Part 21: A Homecoming Like Hell

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Surprise! 

Author's note: Haii readers! Here's an extra part for this week hehe (ada yang gigih minta tambahan update) Thank you buat yang sudah baca sampai part ini. Please vote dan comment yah ^^

Sorry, Isabelle batin Will. Ia memasukkan kembali ponselnya. Dari pelataran parkir ini, ia bisa menatap ruangan remang-remang berdinding kaca dikejauhan, penuh dengan pasangan yang sedang menari. Tampak tak terpengaruh oleh kekacauan diluar sini.

Will tak bisa menerima telfon yang mungkin berisi omelan Isabelle, menuntutnya masuk ke ruang pesta sekarang juga. Tidak, selagi puluhan pasang mata vampir sedang menatapnya. Hampir setengah dari mereka telah tumbang dengan mudah. Pelataran parkir yang telah sunyi ini dipenuhi oleh nyala titik-titik api merah. Tubuh-tubuh yang berserakan terbakar dalam api merah itu, perlahan berubah menjadi debu. Jeritan mereka berangsur lenyap tertelan kesunyian malam.

Will menyadari sang leader klan tidak ada disini. Para vampir ini hanyalah ciptaan sang leader. Manusia-manusia yang dapat menahan racun sang leader dan berubah menjadi vampir. Tidak semua manusia begitu saja berubah menjadi vampir jika racun mengalir dalam darah mereka. Sebagian besar akan mati terkena efeknya. Dan walaupun mereka berhasil bertransformasi, racun mereka tidak bisa menciptakan vampir lain, hanya membunuh atau melumpuhkan mangsanya.

Hanya vampir sesungguhnya yang keluar dari lembah-lembah gelap di dasar bumi lah yang bisa menciptakan vampir lain menjadi anggota klannya. Ulah pemimpin klan yang ingin memperbanyak bawahannya inilah yang membuat bisnis Human-trafficking semakin marak.

"Apa kalian mau tetap bertindak bodoh mengikuti perintah pemimpin klan kalian untuk menyerangku dan berakhir di dalam api?" tanya Will sambil mengedik kearah titik api terdekat. Api merah masih menari di jari-jarinya, semengerikan nyala merah menusuk di matanya. "Katakan alasan kalian kemari."

Beberapa diantara mereka mulai berpandangan ragu. Hingga seseorang menyela maju, meredakan keraguan mereka.

"Perintah kami hanyalah untuk melawan anda," kata seorang pemuda yang memiliki wajah khas amerika latin. "Jangan mengecewakan Lord Alister!" ia meneriaki klannya yang mulai meringsut takut. Tampaknya ia wakil sang leader.

Will tersenyum sarkastik. Setelah membereskan para anak buah tak berotak ini, ia akan menemui leader mereka yang tampaknya sama bodohnya. Ia tak percaya sekitar seratusan vampir yang tadi menunggu dibalik taman-taman parkiran ternyata bermaksud mencarinya, bukan untuk mengincar Isabelle.

Para vampir itu mulai melemparkan diri kearah Will. Bunyi keretak tulang-tulang patah kembali terdengar saat ia menampis tangan-tangan yang mengincar jantung dan lehernya, berusaha mengoyak nadi yang berdenyut itu. Saat Will mengusap cakaran di lehernya, bekas noda darah mengotori punggung tangannya. Ia hanya menatap dengan datar. Rasa sakit seperti itu tak ada artinya bagi Will.

Pekikan-pekikan mewarnai malam saat api menjalar dari tangan Will ke tubuh para makhluk itu. Ia menangkap salah satu tangan seorang wanita vampir yang baru saja menghantam rusuknya dengan keras, membuatnya menggertakan gigi. Dengan keras, ia melempar tangan itu kesamping. Sesosok lagi menggelayutinya dari belakang, sambil berseru,

"Aku akan membunuhmu!"

Will membalikkan keadaan dengan membanting sosok itu kedepan, lalu menumpukan tubuh di lantai sambil setengah berlutut dengan, tangan kanan mencengkeram leher vampir pria itu. Ia menatap Will penuh benci. Mungkin salah seorang vampir yang berarti bagi pria itu telah terbunuh.

"Usahamu untuk membunuhku sia-sia saja. Percayalah, aku bahkan tidak bisa membunuh diriku sendiri," kata Will menyeringai dengan sirat kepahitan didalamnya. Mata merahnya menyala-nyala oleh aura kekuasaan.

***

Aku harus menyelamatkan diriku sendiri, batinku, tak lagi berharap pertolongan Will, setelah ucapan si vampir yang membuatku syok. Kaki telanjangku menyentuh granite tile yang dingin, tertatih-tatih menghindari segala pecahan kaca yang berhamburan. Aku mengernyit saat beberapa pecahan kecil menusuk telapakku. Baku tembak peralatan makan baru saja terjadi. Aku mencari-cari di tumpukan peralatan di atas meja, berusaha menemukan apapun yang mungkin bisa kugunakan untuk melawan si vampir.

Untuk sementara waktu, vampir itu disibukkan oleh sepasang kekasih yang baru saja memasuki ruang pesta tepat saat vampir itu berhasil mencengkeram kedua tanganku. Tanpa berpikir, kedua manusia tadi berusaha menolongku. Setelah berhasil terlepas, aku meneriaki mereka untuk pergi dari sini, namun mereka inisiatif melabrak si vampir. Saat itulah aku berlari menuju meja-meja di tepian ruangan ini.

Suara pekikan membuatku secara spontan meraih sebuah garpu besi berat. Kyle berkata, kayu tidak mempan untuk vampir, mungkin saja besi berdampak lain. Saat aku berbalik, pemandangan mengerikan menyambutku. Kedua orang tadi sudah tergeletak tak berdaya di lantai. Vampir itu mengangkat kedua tangan yang masing-masing berada di atas luka menganga kedua korbannya.

Aku menyadari aku baru saja melihat vampir itu menyerap habis energi kehidupan mangsanya. Noda darah yang menetes di lantai tak membuatnya menjadi beringas. Tak pernah sepanjang hidupku, aku menyaksikan pembunuhan tepat didepan mataku. Tubuhku mematung, berat rasanya untuk menggerakkan otot-otoku. Buku-buku jariku memutih, mencengkeram erat garpu besi ditanganku.

Vampir itu tak langsung mencariku, pandangannya teralih ke dinding kaca besar. Apapun yang dilihatnya di kejauhan, hal itu membuat si vampir tampak muntab. Sebelum ia berbalik, aku memaksa kakiku untuk bergerak, dan menabrak pasangan yang sedang menari. Aku mengenali wajah mereka.

"Bernard! Lizzie! Cepat keluar dari sini!" teriakanku yang gemetar beradu dengan musik yang masih berdentum. Aku tahu teriakanku percuma tapi aku masih mencoba.

Entah apa yang terjadi pada semua orang di dalam sini. Secara mengerikan, mereka tak hentinya menari. Seolah mereka semua hanyalah kumpulan boneka kotak musik kaku yang berputar-putar. Hal ini membuatku benar-benar merinding. Sudah berkali-kali aku berteriak meminta tolong pada Bernard, Nick, Lizzie, teman-temanku lainnya, bahkan Adelyn, dan orang-orang di dalam ruangan ini. Namun, pandangan mereka tak pernah beralih dari pasangannya. Dan senyum mereka selalu sama. Aku mencurgai minuman dan snack yang ditawarkan tadi lah yang menyebabkan semua ini.

"Waktuku hampir habis! Aku tidak peduli lagi dengan pesan Master untuk tidak menyakitimu. Kegigihanmu benar-benar luar biasa," Aku mendengarnya berkata dengan gusar dan mengumpat-ngumpat.

Langkahku semakin cepat melintasi Hall yang tampak seperti neraka ini, menuju ke arah pintu keluar.

Buk! Buk! Buk!

Suara manusia yang berjatuhan kelantai mengiringi langkahku yang semakin cepat. Otot-ototku mulai lelah.

Tidak ada jeritan apapun yang terdengar dari mereka.

Aku tak berani menoleh, namun pikiranku menduga si vampir sedang menyingkirkan para manusia bagai boneka itu dari jalannya. Tak mempedulikan sisa pecahan kaca yang menusuk-nusuk menyakitkan, aku terus berlari menyusuri lorong berisi foto-foto alumni, terus melanjutkan menuju lobby utama yang terang benderang.

Lobby luas dan tinggi yang sepenuhnya berdinding kaca ini membuatku merasa sedikit lega, hingga cengkraman kuat menarik kedua lenganku. Aku menarik nafas tajam, secara spontan menusukkan garpu besi yang masih kupegang pada apapun yang berada di belakangku.

Vampir itu berteriak terkejut, melepaskan cengkramannya padaku.

Aku berbalik sedikit, melihat bekas tusukan di pahanya sedikit berasap. Besi adalah kelemahannya! Pikiranku bersorak senang. Keputusasaanku mulai berkurang. Namun hal itu tidak berlangsung lama begitu si vampir kembali menyerang ke arahku. Aku memejamkan mata rapat-rapat menghindari tatapannya. Dan yang terjadi kemudian, aku berteriak. Sepasang gigi tajam menghujam lengan kananku.

***

"Katakan!" teriak Will diantara api-api merah yang telah membubung tinggi. Ia menatap vampir terakhir yang tersisa, dengan dingin. Bukan tanpa alasan, Will ditakuti oleh para Demons yang ada di muka bumi ini. Ia bisa menyiksa dengan tatapannya, secara harafiah. Mengirimkan kesakitan itu kedalam benak musuhnya.

"Lord..Lord Alister...berada di dalam," kata si wakil leader, di sela teriakan kesakitannya. "Gadis yang mengenakan Baetylus Stone itu!..ia menemui gadis itu..," racaunya lagi.

Will mengumpat dalam hati. Sebuah pemikiran merebak dibenaknya, keadaan ruang pesta yang tampak baik-baik saja dari kejauhan itu pasti hanya muslihat semata.

"Am..ampuni saya!" pintanya.

"Aku tak pernah berjanji membiarkanmu hidup jika kau menjawab pertanyaanku," kata Will dengan dingin. Api merah menyambar vampire itu dari kekosongan. Teriakan terakhir membubung bersama nyala api-api itu.

Dari kejauhan Will mendengar sirine bising mobil-mobil polisi yang pasti datang diikuti The Nox. Ia tidak ingin berurusan dengan organisasi berisi manusia indigo itu. Secepat kilat, Will menuju pintu masuk sekolah, tepat ketika mendengar jeritan melengking Isabelle.

"Menyingkir darinya," seru Will begitu memasuki lobby berdinding kaca tinggi dan terang benderang ini. Tanpa aba-aba, ia menarik sang leader—Alister dengan kuat. Menjauhkannya dari Isabelle. Gadis itu langsung jatuh berlutut sambil membekap lengan kanannya di sekitar siku. Setetes darah merambat keluar dari celah jari-jari tangannya. Entah kenapa, melihat hal itu membuat Will menggertakkan giginya. Hanya ada waktu sekitar satu jam sebelum racun itu merebak ke seluruh tubuhnya.

***

Hanya sebagian kesadaranku yang memperhatikan pergelutan tidak imbang di depan mataku. Raut wajah Will tampak dingin, pertanda moodnya yang buruk. Anehnya aku merasa lega oleh kehadiran Will. Vampir tadi mulai meringsut gelisah. Sebagian kesadaranku masih tersita oleh rasa sakit menusuk-nusuk yang menjalar dari lengan kananku. Aku hanya mendengarkan percakapan mereka yang simpang siur tanpa menaruh perhatian lebih.

Perkataan si vampir yang tadi membuatku syok dan tak percaya, terngiang kembali. "Ia berkali-kali lipat lebih mengerikan dari Demons manapun yang pernah kau lihat...Benar bukan? Sadarlah, ia penguasa Underworld, bukan malaikat pelindungmu." Ketenangan Will saat menghadapi si wanita ular menguatkan perkataan vampir itu.

Dengan ngeri aku melihat Will mencengkeram leher si vampir. Aku menarik nafas tajam saat sebuah gambaran tak dikenal menyeruak di benakku. Sebuah kilasan Will melakukan hal yang sama dengan seorang makhluk kecil bersayap, kulitnya bersisik, dan memiliki tanduk kecil di kepalanya—Imp, bawah sadarku memberi tahu. Ingatan apa itu? Salah satu mimpiku? Tidak, bukan. Lalu, kenapa aku tidak mengingatnya sebelum ini?

Detik berikutnya, pikiran meracauku terhenti oleh teriakan yang memekakan telinga. Secara refleks aku memejamkan mata dam menutup telingaku kuat-kuat.

Suasana kembali hening.

Hanya Will yang sedang menatap ke arahku dengan pandangan yang sulit diartikan dan seonggok debu yang ada dihadapanku sekarang. Aku melihat cincin merah di irisnya benar-benar menyala. Seharusnya aku berteriak takut, alih-alih merasa familiar.

***

Walaupun tidak mendapatkan jawaban memuaskan, Will telah membalas kekesalannya pada pemimpin klan itu, Alister, yang berani-berani melawannya.

Will juga telah mendapatkan kalung Isabelle.

Semuanya sudah selesai. Ia bisa pergi dari sini sekarang juga.

Namun, tatapan Isabelle membuat Will tidak bergeming. Sulit menebak apa Isabelle menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Namun, tidak ada sirat ketakutan di mata gadis itu.

Apa peduliku? Pikir Will. Akhirnya, memutuskan untuk melenggang pergi.

Bunyi retakan kaca yang merambat, menghentikan langkahnya. Will mendongak ke arah kaca tinggi yang berada tepat di samping Isabelle. Pasti gara-gara teriakan si vampir tadi. Isabelle tak menyadari maut yang menunggunya itu, karena gadis itu sedang menunduk sambil mencengkeram lengannya lebih kuat. Wajahnya memucat oleh rasa sakit.

Kaca tempered itu sudah memburam.

Will menatap Isabelle lagi.

Untuk apa aku menolongnya? Batin Will. Ia teringat kalung yang tersimpan aman di sakunya.

Bunyi retakan kaca semakin kuat, terancam jatuh setiap saat.

Kaca buram itu meliuk mengerikan.

Yang Will sadari, detik berikutnya, ia sudah mendekap Isabelle dengan protektif. Ia tak percaya, desakan aneh untuk menyelamatkan gadis itu berhasil mengalahkan akal sehatnya. Sayapnya terentang untuk melingkupi mereka berdua saat serpihan kaca menerjang turun.

***

"It's over, Isabelle," Bisik Will menenangkan, sambil mengusap lembut kepalaku. Aku baru menyadari tubuhku gemetaran. Wajahku terkubur di dadanya. Gerakan nafas Will yang tenang, merambat padaku, perlahan membuat perasaanku menghangat. Aku merasakan Will mengeratkan dekapannya.

Aku tak percaya Will baru saja melemparkan dirinya kearahku, menjadi tameng saat butiran kaca menghujani kami.

Sesaat kemudian ia menjauhkan dekapannya, agar bisa menatap wajahku. Mata abu-abu gelap itu mengamatiku, nyala merah dimatanya sudah padam.

"Kau terluka," kataku, menyentuh ringan wajah rupawannya yang tergores di beberapa tempat. Dan aku baru menyadari noda darah mengotori kemejanya disana sini.

"Ini tidak ada artinya." Ia menggeleng, menggenggam tanganku untuk menurunkannya.

Tiba-tiba aku merasa déjà vu. Kilasan kejadian serupa, merebak.

Lapangan batu kuno yang penuh obor. Jeritan jiwa-jiwa yang memekakan telinga. Will juga ada disitu, mendekapku dengan protektif—

"Aku akan membawamu, untuk mengurus gigitan vampir itu." Suara Will mengembalikan kesadaranku yang tinggal setengah, ke saat ini. Aku mengangguk pasrah.

Saat kesadaranku semakin menghilang, ingatan aneh tadi berlanjut. Suara Will terulang dalam benakku.

"Aku tidak akan pernah membiarkan siapapun membuatmu terluka lagi. Aku bersumpah!"

Kapan Will pernah berkata begitu?

***

Sepasang mata biru cerah mengamati Will yang meraup gadis itu kedalam gendongannya. Wajah cantiknya menatap tanpa ekspresi. Mereka sudah dekat dalam waktu sesingkat ini, batinnya.

"Rencanamu hancur berantakan," kata gadis bermata biru itu. Suaranya terdengar merdu. Seseorang dengan jubah bertudung disebelahnya, mengepalkan tangan kuat-kuat, tak menjawab. "Kau seharusya mendengarkan saranku untuk tidak membuat gadis itu pergi dari New York dengan cara menyerangnya. Sekarang, Will tidak akan membiarkan gadis itu pergi begitu saja."

"Saya sudah mencoba untuk menyuruh seorang vampir menghipnotisnya." Si sosok bertudung berusaha mempertahankan harga dirinya.

Mobil-mobil polisi sudah berdatangan, membawa serta para agent The Nox. Organisasi rahasia itulah yang akan bertugas menerjemahkan peristiwa yang terjadi sesuai nalar manusia. Sementara itu, tokoh utama kejadian ini telah menyelinap pergi.

Pandangan gadis itu mengikuti mobil Will yang keluar dari pelataran sekolah.

"Kau sebaiknya kembali, sebelum Will mencarimu. Dan, pikirkan cara yang lebih diplomatis. Kalau aku mulai bertindak, artinya kau sudah tidak diperlukan lagi." Suara merdu dan lembut itu menyiratkan nada tegas.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro