Part 15: Determind

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Saat berjalan memasuki kantin, pandangan Will langsung tertuju pada Isabelle yang duduk sendirian di salah satu meja. Ia tersenyum menang. Selama beberapa hari terakhir, gadis itu selalu menghindari Will. Tanpa basa-basi, Will langsung duduk begitu saja di hadapan Isabelle—sebelum Natasha atau siapapun datang mengganggu, membuat gadis itu langsung mendongak dari makanannya. Rambut pirang panjangnya ditata dengan model side french braid, membuat liontin batu hitam itu langsung terlihat kontras dengan sweater pastelnya.

"Jangan coba-coba meminta kalungku lagi, aku tidak sudi memberikannya," ceplos Isabelle, bahkan sebelum Will membuka mulut. Tepat seperti dugaannya, ini tidak mudah. Ia tersenyum masam pada gadis itu.

"Seandainya saja kau mengetahui identitasku sesungguhnya, kau tidak akan berani berkata begitu," Will berkata pelan sambil menggertakan gigi. Menahan rasa jengkelnya. "Kau benar-benar tidak peduli tentang rahasiamu?" Ia bertanya sambil memaksakan senyum.

Isabelle terdiam sejenak sambil memandang Will, lalu berdeham dan berkata,

"Aku sudah bilang aku tidak peduli."

"Baiklah, aku akan mengumumkannya sekarang." Will bangkit berdiri. "Dengar semu—" Tanpa disangka Isabelle melonjak berdiri untuk membungkam mulutnya, mengagetkan Will.

"Kau benar-benar tidak berperasaan," Isabelle mendesis tak percaya, sambil menoleh ke meja sebelah yang mulai memperhatikan mereka berdua. Will hanya mengedikkan bahu.

"Kau kira aku bercanda?" kata Will, ia duduk kembali melihat Isabelle yang melotot kesal kearahnya. Ini tidak akan berhasil, pikir Will. Isabelle keras kepala, mengonfrontasinya hanya membuat gadis itu semakin jengkel dan kesempatan Will mendapat kalung itu akan melayang pergi.

"Kenapa kau ngotot meminta kalung ini?" Isabelle bertanya, masih dengan raut tak suka.

"Kau tidak akan mengerti alasannya," balas Will. Mereka beradu tatapan hingga tidak menyadari seseorang telah berdiri diam disamping mejanya.

"Apa aku mengganggu sesuatu?" tanya Kyle dengan polosnya mengamati Isabelle dan Will.

"Ya," kata Will.

"Tidak," kata Isabelle, bebarengan.

"Okay...," Ia berkata ragu memandangi wajah keduanya, siapa yang benar. "Aku hanya ingin bertanya kalian pernah tahu Adelyn Moore?"

"Tidak. Siapa itu," kata Will dengan cuek, berharap Kyle cepat pergi.

"Tidak, namun aku pernah mendengar beberapa teman sekelasku menceritakannya. Ia disebut the Ice Lady. Keluarganya terpandang namun dia sangat pendiam, teman-temannya takut mengajaknya bicara," jelas Isabelle, dengan senang hati menanggapi Kyle, untuk mengalihkan dirinya dari Will.

Will hanya mendengarkan dengan malas saat Kyle menjelaskan bagian kesiswaan menuntutnya untuk menghubungi Adelyn sebagai ketua organisasi siswa, sekaligus menggali informasi tentangnya, karena gadis itu sudah tidak masuk sekolah sejak setelah hari pertama semester musim semi ini. Adelyn tampaknya sangat anti sosial hingga seorang Kyle bahkan tidak mengetahuinya.

Will tak lagi menghiraukan percakapan Kyle dan Isabelle. Otaknya berputar keras mencari cara bagaimana membuat Isabelle menyerahkan kalung itu. Tiba-tiba senyum penuh arti merekah dibibir Will, sebuah ide muncul dibenaknya.

***

Aku berjalan menuju studio music luas tempat latihan anak-anak club orchestra, memanfaatkan waktu istirahat keduaku untuk menemui Nick. Akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran Nick dan memberanikan diri mencoba bermain harpa lagi. Aku tidak bisa terus-terusan trauma setiap menyentuh harpa.

Sambil berjalan, aku melihat ke sekelilingku yang penuh sorak sorai para siswa. Beberapa kali aku melihat para cowok mengajak cewek idamannya untuk menjadi pasangan mereka di acara Homecoming yang semakin dekat. Sudah tradisi tersendiri di Riverdale High, mengadakan pesta dansa pada acara Homecoming party, rasanya jadi seperti prom namun dengan pakaian less-formal. Dan tidak seperti sekolah pada umunya yang mengadakan Homecoming pada musim gugur, Riverdale High mengadakannya di musim semi.

Ada sisi baik dan buruk dari Homecoming party yang semakin dekat. Sisi buruknya, entah sudah beberapa cowok tak dikenal yang memberanikan diri mengajakku menjadi pasangannya. Aku terus menolak secara halus, karena aku tidak bisa begitu saja berpasangan dengan orang yang tak kukenal. Lagipula, pesta dansa pada acara Homecoming bukan sesuatu yang formal, tidak ada salahnya datang tanpa pasangan.

Sisi baiknya, Will juga hampir selalu dikerumuni fans yang nekat mengajaknya duluan. Membuatku merosot lega karena perhatiannya teralihkan.

Perubahan perilaku Will yang drastis membuatku mengira ia sedang kerasukan sesuatu.

Lima hari sebelumnya...

"Sial, aku lupa mengambil minum," kataku, baru menyadari saat sudah duduk di meja. Antriannya masih panjang, tidak mungkin aku mengantri lagi.

Tiba-tiba seseorang yang baru datang meletakkan sekaleng soda dihadapanku.

Aku mendongak dan membelalakkan mata mendapati Will sedang menatapku. Ia mengulas senyum simpul kearahku.

"Ambil saja punyaku." Mendekatkan kaleng soda ke tanganku. Disebelahku, Kyle tersedak minumannya dan sedikit menyembur kearah Bernard.

"Apa-apaan, Kyle!" lalu Bernard mengumpat

"Kau sakit Will?" tanya Kyle tak percaya. Aku hanya melongo sambil mengangguk terima kasih.

————————————————

"Sorry Isabelle sepertinya kau harus menungguku latihan Cheers. Aku tahu kau ingin pulang, tapi sorry ini mendadak," raut Lizzie tampak bersalah.

"Tidak apa, aku akan menunggumu," aku berusaha tersenyum walaupun sebenarnya ingin pulang.

"Aku akan mengantar Isabelle pulang." Sahut sebuah suara yang langsung membuatku dan Lizzie menoleh. Kami semakin terperanjat, melihat ternyata memang Will yang baru saja berbicara.

"Mm..ehm..tentu saja," jawab Lizzie sambil mengerjap heran. Ia menatapku sambil membelalak tak mengerti, aku hanya mengangkat bahu. Namun aku tidak menolak tawarannya, karena aku ingin pulang. Aku mengira Will akan mendesakku tentang kalung ini lagi, tapi sepanjang perjalanan pulang ia hanya membuka topik obrolan santai. Ia bahkan meminta maaf atas ancamannya, ia tak akan meminta kalungku lagi. Rasanya aku tidak percaya sedang duduk di dalam mobil sport Will.

————————————————

Dua hari sebelumnya, di rumah Lizzie..

"Isabelle! Isabelle bangun!" teriak Lizzie, dengan nada mendesak.

"Ini hari minggu Liz. Aku mau tidur sampai tengah hari," kataku menarik selimut melewati kepala.

"Will datang. Katanya ia mau mengerjakan tugas sejarah denganmu," Lizzie berbicara dengan cepat, terus menarik selimutku. Mendengar nama Will, mataku langsung terbuka dan aku terlonjak bangun.

"Sejak kapan ia peduli dengan tugasnya?" sergah ku. Lizzie hanya menggeleng tak mengerti.

Beberapa menit kemudian aku turun ke bawah setelah bersiap seadanya.  Pemandangan yang kutemui di ruang tamu sangat diluar dugaan, Will yang cuek nya setengah mati dan arogan, tampak berbincang akrab dengan Uncle dan Auntie. Sesekali ia tersenyum tipis.

"Hi Isabelle," sapa Will, ia tersenyum. Ia memang rupawan, namun saat sikap arogannya hilang ditambah senyum yang terulas itu tiba-tiba membuat jantungku berdegup cepat. Aku mengerjap, menyadarkan diriku.

"Seleramu dalam memilih cowok memang tidak main-main Isabelle," kata Auntie Charlene sambil mengedip, saat ia dan Uncle berlalu dariku. Membiarkan aku berdua dengan Will.

"Aku tahu kau bukan tipe murid yang rajin mengerjakan tugas, Will," aku memicing curiga, lalu menghempaskan diriku di sofa di hadapannya.

"Kau kira aku setega itu membiarkanmu mengerjakannya sendiri?" tanya Will. Aku masih bersedekap secara defensif. "Ok, aku akan mengakuinya." Ia mendesah menyerah, membuatku mengangkat alis heran. "Kau membuatku penasaran untuk mengenalmu lebih jauh, Isabelle," lanjut Will sambil tersenyum miring, untuk sekilas aku mengira sorot mata itu terlihat tulus. Sikap defensifku terurai, aku menelan ludah gugup. Hanya sesaat, perasaanku menghangat.

————————————————

Ok, kembali ke masa sekarang. Sikap aneh Will belakangan ini sering menyita pikiranku. Tiba-tiba saja ia terlihat selalu siap membantuku dan bersikap baik tapi hanya padaku. Dan hal itu berdampak buruk pada jantungku yang sering berdegup tak karuan saat ia memperlakukanku secara berbeda. Mungkinkah Will jatuh cinta padamu? Tebak Bernard beberapa waktu lalu, yang langsung mendapat sergahan dari Kyle, Jangan melucu Bernard, kalau Will jatuh cinta artinya dunia mau kiamat. Kau hanya akan membuat Isabelle ge-er.

Aku menggeleng dan menepis semua pikiran tentang Will. Mungkin kata-kata Kyle benar.

Langkahku berhenti di depan pintu berat studio music yang lengkap dengan peredam. Pintu nya terbuka sedikit. Begitu aku melangkah masuk, terdengar alunan piano yang mengalun lembut menyayat hati. Aku terpana melihat Nick yang sedang focus dengan jarinya. Ia tampak seperti pangeran yang tak tergapai. Membuatku berpikir betapa beruntungnya Jessa.

Entah hanya karena terlalu menghayati atau bukan, raut wajah Nick terlihat sesedih lagu yang ia mainkan. Aku menunggu beberapa saat diruangan kosong ini, hingga Nick selesai. Secara spontan aku bertepuk tangan.

"Itu tadi indah sekali, Nick," kataku, berjalan kearahnya.

"Thanks, Isabelle," Nick tersenyum ramah, raut sedih diwajahnya lenyap.

"Jadi, bagaimana hasil audisiku?" tanyaku.

"Tentu saja kau lulus. Para pelatih terpesona denganmu," Nick tertawa, ia mengambil buku partiture di atas grand pianonya. "Ini partiture lagu yang sedang kami latih sekarang. Kau bisa mulai ikut latihan mulai besok, Isabelle."

"Baiklah," aku mengangguk sambil melihat sekilas buku partiture yang isinya lengkap untuk semua instrument.

"Oh ya, tadi Will berpesan padaku kalau ia akan menemuimu di balkon lantai lima. Tidak biasanya ia berpesan seperti itu," rautnya tampak bertanya-tanya. Aku hanya meringis. Baru saja aku lega karena seharian ini Will tertahan oleh fans-fans nya. "Apa hubunganmu dengan Will?" Nick bertanya penasaran.

"Tidak ada apa-apa. Bye Nick. Aku akan datang latihan besok," kataku, sambil memaksakan senyum manis. Cepat-cepat keluar sebelum Nick menanyaiku aneh-aneh.

***

Aku berjalan menaiki tangga menuju lantai lima karena kelasku berikutnya memang berada disana. Sesaat aku ragu, haruskah aku menemui Will? Atau pura-pura saja aku tidak mendapat pesannya dari Nick. Sepertinya opsi kedua lebih menyenangkan.

Akhirnya, berlagak tak bersalah, aku langsung berjalan menuju kelasku selanjutnya. Saat melintasi koridor aku melihat Kyle, namun aku tidak jadi menyapanya saat ia terlihat sedang berbicara serius dengan si Ice Lady—Adelyn Moore, yang sudah masuk sekolah hari ini. Beberapa hari ini Kyle disibukkan oleh cewek itu. Ia sering mengomel karena tugas bagian kesiswaan padanya. Mereka menganggap skill diplomasi Kyle patut diakui. Sepertinya mereka salah mengartikan skill playboy Kyle.

"Isabelle! cepat ke kelas sekarang." tiba-tiba Lizzie merangkul pundakku dari belakang sekaligus mendorongku berjalan lebih cepat kearah pintu kelas yang sudah terlihat didepanku.

"Aduh! Ada apa sih?"

"Aku tidak akan membiarkan sepupuku datang ke Homecoming party tanpa pasangan," Lizzie terkikik semangat. Aku membelalakan mata menyadari apa yang mungkin di lakukan Lizzie, namun terlambat untuk menghindar.

Begitu aku melangkah melalui ambang pintu, aku melihat Bernard sudah menunggu dengan kedua temannya. Satunya cowok berambut cokelat tua dengan mata sewarna hazel. Satu lagi berambut pirang dengan dengan mata cokelat. Si rambut pirang menyikut si rambut cokelat tua, dengan raut penuh tawa.

"Dia anggota tim basket Bernard. Ia sudah ngefans padamu," Lizzie berkata pelan didekatku dengan nada geli.

"Isabelle, temanku ini memaksaku untuk memperkenalkannya padamu," kata Bernard sumringah sambil mendorong maju si rambut cokelat. Ia menatap malu padaku dengan mata hazelnya.

"Hi, aku Jensen Wade," ia mengulurkan tangan padaku, tangan lainnya menyugar rambut cokelatnya, sambil tersenyum malu padaku.

"Hi," aku membalas sambil tersenyum awkward. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, saat Lizzie, Bernard dan si pirang menatap geli kearah kami.

"Kau mau datang ke Homecoming denganku?" ia bertanya dengan binar penuh harap. Lizzie langsung menyikutiku.

"Ehm, aku—"

Tiba-tiba seseorang menyela masuk dan menarik kerah Jensen dari belakang, menjauhkannya dariku. Membuat Jensen kaget.

"Apa-apaan—" ia berseru.

"Will!" seruku, terkejut. Semua mata langsung tertuju pada kami.

"Apa yang kau lakukan Wade? Mengajak pasangan orang lain?" Will menaikkan alisnya dengan seulas senyum sarkastik. Lizzie dan Bernard langsung melotot kearahku. Jensen menatapku heran.

"Sorry, aku tidak tahu," Jensen berkata lalu menatap menuntut penjelasan pada Bernard. Sementara orang yang ditatap masih membelalak tak percaya ke arahku dan Will.

Will dengan santai berjalan kearahku, lalu menarik tanganku dengan lembut membuatku menarik nafas tajam. Aku masih tidak sanggup berkata-kata.

"Isabelle akan datang bersamaku ke Homecoming party," kata Will, ditujukan untuk semua orang yang memandang tak percaya kearah kami. Aku berusaha melepaskan genggaman Will, tapi ia menolak melepaskan. "Iya kan Isabelle?" ia menatap kearahku dengan senyum paling menawan yang pernah kulihat.

***

Brak! Aku menutup pintu lokerku dengan keras. Suaranya bergema di koridor sepi ini. Hanya ada aku sendirian. Aku menyampirkan tasku, rasanya aku ingin berteriak, melampiaskan kekesalanku. Setelah kesadaranku kembali, aku baru menyadari tindakan Will sudah keterlaluan. Sekarang seluruh sekolah akan menggosipkan aku dan Will. Ada apa sih dengan cowok itu?

Jauh didalam hatiku, aku takut sikap Will yang selalu menempel padaku membuat perasaanku yang melunak tak bisa kutahan lagi.

Seseorang tiba-tiba melesat keluar dari dalam salah satu kelas. Ternyata Kyle. Ia melambai menyapaku.

"Isabelle Cleveland. Kau membuat satu sekolah heboh hari ini," ia tersenyum jahil. "Kau mengincar Will dari awal? Pantas saja kau mencampakkanku," lanjut Kyle pura-pura merengut. Aku hanya memutar bola mata.

"Tolong hentikan gossip itu," kataku, terseyum masam. Kyle tergelak.

"Aku—" ucapannya terputus, tiba-tiba Kyle mengerjap. Rautnya mendadak berubah serius. Ia menatap kearahku heran, membuatku semakin mengernyit heran. "Isabelle?" tanyanya.

"Kau kenapa Kyle?" aku menatapnya shock. Seolah orang lain baru saja menggantikan Kyle yang barusan menggodaku.

"Sekarang jam berapa?" tanyanya. Membuatku mengangkat alis semakin heran. Tanpa menunggu jawaban, Kyle menyambar tanganku yang mengenakan jam. Rautnya tampak lega.

"Cepat pergi dari sini Isabelle kalau kau tidak ingin melihat sesuatu yang mengerikan," kata Kyle. Ia melangkah pergi meninggalkanku yang masih tertegun heran. Apa maksudnya?

Akhirnya aku mulai melangkah lagi, saat itulah aku teringat masih meninggalkan agendaku di loker. Aku kembali menyusuri deretan loker merah dikanan kiriku. Langkahku terdengar keras di koridor yang sunyi sepi ini.

Begitu aku membuka pintu loker, aku langsung menyambar binder putih yang ada di dalamnya. Ketika hendak menutup pintu, saat itulah aku mendengar suara desisan tak jauh di belakangku.

Desisan ular?

Tubuhku menegang. Jantungku berdetak cepat.

"Akhirnya aku menemukanmu," terdengar suara seorang wanita yang diikuti desisan-desisan. Sesosok monster berada di belakangku, jerit pikiranku panik. Hatiku mencelos. Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, mencegah diriku gemetaran. Kau hanya perlu mengabaikannya seperti biasa, Isabelle. Aku mengulang kata-kata itu seperti mantra. Sementara keringat dingin menuruni punggungku.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro