Part 19: Night Before Storm

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hampir dua jam aku berkeliling menyusuri beberapa deret baju-baju elegan di butik favouriteku. Diluar sana, cahaya matahari yang sudah menggantung rendah, semakin tak tampak oleh gedung-gedung metropolitan. Kaca besar butik ini menampakkan keramaian orang yang berlalu lalang di depan sana.

Kakiku sama sekali tak terasa capek, walau tidak duduk sejak tadi dan bolak balik ke kamar pas. Inilah kekuatan para cewek yang tak bisa diremehkan. Kami mampu berdiri berjam-jam dan berjalan berkilo-kilo jika sedang berburu baju.

Homecoming tinggal dua hari lagi, sementara aku dan Lizzie masih sibuk memilih pakaian. Sebenarnya Jessa berencana ikut, namun kemarin tiba-tiba ia membatalkan janji. Sejak itu Jessa tidak bisa di kontak. Dan pagi ini, sebuah berita pertunangan Adelyn Moore dan Nico Deveron menggemparkan Riverdale High. Kami menebak pertunangan itu akibat kepentingan bisnis. Hal itu menjelaskan perilaku labil Jessa akhir-akhir ini. Tadi, Aku dan Lizzie menyempatkan menjenguknya, namun Mrs.Morgan berkata putrinya tidak ingin menerima siapapun.

"Bagaimana dengan ini?" tanya Lizzie, keluar dari ruang ganti, lalu berputar-putar menunjukkan short dress selututnya. Sepupuku ini selalu berani memilih style pakaiannya. Ia sudah mencoba warna-warna anti-neutral sedari tadi─biru elektrik, merah fanta, rose gold metallic, etc.

"Kurasa warna pastel mint ini yang paling normal daripada warna-warna mencolok yang kau pilih tadi," kataku, mengamati crop-dress selutut yang dipakai Lizzie. Atasannya tanpa lengan dengan deretan crystal di bagian crop nya, begitu pula dengan bawahannya berhias bordiran cristal diatas kain berwarna mint polos.

"Aku tahu kau akan memilih yang ini," kata Lizzie. "Baiklah aku akan membeli ─" ucapannya terpotong oleh tarikan nafas terkejut saat melihat price tag. "Mom akan menggolokku!"

"Tenanglah, aku yang bayar," kataku, menyeringai sambil mengacungkan kartu kredit sewarna titanium elegan. Aku baru saja menyadari blokir kartu kreditku sudah dibuka. Lizzie dengan girang memelukku.

"Kau memang sepupu terbaik, Isabelle," katanya. Aku hanya tertawa. "Kau jadinya membeli yang mana?"

"Pilihan pertama," kataku sambil menunjuk dress putih gading yang tertata rapi diatas meja kasir berlapis marmer.

"Kalau tahu begitu ngapain kau mencoba belasan baju lainnya?" tanya Lizzie sambil memutar bola mata.

***

Hiruk-pikuk Madison Avenue langsung menyambut begitu aku turun dari mobil Lizzie. Kami berjalan menuju bangunan yang terletak di corner. Sebuah bangunan tiga lantai bernuansa modern minimalis dengan dominasi concrete abu-abu gelap itulah tujuan kami untuk makan malam. Bangunan itu begitu minimalis, hingga tak tampak papan nama restaurant tersebut. Namun, aku sangat mengenalnya sebagai restaurant seafood terkenal di New York.

Barusan, Bernard menelfon Lizzie untuk makan malam. Aku hendak menolak dan memilih pulang saja dari pada jadi obat nyamuk, namun Bernard berkata ia sedang bersama temannya.

Begitu masuk, dominasi dinding concrete yang elegan dan modern menyambutku. Tak susah menemukan Bernard yang duduk tidak jauh dari pintu masuk dengan seorang lagi bersamanya. Ia mengangkat tangan memberi isyarat pada kami.

"Mencari Will?" tanya Kyle sambil tersenyum jahil, menyadari pandanganku yang berkelana ke penjuru ruangan. Tanpa sadar aku mencari kehadiran teman mereka satu itu.

Aku mendengus sambil mendudukkan diri disampingnya, karena tentu saja Lizzie duduk di sebelah Bernard.

"Tidak," bantahku, tak sudi mengakui.

"Will tidak pernah ikut kami pergi makan malam," lanjut Kyle, tak mempedulikan sanggahanku.

"Malam ini aku yang traktir, pesan saja sesuka kalian," kata Bernard, menyelamatkanku dari keharusan menanggapi Kyle.

"Thanks, calon sepupu ipar," kataku sambil menyeringai, membuat kapten club basket itu tersipu.

Berbincang-bincang membuat waktu terasa cepat, sebagian besar isi pembicaraan kami adalah tentang Nick dan Adelyn, hingga tak lama kemudian makanan kami mulai tersaji. Mereka semua memesan aneka hidangan seafood sementara aku lebih memilih roasted duck. Aku sedang malas makan seafood.

Kami makan dalam hening, hingga Bernard melihat sesuatu yang menarik di ponselnya, lalu menunjukkan pada Kyle. Aku melirik ke arah ponsel Bernard yang sudah ada dalam genggaman Kyle. Sebuah gambar terpampang jelas diatas sebuah artikel. Menampakkan seorang lelaki berpakaian formal berbicara dalam konferensi pers, disamping foto tersebut terpampang foto hasil jepretan paparazi menampakkan seorang gadis muda.

"Kenapa kau menunjukkan foto gadis cantik ini padaku? Katherina Deaven? Siapa itu?" tanya Kyle yang membaca keterangan dibawah foto, lalu memperbesar foto di artikel. Tiba-tiba tangan Bernard melayang memukul kepalanya.

"Aw!"

"Baca artikelnya, bodoh! Aku tak percaya kau mendapat peringkat pertama ujian semester lalu," kata Bernard, geram.

"Kau akan membuat peringkatku merosot dengan memukul kepalaku," balas Kyle, sambil mendengus kesal. Aku dan Lizzie tak sanggup lagi menahan tawa.

Sekilas aku membaca isi artikel itu 'Putri tunggal Deaven group, penguasa bisnis entertainment asal London secara kebetulan batal menumpangi pesawat yang ternyata berakhir naas, pada detik-detik terakhir......Tragedi meledaknya pesawat komersial tersebut merenggut nyawa pasangan Moore asal Amerika, yang merupakan pemegang saham nomor dua terbesar Group DM setelah keluarga Deveron....'

"Kurasa ini alasan pertunangan Nick," kata Kyle, dengan raut memahami. "Aku tak menyangka tragedi yang menimpa Adelyn seberat ini," lanjutnya dengan raut serius.

"Adelyn tidak memiliki banyak teman. Ia pasti merasa kesepian saat menjalani prosesi pemakaman," sahut Lizzie yang gampang berempati dengan orang lain.

"Kalian bisa ikut denganku ke ibadah pemakaman orang tua Adelyn hari minggu ini sebagai perwakilan dari Riverdale High. Kalau hanya aku dan Carmen yang pergi, bisa gawat," kata Kyle, kembali melanjutkan makannya.

"Boleh saja," jawabku, teringat statusku yang masih dikenal sebagai anak pemilik sekolah.

"Aku ikut. Bagaimanapun Adelyn tunangan sahabat kita. Namun, aku masih tak sanggup membayangkan bagaimana perasaan Jessa," Bernard berkata sambil mendesah, membuat kami semua terdiam, tak tahu harus menjawab apa.

"Memangnya kau sudah kembali ke New York?" tanyaku pada Kyle, setelah hening sesaat. Aku teringat ia tidak datang ke Homecoming besok. Kyle mengangguk.

"Aku tak akan membiarkan kau berduaan dengan Will lama-lama. Sudah cukup aku merelakanmu pergi dengannya ke Homecoming party," katanya sambil nyengir. Aku hanya tersenyum masam. Aku heran kenapa ia hobby sekali menggodaku.

***

Seorang pelayan membukakan pintu untukku dan Kyle. Begitu melangkah keluar, udara musim semi langsung menerpa seiring kami berjalan menuju mobil Kyle. Beberapa saat yang lalu, aku dan Kyle sadar diri kalau Lizzie dan Bernard butuh waktu berdua. Kyle inisiatif menawarkan tumpangan, karena aku menyuruh Lizzie membawa sendiri mobilnya pulang. Aku benar-benar menghindari menyetir sendirian jika tidak terpaksa. Dan Kyle sudah tahu alasanku adalah karena aku mudah panik dan kaget saat sesosok makhluk lain tiba-tiba lewat di depanku.

Kami menyusuri trotoar Madison Avenue, melewati bangunan-bangunan berwarna merah bata dan beberapa toko. Sekilas aku melihat sesosok pemuda pucat berambut hitam dengan perawakan tinggi kurus, keluar dari salah satu bangunan delapan lantai berdinding bata agak usang dengan jendela bergaya gothic di depan sana. Bangunan itu terlihat berbeda─lebih kuno, dibanding toko-toko yang ada di sebelahnya.

Aku tidak mencurigai apa-apa sampai pandanganku jatuh pada jarinya yang berkuku panjang dan runcing. Pemuda itu berbelok ke arah kami tanpa memperhatikan sekitarnya.

Aku menghentikan langkahku, menarik Kyle ikut berhenti, tepat saat pemuda itu menoleh kearah kami. Jaraknya dengan kami hanya terpisah sebuah toko kecil, yang berada tepat di samping bangunan gothic tadi.

"Apa kau berpikiran sama denganku? Dia bukan manusia," bisikku.

"Itu vampir," kata Kyle, ia tampak gelisah.

Pemuda pucat itu tiba-tiba menyeringai seolah mengenali kami. Mataku melebar terkejut.

"Apa ia baru saja menyeringai ke arah-"

"Lari!" sergah Kyle, sambil menarik tanganku. Kami berlari kembali kearah restaurant tadi, menerobos beberapa pengguna trotoar yang berteriak saat tertabrak. Aku mencoba menoleh, untuk memastikan seberapa jauh jarak diantara kami. Vampir itu sedikit terhambat oleh para pejalan kaki. Kyle yang menyadari aku menoleh kebelakang langsung memperingatkan,

"Jangan menoleh lagi, ia bisa tiba-tiba menghipnotismu." Aku mengangguk menurut. Kami terus berlari hingga melewati restaurant tadi, lalu berbelok kearah 75th St yang menuju Park Avenue.

Aku tidak tahu bagaimana rupa vampir itu bagi manusia biasa, namun Vampir sesungguhnya tak setampan vampir-vampir dalam serial The Vampire Diaries. Aku hanya lega mereka tidak bergerak secepat di film.

Tak lama setelah berbelok ke 75th St, aku melihat sebuah bangunan dengan pekarangan terbuka dan aku langsung menarik Kyle untuk bersembunyi di balik tembok pendek pekarangan tersebut. Untungnya cukup banyak pejalan kaki yang bisa menyamarkan kami.

"Kalau vampir itu menemukan kita, apa yang harus kita lakukan? Menusuknya dengan kayu?" bisikku sambil mengatur nafas, teringat serial yang kutonton. Dalam cahaya remang-remang aku melihat Kyle mengernyit heran.

"Vampir tidak bisa dibunuh dengan kayu. Dan kuharap ia tidak bisa menemukan kita. Aroma tubuh para pengguna jalan lainnya akan mengacaukan inderanya," kata Kyle. Aku hanya mengangguk. Kyle tahu cukup banyak tentang monster-monster.

"Kenapa dia mengincar kita? Untuk meminum darah?" bisikku, panik. Kyle langsung menatapku tak percaya.

"Kau keracunan serial TV, Isabelle. Vampir adalah parasit yang membutuhkan energi kehidupan kita untuk bertahan hidup, darah hanyalah visualisasi energi itu. Benar kata Will, kau benar-benar parah," kata Kyle, sambil berhat-hati mengintip kearah trotoar. Aku tetap merunduk dibalik tembok. Tiba-tiba Kyle merunduk kembali sambil menahan nafas. Aku sadar itu artinya si vampir ada disekitar sini.

Aku berusaha sekuat mungkin menarik nafas perlahan, sementara jantungku bertalu-talu. Hingga suara sesuatu yang keras menghantam kaca depan mobil dan alarm yang langsung meraung, mengagetkanku. Tanpa suara, aku dan Kyle saling memandang keheranan. Lalu, Kyle memberanikan diri untuk mengintip apa yang terjadi dibalik dinding ini.

"Dia sudah hilang," kata Kyle, sambil beranjak berdiri. Aku menghembuskan nafas lega.

Begitu aku dan Kyle kembali menginjak trotoar, bekas serpihan kaca tempered berserakan di sekitar mobil SUV abu-abu yang masih meraung-raung. Kerumunan orang mulai terbentuk disana. Dari percakapan mereka, aku menangkap garis besar kejadian tentang seorang pemuda yang ngamuk baru saja berulah. Dari kekuatan hantaman yang tampak tak masuk akal, aku tahu itu ulah si vampir.

Di kejauhan yang mengarah ke Park Avenue, aku menangkap sosok pemuda pucat yang sedang berbicara dengan seseorang berbadan kekar yang tampak sangar, beraura seperti bos penjahat. Aku berdengap terkejut.

"Dia masih disana," kataku. Kyle mengikuti arah pandangku. "Cepat pergi dari sini," desakku lagi saat Kyle masih berdiri mengamati si vampire dan seorang lagi.

"Cateno? Apa yang ia lakukan di kota," gumamnya.

"Hah? Siapa?" tanyaku keheranan.

"Hm, salah satu pegawai Will yang tak kusukai. Aku pernah berurusan sekali dengannya," kata Kyle tampak begidik. "Ayo pergi, selagi banyak orang berkerumun disini," lanjut Kyle, mengisyaratkan untuk bergegas kearah yang berlawanan. Aku mengerutkan kening membayangkan Will memiliki pegawai menyeramkan begitu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro