Part 17: Silent Oath

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari sudah berganti menjadi petang. Aku masih termenung, duduk di depan cermin rias, menatap tanganku yang sedang memainkan liontin kalungku. Ketertarikan Will terhadap benda ini membuatku mengingat kembali kapan aku mulai mengenakannya. Dan tak ada respon ingatan apapun yang muncul di benakku. Nihil. Selama ini aku menganggapnya sebagai pemberian orang tuaku. Tapi benarkah? 

Suara pintu yang terbuka mengagetkanku. Lizzie masuk sambil berjingkat-jingkat.

"Kenapa kau mengendap-endap begitu?" tanyaku heran.

"Besok malam Bernard mengundang kita ke The Vermillion!" Lizzie berbisik, dengan semangat terpendam. Aku mendelik mendengar nama club merangkap bar elit di New York itu, tempat Mom dan Dad berkumpul dengan teman konglomerat mereka. The Vermillion terkenal menuntut VIP pass untuk ijin masuk. Meski image club itu tidak seliar club pada umumnya, namun tetap saja kami dibawah umur.

"No, no. Liz! Kau mau membuat Auntie Charlene mengusirku karena tabiat burukmu?" kataku spontan. Lizzie meletakkan jari di depan bibirnya menyuruhku berbicara pelan-pelan.

"Ayolah, mom tidak akan tahu. Lagipula besok masih weekdays, aku akan beralasan kita pergi ke rumah Jessa mengerjakan tugas," Lizzie merengek.

"Percuma, kau tidak akan bisa masuk," kataku, berusaha mengabaikannya. Aku beralih duduk ke kasur.

"Itu tidak akan terjadi. Tidak, saat anak pemiliknya, Bernard Milton, yang mengundang," kata Lizzie, tersenyum penuh arti.

"Marganya Milton? Milton yang itu? Kenapa kau tidak pernah cerita," kataku sambil melempar bantal kecil kearahnya. Lizzie hanya tertawa.

"Untuk apa aku menceritakan keluarga Bernard," katanya.

Keluarga Milton memiliki group manajemen hotel dan club yang mendunia, bahkan memliki hubungan baik dengan keluarga Riverton—pemilik group bisnis terkaya dibenua ini yang pamornya setara presiden. Nama Milton bersanding dengan keluarga top seperti Riverton, Moorson, Benelli, Cleveland, Sternwell, Blanford dan lainnya. Hanya saja keluarga Blanford sangat tertutup, anti sosial. Tidak banyak yang tahu tentang anggota keluarga itu. Semua urusan hanya melalui anggota direksi mereka.

"Ayolah Isabelle," Lizzie merengek lagi. "Bagaimanapun, aku akan tetap menyelinap pergi dan aku bisa lupa pulang," lanjutnya. melontarkan ancaman terselubung. Aku memutar bola mata.

Aku tahu, sekali ia bertekad pergi, Lizzie akan benar-benar menyelinap. Kalau Lizzie sampai lupa pulang, auntie Charlene akan muntab dan aku akan langsung dipulangkan karena tabiat buruknya. Dengan kata lain, tak ada pilihan lagi selain memastikan Lizzie pulang tepat waktu.

"Baiklah, baiklah," aku menyerah. Sementara sepupuku itu menari girang.

***

Dentum redam music mewarnai suasana di sekitar Will. Ia, Bernard, dan Kyle duduk di sebuah sofa besar berwarna burgundy mewah yang melingkar berbentuk letter 'C'. Mereka sedang berada di area duduk di mezzanine yang membentang di sisi kanan club luas dan elit ini. Sekilas Will mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, ia melihat beberapa demon berada disini dengan teman manusia mereka, dan merasakan masih ada segelintir lagi yang tak terlihat dalam jangkauan pandangnya.

Dance Floor berada sedikit jauh, sehingga memungkinkan mereka bercakap-cakap dengan suara normal.

"Tumben kau mau ikut. Gara-gara Isabelle ikut? Apa hatimu yang dingin itu akhirnya luluh?" tuduh Bernard sambil menyeringai.

"Kau bisa berkata begitu." Will tersenyum miring. Bernard tertawa menang seolah berkata 'sudah kuduga', berbeda dengan Kyle yang memicing curiga. Kyle tahu tentang fakta bahwa Will adalah iblis yang tidak bisa merasakan cinta.

"Ya ampun! Ada apa dengan Jessa hari ini. Dad akan mengusirku kalau teman-temanku berulah," kata Bernard yang tiba-tiba beralih menatap cewek berambut pirang pucat—Jessa Morgan, yang sedang mengomeli bartender. Beberapa orang yang duduk di bar menoleh kearah Jessa yang tampak mabuk.

"Kau sebaiknya menelfon Nick," saran Kyle. Will melihat Kyle yang menatap Jessa, dengan raut seolah menyembunyikan sesuatu.

Setelah Bernard pergi menghampiri Jessa, Kyle mengalihkan pandangan dari gadis itu. Selama sesaat ia terdiam sambil memainkan gelas kaca nya.

"Kenapa kau belum beranjak menuju Dance Floor?" tanya Will, sambil meminum satu-satunya minuman tak beralkohol di tempat ini. Ia tidak suka minuman manusia itu.

"Meh! para wanita yang ada di club mu lebih menggoda," kata Kyle dengan seringainya. Will teringat saat Kyle pernah berusaha mencarinya di klub para Demons.

"Dasar gila. Mereka Demons," kata Will sambil memutar bola mata. "Kudengar kau tidak datang ke Homecoming party, akhir pekan ini," lanjut Will.

"Mm-hm. Aku keluar kota," jawabnya singkat. 

Will berpikir sejenak lalu bertanya, "Bisakah kau mencari kembali belati itu? Lagipula kau akan menikmati long weekend."

"Well, apa kau sudah memiliki petunjuk lain kemana aku harus mencari? Kau tahu, terakhir kali aku kembali ke sepuluh tahun lalu, membuatku terkapar kelelahan seharian." Kyle memelankan suaranya.

Will mengerti kemampuan Kyle. Ia bisa dengan mudah memutar kembali waktu beberapa menit, jam hingga beberapa hari. Namun, untuk menjelajah meniti benang waktu ke beberapa tahun silam tidak semudah melompat, lalu kembali lagi ke masa sekarang. Keterbatasannya sebagai manusia membuat Kyle merasakan dampak seakan waktu dengan marah terus menarik-narik keberadaannya untuk kembali ke masa sekarang. Seolah sang waktu merasa keberadaannya saat ada di masa lalu adalah anomali yang harus disingkirkan.

"Aku tahu sekarang, kau harus mulai mencari dari mana." Ia menjelaskan beberapa detail yang baru disadarinya, membuat Kyle mengangguk mengerti.

"Itu lebih jelas. Baiklah, akan kucoba lagi," kata Kyle. "Apakah belati itu ada hubungannya dengan Isabelle? Setelah membuat perjanjian denganmu, aku tahu kau tidak mungkin merayu Isabelle tanpa maksud apapun, Will." Kyle memicing curiga

"Tidak. Tapi memang ada hal lain yang kuinginkan darinya," kata Will, tersenyum penuh arti. Kyle mengerutkan kening mendengar jawabannya.

"Sebagai seorang manusia dan teman Isabelle, aku menyarankan sebaiknya kau menghentikan sikap pura-pura baikmu yang tidak wajar itu. Aku tahu perasaan para gadis yang lemah Will, kau akan membuat Isabelle jatuh hati padamu dan berakhir sia-sia," kata Kyle sambil berdecak. 

Will tertawa tak percaya, lalu berkata, "Jatuh cinta? Tidak mungkin. Aku hanya ingin gadis keras kepala itu sedikit melunak dan tidak memusuhiku, baru setelah itu aku bisa meminta apa yang kuinginkan."

"Just saying. Kau tak pernah memahami perasaan manusia," sahut Kyle sambil mengangkat bahu.

Pandangan Will menangkap dua gadis yang sedang berjalan kearah mereka. Satunya berambut cokelat dengan atasan off shoulder dan celana kulit hitam. Yang satu lagi berambut pirang keemasan dalam balutan jumpsuit pendek sewarna dusty rose, dengan potongan leher model halter-neck dan flare sleeve lebar se siku. Jelas sekali tak ingin terlihat terlalu terbuka. Kaki jenjangnya mengenakan sepatu pointed-toe stiletto yang tampak mahal.

"Speak of the devil," gumam Kyle yang juga menyadari kedatangan mereka, langsung terputus oleh sapaan ceria Natasha.

***

"Hi!" sapa Lizzie dengan semangat menggebu untuk segera menginjakkan kaki lantai dansa. Setelah menyapa Will dan Kyle, aku menghempaskan diri ke sofa burgundy.

"Dimana Bernard?" tanya Lizzie.

"Ia—" ucapan Kyle terputus oleh seruan Jessa yang tiba-tiba datang menyerbu kearah Kyle. Membuatnya melotot kaget.

"Menarilah denganku, Kyle!" seru Jessa sambil cekikikan, jelas-jelas mabuk. "Will pasti tak akan mau, iya kan?" lanjutnya lagi tiba-tiba menyentak kesal kearah Will, membuat cowok itu hanya bisa mengangkat alis.

"Kenapa dia?" tanyaku heran. Disebelahku, Lizzie beranjak berdiri menghampiri Bernard yang muncul di belakang Jessa dengan ponsel berada di telinga, sepertinya sedang berusaha menghubungi Nick.

"Jess, aku punya prinsip tak akan menggoda pacar sahabatku." Kyle berusaha menyingkirkan Jess yang sedang berjuang menggelayutinya, memandangku dan Will dengan tatapan minta tolong.

"Turuti saja, selagi Bernard menghubungi Nick." Will berkata dengan santainya. 

Kyle mendengus kesal, namun akhirnya berkata, "Ok, ok. Kita ke Dance Floor. Berhenti menggelayutiku, Jess." Jessa terpekik senang seperti anak kecil, langsung menarik Kyle yang pasrah ke arah pusat dentuman music.

Aku merasa tak enak hati melihat Lizzie dan Bernard yang cemas, terus berusaha menelfon Nick.

"Biar aku saja yang menghubunginya. Kalian bersenang-senanglah. Jadi kau tidak bisa alasan untuk pulang dini hari, Liz," kataku pada mereka. Lizzie meringis.

"Ok, kuserahkan padamu Isabelle. Thanks," kata Bernard, menyeringai lega. Aku mengangguk, lagipula aku memang tak berniat berpesta.

Aku menyambar clutchku dari sofa, berjalan semakin jauh dari gaung music dan mendekat kearah jejeran kursi bar yang membentang panjang. Saat aku mengeluarkan ponsel, aku berhenti, menyadari seseorang mengikutiku. Ternyata Will.

"Kenapa kau tidak ikut mereka?" tanyaku.

"Kau tidak takut diculik kalau aku membiarkanmu sendirian?" katanya sambil tersenyum miring. Ucapan Will ada benarnya. Bagaimanapun aku memang kurang nyaman disini. Harus kuakui aku mulai terbiasa bahkan nyaman saat Will ada didekatku.

Aku kembali berkutat membuka password ponselku. Tiba-tiba Will melangkah ke hadapanku dan menukar ponselku dengan ponselnya.

"Apa yang kau lakukan?" Aku membelalak.

"Kau tidak punya nomor Nick kan?" tanya Will sambil mengangkat alisnya.

"Ah iya," kataku sambil menepuk jidat.

Ponsel Will terbuka tanpa password apapun. Ya ampun! Batinku sambil mengernyit heran saat melihat daftar kontaknya yang hanya ada lima nama—anggota gengnya. Aku hendak menyeletuk tapi mengurungkannya. Aku menyentuh nama Nick, namun sebelum telfon tersambung, tiba-tiba layar ponsel Will berganti dan nomorku tertera disana.

"Will," kataku penuh penekanan, memicing menatapnya.

"Just in case," katanya sambil mengangkat bahu. Modus yang smooth sekali, batinku.

Akhirnya aku mendengar nada sambung setelah beberapa detik. Masih tidak terangkat. Setelah cukup lama, aku mematikan sambungan dan mencoba lagi. Aku duduk di kursi terujung bar, sementara Will bersandar di ujung meja, menghadap kearahku.

Sambil menunggu nada sambung yang tak kunjung diangkat, aku mengedarkan pandangan kearah area duduk kami tadi. Saat itulah aku melihat orang yang sama sekali tak kuharapkan. Miss Paige! Mataku membelalak. Dimana ada Ms.Paige, disitu ada Mom.

Cepat-cepat aku mematikan sambungan telfon lagi. Wanita bermuka selalu serius itu menyusuri deretan sofa burgundy dan menuju ke bar, ke arahku. Sial! Untungnya wanita itu tak melepas pandangan dari tablet yang dibawanya. Otakku memikirkan perlindungan tercepat. Aku menarik Will dan bersembunyi di balik punggungnya, menjadikannya tameng.

"Apa yang kau—?!"

"Ssst!" desisku menunjuk kearah Ms.Paige. Will mengikuti arah pandangku dan tampak mengerti.

Aku semakin merunduk saat Ms.Paige mendekat, menyadari sepatu wanita itu melangkah dekat dengan deretan kursi bar. Setelah yakin wanita itu berada cukup jauh, aku menoleh mengikuti arah yang ia tuju. Dan disanalah, ujung seberang meja bar ini, aku melihat Mom berbicara serius dengan seorang pria seumurannya.

"Itu Alyson Cleveland? Kau kenal siapa lawan bicara ibumu?" Will mengerutkan kening. Ia sudah menghadap kearahku sekarang, namun masih menjadi penghalang antara Mom dan aku.

"Terlihat familiar, tapi aku lupa namanya," jawabku.

Tak lama setelah Ms.Paige menghampiri, Mom tampak berpamitan dengan muka kesal. Ia melenggang pergi dengan Ms.Paige yang mengekor, meninggalkan lawan bicaranya sendirian. Untungnya mereka tidak kembali melewatiku.

"Tunggu disini sebentar," kata Will. Ia berjalan menghampiri lawan bicara Mom sebelum aku berkata apapun.

***

"Mark Moorson," Will memanggil nama witch berpakaian formal dengan rambut tertata rapi layaknya pria terhormat yang sarat dengan wajah licik. Ia witch berpengaruh diantara para Demons, dan pengusaha terkenal di dunia manusia—sebagian manusia menyebutnya mafia. Mark Moorson menoleh lalu mengulas senyum.

"Your Majesty," sapanya, lalu melihat kesekeliling. "Ah tapi ini akan terdengar aneh bagi manusia. Bolehkah aku memanggil nama anda?"

Will hanya mengangkat bahu tak peduli.

"Apa yang kau bicarakan dengan Alyson Cleveland?" tanya Will to the point, sambil bersedekap dan bersandar di meja bar.

"Hanya bisnis dunia manusia," kata witch itu sambil menyesap wine nya. Will mendengus sinis mendengarnya.

"Aku tahu, hanya manusia yang mencari kekuatan gelap lah yang berbinis denganmu, Moorson. Kalau hanya bisnis biasa, kau tidak mungkin membuatku tak bisa mendengar percakapan kalian. Katakan apa urusanmu dengan Alyson Cleveland," kata Will tajam. Seorang bartender menoleh kearah mereka terkejut, menganggap Will sebagai pemuda kurang ajar. Mark tertawa.

"Berbicaralah lebih sopan, Will. Aku tampak lebih senior darimu di dunia manusia," kata Mark, mata hijaunya menyala.

"Namun nama Blanford lebih berkuasa di dalam status sosial konyol manusia, dibanding kau Moorson. Aku bisa bersikap sesukaku," balas Will dengan senyum sarkastik.

"Kau benar," kata Mark, tersenyum mengalah. Kemudian pandangannya beralih, Will mengikuti arah pandang witch tersebut dan mendapatinya mengarah pada Isabelle yang baru saja mengakhiri pembicaraan melalui ponsel, sepertinya ia sudah berhasil menghubungi Nick.

"Isabelle? Kau dan Alyson berbicara tentangnya?" Will bertanya tak mengerti. Mark tersenyum misterius.

"Maafkan aku, namun seseorang membuatku bersumpah bisu, agar tidak bisa mengatakan apapun tentang hal ini khususnya padamu," kata Mark, mengangkat tangan menyerah.

"Silent Oath?" Will semakin tak mengerti. Silent Oath hanya bisa diberikan oleh seseorang yang lebih kuat, dalam hal ini berarti siapapun itu lebih kuat dari Mark. Itu adalah sumpah klasik yang kuat, tak ada yang bisa menghilangkan kekuatan sumpah itu. Pikiran Will semakin bias. Kenapa semuanya berpusat pada gadis itu? Bahkan witch seperti Mark mengetahuinya.

"Sebaiknya kau mengusir imp yang berusaha merebut kalung Baetylus stone itu," kata Mark memecah pikiran Will.

"Sialan, kenapa demon-demon mengincarnya," umpat Will, melihat demon kecil licik berwujud seorang gadis berperawakan mungil seperti gadis SMP, berbicara dengan Isabelle. Imp, adalah demon licik yang suka membuat keonaran dengan keusilannya dan mencuri barang-barang yang menarik perhatiannya. Mata imp itu terus mencuri pandang ke kalung yang dikenakan Isabelle. Will tak akan membiarkan demon usil berlagak innocent itu mengaruhi Isabelle dan merebut benda incarannya.

Will langsung beranjak pergi tak mempedulikan Mark. Namun, beberapa saat kemudian langkahnya terhenti. Si Moorson itu juga tahu tentang liontin Baetylus Stone yang dikenakan Isabelle. Saat Will menoleh lagi untuk bertanya, Mark sudah tak tampak disana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro