjaga hutan di belakang mereka.

"Apa yang kalian lakukan?" Tanya Leo kepada Devis yang paling dekat.

"Kau bisa melihatnya sendiri nanti," kata Devis tersenyum dengan banyak arti membuat Leo menaikan alisnya bingung.

Rose dan Eric saling melempar tatapan bingung, akhirnya memutuskan untuk melihat apa yang terjadi nantinya. Hayate mulai menutup matanya, berkonsentrasi untuk mencairkan es itu.

"Kau tak perlu ragu Hayate, tingkatkan saja panasnya," kata Deva yang berdiri di belakang Hayate sambil tersenyum.

Hayate menoleh ke belakang, terdiam sambil melihat Deva. Akhirnya ia tersenyum dan mengangguk mengerti. Sedikit demi sedikit, es tersebut terlihat mencair dan udara terasa semakin panas. Yang lain mulai mengibas-ngibaskan tangannya dan ujung bajunya karena panas, sedangkan Deva tetap diam karena sudah terbiasa (bahkan ngerasain yang lebih panas lagi).

"Tuntaskan saja, kau tak perlu memikirkan yang lain," bisik Deva kepada Hayate.

Hayate sedikit tersentak karena Deva bisa tau apa yang ia pikirkan dan ia memutuskan mengikuti perkataan Deva.

"Shafira, Rose, siap-siap!" Seru Deva setelah beberapa menit.

Shafira dan Rose tersentak bingung, bahkan Shafira terlihat panik. Setelah semua es mencair, Deva berbalik dengan cepat.

"Shafira, Rose, siramkan air. Sekarang!"

Shafira dan Rose mengangguk mengerti, lalu mereka mengarahkan tangan mereka kearah tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka. Air mereka langsung menguap setelah menyentuh tumbuhan itu.

"Tumbuhan itu dapat bertahan?" Tanya Eric tak percaya.

"Tentu saja, dengan bantuan pak penjaga," kata Deva sambil tersenyum senang dan menunjuk pohon penjaga dengan jempolnya.

Eric dan yang lainnya mengangguk-angguk mengerti sambil melihat tumbuh and tumbuhan yang mengeluarkan uap. Setelah beberapa menit, tidak ada uap yang terlihat. Rose dan Shafira menghentikan kegiatannya. Deva melihat sekelilingnya dengan senang dan tenang, bukan hanya Deva tetapi yang lain juga merasa demikian.

"Jadi Edward, lain kali kalau kau mau melakukan sesuatu harus mengajak Hayate dulu," kata Deva dengan wajah datar.

Edward tersentak dan berkeringat dingin, "maafkan aku," katanya lemas.

Deva tersenyum senang lalu mengangguk mantap.
.
.
.
Saat malam hari, semuanya sudah masuk ke kamar masing-masing.Deva berada di kamarnya, mengecek tabnya mengenai sihir-sihir yang dipunyai teman-temannya.

Mulai dari api, es, air, angin, tanah, petir dan tumbuhan. Ia mengangguk-angguk kepalanya saat membaca kekuatan teman-temannya yang kemungkinan besar sudah di kuasai teman-temannya. Tiba-tiba ia terdiam sejenak. Membaca kembali, membaca ulang, mengedipkan matanya. Akhirnya ia membiarkan tabnya jatuh di atas meja sedangkan ia menyandarkan punggungnya di bangku yang ia duduki.

"(Ternyata... ini yang membuat perasaanku tak enak)" katanya dalam hati sambil meletakkan sebelah lengannya di atas matanya.
.
.
.
Halooo!
Kangen saya? Enggak? Terimakasih 〒▽〒.
Yah nggak jauh-jauh juga sih punya, tapi tetap aja lama dari perkiraanku :v

Terimakasih yang sudah susah-susah nungguin ni cerita up, terimakasih yang sudah Setia menunggu (*¯︶¯*)
-(30/01/2017)--(Surabaya)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro