Part 2: Promise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku bisa mendengar suara desiran angin diantara sayap-sayap hitam para malaikat neraka yang mendekat ke arahku. Jubah hitam mereka berkibar anggun. Tak peduli seberapapun menawannya wajah-wajah pucat itu, mereka adalah para prajurit Lucifer. Mereka dikenal dengan sebutan Demons. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku tidak merasa takut lagi pada mereka. 

Setetes keringat dingin menuruni punggungku dengan sangat perlahan dan tangan kananku mencengkeram lembut gaun putih panjang yang kukenakan, seiring mereka mendarat di hamparan rumput dihadapanku atau tepatnya tiga orang itu. Salah satunya adalah Dean, orang kepercayaan Gregory. Aku menunggunya untuk berbicara dahulu, selagi pikiranku panik meneriakkan Will! Dimana kau?!

"Greetings, Angel," Dean menyapa penuh nada mengejek.  Mata hijaunya berkilat licik. Angels, adalah sebutan untuk kaumku. Dan kaum kami berdua tidak pernah ditakdirkan untuk berbaikan, tapi aku dan Will membuat pengecualian itu. Seharusnya Angels dan Demons tak bisa bersama, tetapi ada satu cara yang bisa membuat Angels dan Demons bersatu, yaitu menjadi manusia. 

Seharusnya Will sudah ada disini untuk menjalankan ritual itu! Ritual untuk menjadi manusia!, batinku.

"Ada apa kau kesini, Dean?" tanyaku, menjaga suaraku tetap terkendali. Aku mulai merasa ada yang tidak beres.

"Will memintaku untuk menjemputmu," katanya. Tidak mungkin! Aku jelas-jelas ingat apa yang dikatakan Will waktu itu, 'Nanti malam, tunggu aku di bukit Ivory, Aurielle. Dan aku ingin mendengar jawabanmu'. Dengan senyum paling bahagia yang pernah kulihat diwajahnya yang rupawan.

"Well, apa yang dikatakan Will tepatnya? Ia tidak pernah bilang kaulah yang akan menemuiku disini," desakku, mengulur waktu. Pikiranku terus meneriakkan nama Will, berharap mungkin tiba-tiba saja ada sambungan telepati.

"Kau tidak percaya padaku?" Dean tertawa mengejek. Dua kawanannya mulai merinsek maju hingga masing-masing berada dikanan kiriku. 

"Apa-apaan ini?" Tanyaku mulai melangkah mundur, bersiap-siap mengembangkan sayapku dan pergi dari sini.

Dean tertawa. "Kau benar, Will tidak pernah menyuruhku kesini, tapi kau sudah tidak bisa lari lagi, Aurielle," 

Aku berdengap terkejut. Sayapku sudah hendak menghempas ke udara, tapi Dean sangat cepat. Ia melesat maju dan menusukkan sebuah belati. Belatinya melesak masuk dengan sangat menyakitkan, dan menikam beberapa senti tepat di bawah jantungku, tapi bukan itu masalah utamanya. 

Aku tahu belati ini. 

Ini adalah belati beracun, Orcus. Bahkan, sayatan kecilpun dapat membunuh. Begitu Dean menariknya, darah merah cerah mengucur deras menyebar dengan cepat di gaun putihku. Mulutku terbungkam oleh rasa sakit yang hebat.  Aku hanya bisa menatapnya penuh emosi tanpa bisa berkata-kata. Pandanganku berbayang oleh air mata. Dua orang kawanan yang lain mencengkeram kedua lenganku, sementara Dean menatapku dengan dingin.

"Bagaimana rasanya ketika mimpi indahmu hendak menjadi kenyataan, lalu semuanya hancur begitu saja? Sungguh malang nasibmu dan Will." Ia menengadahkan daguku dengan kasar. "Apa racun Orcus mulai membakar pembuluh darahmu? Will hanya akan menemukan mayatmu dengan jantung yang sudah tidak ada didalam rongganya," desis Dean dengan kilat kejam menyala dimatanya. Aku bahkan tidak bisa membalas perkataannya.

 Air mata mulai menuruni pipiku, bukan karena kesakitan, namun karena aku memikirkan Will. Senyumnya terbayang lagi dibenakku saat kegelapan pelan-pelan merenggutku. Bayang-bayang kenangan itu terasa sangat nyata seraya kesadaranku mulai hilang. 

'Setelah ini, kita akan hidup bersama dan bahagia selamanya ditengah dunia manusia. Kita akan memiliki sebuah keluarga yang indah lalu kita akan tua bersama-sama. Dan mungkin saja nanti setelah mati sebagai manusia, aku bisa masuk surga,' katanya saat itu sambil tersenyum miring. Mata abu-abunya yang menyala oleh kebahagiaan, membuatku luluh. "Aku tahu, seorang Demon tidak bisa mengucapkan janji-janji suci pernikahan. Katamu, janji-janji itu bisa membakar lidahku. Tapi kita akan segera menjadi manusia. Jadi, Aurielle, would you marry me?" Will bertanya penuh harap. Mata indah itu terlihat serius sekaligus lembut. 

Aku bisa merasakan dua tetes air mata menuruni pipiku. Aku menggumamkan namanya sebelum kegelapan total melingkupiku. Entah apa aku masih memiliki kesempatan untuk menjawab pertanyaanmu Will, batinku.

***

"Sebastian, apa menurutmu ini bahkan masuk akal?" Omel seorang pemuda yang sedang berselonjoran di luar kandang besi besar berisi seekor Drakon besar yang sedang menyantap beberapa hewan. "Aku merasa terhina. Bisa-bisanya Gergory menyuruhku memberi makan Drakon miliknya. Seperti kekurangan pelayan saja." Wajah tampan itu mengerut kesal.  Melempar beberapa kelinci kedalam kandang itu, sebagai camilan tambahan bagi si Drakon.

 Ia adalah pangeran Underworld, tangan kanan sang raja, jendral yang memimpin pasukan Underworld. Namun, menjadi pengasuh binatang buas tidak termasuk dalam tugas Will. 

"Well, Your Majesty, William the Prince of Underworld, anda sudah menggerutu jengkel sejak beberapa jam yang lalu." Pemuda berambut cokelat ikal bernama Sebastian itu hanya menggeleng. Kupingnya sudah panas mendengar gerutuan sahabatnya dari tadi.

Kedua pemuda berperawakan atletis tersebut berselonjor di hamparan rumput luas, di bawah langit malam bertabur bintang

Kandang Drakon ini berada di salah satu bukit paling terpencil di dunia manusia. Entah ada alasan apa, kakaknya, Gregory, tiba-tiba memintanya untuk memberi makan si Drakon ini. Biasanya, Gregory akan datang sendiri untuk memberi makan si Drakon yang bisa dibilang semacam 'Kuda' bagi Gregory. Setiap raja selalu punya binatang peliharaan sendiri. Dan khusus Drakon, hanya bisa diberi makan oleh pemiliknya sendiri atau orang yang memiliki hubungan darah dengan sang raja. Jika tidak, orang itu yang akan menjadi santapan si Drakon.

"Seingatku, sudah berbulan-bulan Raja tidak memberinya makan. Mungkin ia khawatir peliharaannya mengamuk dan menghancurkan kandang lalu makan dengan liar," jelas Sebastian, menenangkan. Ini sudah kali kelima ia berkata begitu. Will bisa bersikap seolah tuli kalau ia sudah kesal, dan saat ini ia sedang beraksi.

Beberapa saat kemudian, ia melihat Will merebahkan diri berbantal kedua tangan yang terlipat, matanya terpejam. Akhirnya ia kecapekan berbicara, pikir Sebastian, menghela lega. Tiba-tiba saja dunia seolah menjadi damai. Si Drakon pun tampak hendak tidur akibat kekenyangan. Ia sendiri cukup lelah. Tempat ini cukup jauh dari istana, butuh tenaga ekstra untuk memacu sayapnya kemari. Saat Sebastian hendak mencoba tidur,  Will berbicara lagi. 

Oh! Tidak, batin Sebastian.

"Menurutmu Aurielle benar-benar mendapat surat itu? Elangmu tidak kesasar kan?" Tanya Will tiba-tiba. 

Syukurlah, topik baru.

"Ya, dan tentu saja tidak. Grassor tidak pernah tersesat sekalipun." Sebastian menyahut cepat. Will berani-berani meremehkan Elang kesayangannya. Ia menyadari ekspresi Will tampak sedikit suram. "Kenapa?" Tanyanya.

"Entahlah. Aku merasa gelisah dari tadi," jawab Will, menggeleng resah. "Seharusnya, sekarang aku dan Aurielle sudah menjadi manusia jika tidak ada tugas sialan ini." 

"Sabarlah! Aku sangat yakin Aurielle pasti maklum dan sabar menunggu hari esok." Sebastian berdecak. "Jadi tolong teladani sifat Aurielle itu dan berhenti uring-uringan." 

Will hanya membalas dengan senyum kecut. Sebastian ingat sekali, tadi Will menulis surat penundaan pada Aurielle sambil mematahkan sekitar 2 pena karena menekan terlalu keras, saking jengkelnya. Walaupun jari-jarinya ramping, tapi kekuatannya berlipat ganda saat ia sedang jengkel.

"Menurutmu kalau aku nanti sudah menjadi manusia, kita masih bisa tetap bersahabat? Kau tahu, biasanya Demon dan Manusia tidak bersahabat," kata Will. Topiknya tiba-tiba berubah lagi.

"Yeah, malaikat dan iblis juga seharusnya tidak berpacaran. Jadi, tentu saja ya," kata Sebastian sambil memutar bola mata. Will tersenyum miring. "Kuharap kalau kau punya anak nanti, anakmu mewarisi semua sifat Aurielle," lanjut Sebastian sambil nyengir. Sekarang Will yang memutar bola mata.

"Ada apa lagi sekarang?" Gumam Will. Matanya memicing memandang langit. Sebastian mengikuti arah pandang Will sambil mengerutkan kening penuh pertanyaan.

"Itu Nathan?" Sebastian memastikan, sambil memandangi seorang demon yang melayang mendekat kearah mereka dan tampaknya terburu-buru.

 Will meloncat berdiri dengan mulus, begitu juga Sebastian.

"Will! Kau harus kembali sekarang juga!" teriak Nathan, bahkan sebelum ia mendarat.

"Whoa, relax man. Mendaratlah dulu dengan selamat," kata Sebastian, santai. Tapi Will tampak menegang, seolah ia tahu dari tadi ada sesuatu yang salah.

"Ada apa?" desak Will.

"Aurielle." kata Nathan ditengah nafas yang terengah-engah. Ia terlihat seolah habis lari beribu-ribu mil. Will seolah tersengat listrik saat mendengar nama itu. Ia mencengkeram pundak Nathan dengan kedua tangannya.

"Apa yang terjadi padanya? Katakan!" serunya. Kegelisahannya ternyata beralasan. Dan sekarang Will merasa terlalu ngeri untuk mendegar apa yang terjadi pada Aurielle. Kalau tidak sangat buruk, Nathan tidak akan terbang secepat tornado kemari.

"Will! Tenanglah," kata Sebastian, berusaha melepaskan cengkeraman Will dari pundak Nathan.

"Gregory-Ia-akan membawa Aurielle ke istana." Perkataan Nathan terputus-putus oleh nafasnya yang pendek-pendek. 

Seketika itu juga Will menyentakkan tangannya dari pundak Nathan, membuat pemuda itu terjatuh ke rerumputan kehabisan tenaga. Mata abu-abu Will  dipenuhi oleh nyala amarah, tapi ia masih diam. Bibirnya membentuk satu garis lurus. Kengerian ini akhirnya terbukti. Gregory menangkap Aurielle-itu bukan hal yang tidak diduganya. Ia tahu tentang apa yang diinginkan Gregory.

"Apa yang akan dilakukan Gregory?" tanya Will dengan kaku.

"Orcus."

"Apa?!" Seolah seseorang baru saja menamparnya. Tidak butuh penjelasan lebih lanjut tentang apa yang terjadi. Nama belati itu saja sudah cukup.

"Aku berusaha secepat mungkin mencarimu kemari saat aku mendengar Gregory menyuruh Dean membawa Aurielle ke istana, tepatnya ke Cruciatus Field," kata Nathan, setelah ia mendapat kendali atas nafasnya lagi. 

Will tampak akan mengamuk saat itu juga.

"Dean! Aku akan membereskannya begitu aku melihat wajahnya," geram Will dengan gigi terkatup. Sudah pasti salah satu antek Dean menghambat surat untuk Aurielle. Hanya dengan cara itu, ia bisa mendapatkan Aurielle.

"Racunnya! Kau harus cepat!" Kata Sebastian, ia panik setengah mati sekarang setelah mendengar Orcus.

"Aku tahu! Hanya saja, butuh berjam-jam bahkan kalau aku terbang secepat mungkin!" Bentak Will. Tangannya gemetar oleh amarah, rasanya ingin menghantam sesuatu. "Seharusnya aku tidak kemari," ia kesal pada diri sendiri. 

Sebuah ide tiba-tiba menyentaknya. Will menoleh ke kandang Drakon dan menghampiri kandang itu secepat mungkin.

"Apa yang akan kau lakukan?" Seru Sebastian, mengangkat kedua tangannya ke udara

"Well, aku tidak bisa terbang cepat, tapi makhluk ini bisa. Dan tepat saat aku tiba di depan Gregory, aku akan memotong leher binatang peliharaannya ini," kata Will, nada suaranya tenang, penuh tekad. Ia tahu, membunuh peliharaan Raja, sama dengan tanda pemberontakan mutlak seperti memotong leher sang raja sendiri. Untung saja si Drakon tidak mengerti apa yang diucapkan Will. Dengan sigap, ia mengeluarkan Drakon itu dan langsung melompat dengan luwes ke punggungnya. Sebastian dan Nathan tidak bisa berbuat apa-apa.

"Drakon tidak bisa ditunggangi selain oleh pemiliknya!" Seru Nathan.

"Aku tidak peduli. Ia harus menurut kalau aku memaksa," kata Will. Ajaibnya, si Drakon menurut walaupun dengan menggeram-geram. Tampaknya aura amarah Will mengalahkan insting makhluk itu. "Ini berarti perang. Kau yang memulai dahulu, Gregory," desisnya. Mata abu-abunya berkilat berbahaya.

"Will! Kendalikan dirimu," teriak Sebastian, yang hanya dianggap angin saat Will mulai memacu Drakon itu ke istana. Pikirannya hanya dipenuhi oleh Aurielle. Apa yang terjadi padanya? Bagaimana ia sekarang? Apakah ia masih.... 

Will tidak berani melanjutkan pertanyaannya yang terakhir. Ia terlalu ngeri membayangkan bagaimana racun Orcus bekerja. Tiba-tiba saja, semua mimpi indahnya hancur berantakan tepat disaat-saat terakhir. Perjuangannya dengan Aurielle selama ratusan tahun yang akhirnya akan mencapai akhir bahagia, lalu boom! Semuanya berantakan. "Gregory." Will menggumamkan kata itu seolah kata kutukan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro