Part 29: Where the Wind Brought Us

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dingin. Suram. Tak berkehidupan. Keras. Curam. Kata-kata itu sekilas mewakili tempat yang dituju Will. Drakon Crypt. Walaupun disebut Crypt—ruang bawah tanah, dari kejauhan, tempat ini lebih tepatnya seperti lubang menganga di tengah gunung penuh bebatuan runcing yang tak bersahabat. Will terbang melewati tebing-tebing batu yang curam dan licin yang mengelililinginya. Suara angin yang berhembus di celah tebing terdengar seperti lengkingan hantu. Sesekali Will menyelinap diantara bongkahan batu besar yang hampir menimpa satu sama lain.

Kumpulan awan-awan yang bergemuruh menggantung dipuncak gunung, menutupi matahari siang. Hal itu menjelaskan deretan bangkai pesawat terbang yang teronggok didasar tebing. Tak ada manusia yang bisa menemukan tempat ini. Sebaliknya, siapapun yang terdampar tak akan bisa meloloskan diri.

Will memelankan gerakan sayapnya, melawan angin yang berhembus kencang. Ia menjejakkan kaki dengan mantap di mulut lubang menganga yang membelah perut gunung.

"Your Majesty," dua malaikat iblis menyambutnya. Dua orang pemuda itu berperawakan seperti malaikat iblis divisi tahanan pada umumnya, bertubuh gempal lengkap dengan raut formal. Mereka membawa obor sebagai penerangan. Tempat ini seolah tak tersentuh waktu.

Tanpa berkata apa-apa, Will masuk semakin jauh mengikuti obor yang terpasang di dinding. Benaknya memutar kembali peristiwa kemarin pagi, awal mula semua rencana ini.

Setelah Kyle memprotes ia hampir saja terlihat oleh dirinya sendiri saat kembali meniti waktu ke malam itu di Madison Avenue, ia berkata, "Cateno tidak berbohong. Dan vampir itu berkata kemungkinan Demons wanita itu orang dekatmu karena tahu aktivitasmu dengan detail."

Pagi itu juga, ditengah suasana genting yang belum mereda, Will sendiri mencari Cateno tanpa siapapun yang mengetahui. Ia langsung berkata, "Aku mempercayaimu. Ceritakan semua yang kau tahu, Cateno." Cateno tampak terkejut sekaligus lega.

Cateno menceritakan sejak mendapat informasi dari vampir itu, ia menaruh kecurigaan pada Halle. Ia menyadari Halle sering menghilang tanpa jejak dan tidak ada yang tahu kemana ia pergi. Diam-diam Cateno menggali informasi dan menemukan jati diri Halle bukan sekedar Sorcerer semata. Ia memiliki darah malaikat iblis. Seorang Half-Blood. Itulah yang membuat gadis itu selalu muda tanpa sihir atau ramuan apapun, serta kekuatan sihir yang mengalahkan penyihir biasa.

Mendengar hal itu, seketika Will tersentak. "Anak dari Katia dan penyihir itu," gumamnya teringat perkataan Azura. Tali yang menghubungkan dengan kejadian di masa lalu semakin jelas.

"Saya hampir yakin Halle yang membunuh Azura," kata Cateno.

Will mengangkat alisnya. Ia berusaha menilai Cateno. "Kau harus memiliki bukti untuk menuduhnya."

"Justru saya sengaja meninggalkan bukti di sel itu. Siapapun yang menuduh saya itulah pelakunya. Anda bisa langsung menghukumnya," sang kepala tahanan itu terdengar yakin.

Cateno menjelaskan ia sempat menuju area penjara yang sangat senyap. Seketika itu perasaannya mengatakan ada yang tidak beres. Secara diam-diam ia menyusuri tempat itu. Si pelaku bertudung sudah berbalik pergi, saat Cateno sengaja menjatuhkan tanda pengenalnya, lalu bersembunyi. Dan setelahnya ia mendengar percakapan si pelaku dan seorang lagi, 'Tentu saja, aku tidak akan menyia-nyiakan kebetulan ini. Tapi tidak sekarang. Aku akan kembali sebagai orang yang menginvestigasi lokasi kejadian.'

Otak Will berputar keras memikirkan semua itu. Meski kadang emosinya gampang tersulut, namun dalam keadaan genting ia mampu berpikir jernih mempertimbangkan semuanya, menyusun rencana terbaik. Hal itulah yang dulu membuat Gregory mempercayakan masalah strategi kepadanya.

"Siapapun yang menuduhmu nanti, aku akan tetap menjatuhkan hukuman padamu," putus Will dengan tenang. Ia mengamati Cateno mengernyit dan mulai membuka mulut. "Ber-akting lah, Cateno. Kau tadi berkata sosok bertudung itu bersama seorang gadis malaikat?" Will menyela.

"Ya," Cateno mengangguk enggan, kesulitan mengikuti pemikiran Will.

"Entah kenapa aku merasa malaikat itulah yang memegang peran penting diatas semua ini. Satu-satunya cara adalah membuat sosok bertudung itu menuntun kita kepadanya."

Ingatan itu berhenti begitu Will tiba di rongga gua yang lebih luas. Cateno kembali berada di hadapannya sekarang, hanya saja dengan kaki tengan terantai pada dinding gua.

"Maaf membuatmu tidak nyaman," kata Wil menatap keadaan di hadapannya. Senyum masam tersungging di bibirnya.

"Tidak apa, Your Majesty," Cateno membalas dengan kaku, walau Will bisa melihat ia tampak lelah.

"Lepaskan semua rantai itu. Dan sebelum kalian bertingkah kurang ajar, kuberitahu dulu, Cateno tetap pimpinan kalian yang sesungguhnya," Will berkata dengan ringan pada dua orang malaikat iblis yang mengikuti dibelakangnya. Membuat kedua orang itu berpandangan bingung. Ini pertama kalinya mereka merasakan sendiri rumor tentang sang raja Underworld yang suka bertindak seenak hati.

Will meminta kedua malaikat iblis itu bersumpah tak akan bercerita pada siapapun dan membantu Cateno. Sekarang, sang kepala divisi tahanan itu sudah berdiri tegap. Aura diktator kembali menguar dari dirinya.

Will memandang ketiga orang yang berdiri didepannya siap menerima perintah. "Kita tidak akan bertemu untuk beberapa minggu kedepan. Cari semua bukti yang menjatuhkan Halle dan ungkap apa hubungannya dengan malaikat itu. Aku akan menunda sidang penjatuhan hukumanmu, Cateno, hingga kalian menemukannya,"

"Yes, Your Majesty," jawab mereka serempak.

Inilah alasan Will memutuskan mengurung Cateno di Drakon Crypt. Jauh dari Underworld. Tidak ada Demons yang akan tahu kalau sesungguhnya Cateno menggali informasi.

Sementara Will sendiri sudah bertekad, setelah ini akan menemukan Orcus walaupun harus menjungkir balik New York. Mengungkap siapapun yang menyembunyikannya selama ini. Ia tidak peduli jika harus berurusan dengan Caleum. Namun sebelum itu, ada hal lain yang harus ia lakukan.

***

Sudah dua hari ini Will tidak masuk sekolah, membuat perasaan gelisah terus melilit perutku. Aku sudah berpasrah kemana angin membawa hubunganku dan Will, aku tak akan menghindarinya lagi, namun aku tak akan memaksa kalau Will berniat menghindariku. Kalau dipikir-pikir lagi, tidak ada keharusan ia tetap bersekolah. Bagaimanapun, Will seorang malaikat iblis. Hanya saja fakta itu tak kunjung menyadarkanku. Wajahnya semakin intens muncul di mimpiku yang terasa kacau.

Aku mendesah lelah, sambil menukar buku pelajaran terakhir dengan partitur musik di lokerku. Sekarang, hampir setiap pulang sekolah aku harus latihan. Kebetulan Lizzie juga sama sepertiku. Sebentar lagi akan ada event perlombaan antar sekolah. Kompetisi musik pertamaku di Riverdale High sekaligus yang terakhir sebelum pindah kembali ke London.

"Siapa yang berkelahi?" Aku mendengar seorang cewek yang berdiri tak jauh dariku bertanya pada temannya.

"Kyle dan Nick! Ayo kesana!" sahut temannya, dengan nada menggebu-gebu. Aku membelalak mendengar itu. Cepat-cepat aku menutup pintu loker dan berjalan mengikuti dua orang tadi.

Tiba-tiba seseorang yang berlari tergesa-gesa menabrakku.

"Sorry!—Oh Isabelle," serunya spontan. Ternyata Jensen Wade, mata cokelatnya mengenaliku.

"Ada apa dengan Kyle dan Nick?" Aku langsung bertanya, tak mempedulikan kejadian barusan.

"Entahlah. Mereka berkelahi di kelas kimia. Aku hendak kesana," jawab Jensen. Rautnya mengerut panik

Akhirnya aku dan Jensen menuju kelas kimia bersama. Sesampainya disana, sudah banyak siswa yang berkerumun. Begitu aku melewati ambang pintu dan menerobos keuruman, aku melihat Bernard berada ditengah-tengah menjauhkan Kyle dan Nick. Untungnya Bernard paling kekar diantara mereka berdua. Wajahnya tampak tegang. Lizzie mengamati takut-takut dari baris depan lingkaran siswa yang mengelilingi mereka bertiga.

Jensen langsung menerobos kerumunan, membantu Bernard.

"Dia tunanganmu, for God sake! Sampai kapan kau mempermainkan perasaan Adelyn," kesinisan mewarnai seruan Kyle. Aku mengintip diantara kerumunan dan melihat pemuda itu tampak acak-acakan. Rambut cokelat terang Kyle terlihat lebih messy dari biasanya, mukanya sekusut pakaianya. "Kelakuanku memang tak sealim kau, namun aku tidak munafik dengan memasang topeng prince charming—"

"Kyle!!" teriak Bernard.

BUK!

Nick meringsek maju melayangkan pukulannya ke wajah Kyle saat Bernard berteriak. Kerumunan menarik nafas terkejut. Lizzie terpekik. Aku langsung menerobos untuk maju kesebelah Lizzie.

Wajah Nick yang biasanya terlihat ramah, tampak memerah oleh amarah. Tubuh rampingnya yang terbalut sweater terlihat kaku.

"Seperti katamu, dia tunanganku. Tidak usah ikut campur!" bentak Nick. Jensen dan Bernard masih berusaha menahan Nick. Kyle tertawa sinis sambil mengusap bibirnya yang mengeluarkan setitik darah. Lizzie maju menyerahkan sepucuk sapu tangan pada Kyle. Aku ikut menghampiri mereka. Aku berusaha mendekati Kyle dan menahan lengannya seraya mengingatkan kalau ia Student Council President di sekolah ini.

"Just get out from here," ucapku dengan penuh penekanan. Untunglah Kyle tersadar oleh ucapanku.

Pada akhirnya, perseteruan itu berakhir saat Bernard membawa Nick keluar. Jensen menepuk pundak Kyle untuk menenangkannya. Dan aku berinisiatif mengajak Kyle bicara.

Aku dan Kyle berakhir duduk di tangga yang menuju lantai tiga. Sekolah sudah sepi. Tentu saja latihanku batal karena Nick pulang.

"Kau menyukai Adelyn?" tanyaku, membalikkan perkataannya padaku tentang Will beberapa waktu yang lalu.

"Entahlah, Isabelle. Mungkin?" jawab Kyle sambil mengernyit. Aku hanya mendengarkan saat Kyle mencurahkan kekesalannya. Ia merasa iba dan tidak bisa melihat Adelyn menderita karena Nick. Aku agak tidak menyangka cowok playboy seperti Kyle ternyata bisa peduli.

Aku memahami kekesalan Kyle yang melihat Nick dan Jessa kembali bersama. Akupun juga tidak setuju dengan kelakuan Nick. Sedingin apapun Adelyn, pasti ia tersakiti saat tunangannya jelas-jelas pacaran didepannya.

"Tapi kau tidak boleh menyukai Adelyn. Bagaimanapun, ia tunangan Nick. Mereka berdua harus menyelesaikan masalahnya sendiri," aku mencoba memberi saran.

"Aku tahu," Kyle terdengar pasrah. Raut sumringah yang biasa menghiasi wajah rupawannya untuk sesaat ini lenyap.

Aku mendesah. "Kenapa rasanya kita berdua seperti orang mengenaskan yang tak diharapkan orang yang disukainya," kataku.

Kyle mengernyit mendengar ucapanku, ia terdiam sejenak. "Kau mengakuinya? Kau mengaku menyukai Will!" sahut Kyle, terpana menatapku, saat tersadar makna perkataanku. Sebenarnya lebih dari menyukai, batinku.

"Aku bahkan sudah mengakuinya pada Will," kataku sambil tersenyum miris.

Aku menceritakan sekilas kejadian dua hari lalu, serta bagaimana Will menjelaskan ternyata ia tidak bisa merasakan cinta—seperti yang pernah dikatakan Kyle yang kukira hanya bercanda. Awalnya ia mendengarkan dengan serius hingga ia berkata tentang 'bakat ceplas ceplosku yang luar biasa', senyum geli kembali terulas dibibirnya. Kyle sudah kembali seperti biasa.

"Tapi, kurasa kau harus mengetahui ini, Isabelle. Sepanjang aku mengenal Will, aku tak menyangka ia bahkan mau merepotkan diri berurusan dengan gadis manusia. Namun, kau seolah menarik perhatiannya. Bahkan, ia pernah menyelamatkanmu," Kyle berhenti berbicara sejenak lalu menggeleng tak percaya. "Andai saja aku tidak tahu iblis itu tidak bisa jatuh cinta, aku pasti percaya Will menyukaimu."

Kyle hanya membuat harapanku melambung terlalu tinggi sebelum terhempas kembali ke tanah. Tidak mungkin Will berubah secepat itu seperti kata Kyle.

"Sudahlah, memikirkan hal ini hanya akan membuatku bermimpi tentang Will semakin sering dan jelas," kataku.

"Jujur saja kau senang mimpi bermesra-mesraan dengan Will kan," goda Kyle. Kebiasaan menjengkelkannya mulai muncul.

Aku berdecak kesal sambil meliriknya. "Mimpi seperti itu hanya muncul dari pikiran mesummu."

"Kau tahu, katanya mimpi yang terlalu jelas dan sering, mungkin berasal dari ingatan bawah sadarmu. Jangan-jangan itu momen yang dipendam oleh Will dari ingatanmu," kata Kyle, bersandar santai ditangga, mengulas cengiran. Aku memutar bola mata mendengarnya. Andai saja Kyle tahu mimpiku bersetting tempat di jaman aneh penuh malaikat-malaikat.

Aku tahu Kyle hanya bercanda, namun sebagian kata-katanya sedikit membuatku gelisah. Mimpi yang terasa jelas berasal dari ingatan? Sebenarnya aku pernah membaca tentang hal itu, tapi aku tak pernah percaya. Mimpi itu lebih mirip fantasi daripada ingatan. Kecuali aku pernah menjadi seorang malaikat dimasa laluku. Aku tertawa dalam hati. Yeah, yang benar saja!

***

Aku bukan tipe orang rajin yang berlatih mati-matian, namun menunggu latihan cheers Lizzie yang tetap berlangsung, membuatku terlihat seperti itu. Sejak Kyle pulang tadi, sudah dua jam aku duduk disini sambil memainkan harpa. Bahkan aku sudah bisa memainkan bagianku sambil memejamkan mata. Lizzie masih tak kunjung menelfon.

Kesunyian disekitarku membuatku terlena kedalam dentingan harpa. Permainanku mengalir mengalunkan lagu-lagu favouritku, membentuk sebuah medley, meninggalkan melodi menjenuhkan yang tadi kuulang terus. Aku masih memejamkan mata, cahaya dari luar yang menerobos masuk terasa diluar pelupukku. Sudah lama aku tidak menikmati permainan harpaku sendiri seperti ini.

"Aku tidak tahu kau berbakat memainkan harpa." Suara bernada santai yang familiar itu membuat ketenanganku seolah pecah berkeping-keping. Hanya satu orang yang memiliki bakat muncul tanpa suara.

Aku membuka mata dan menoleh ke asal suara. Will ada disana, memasang senyum miring arogan khasnya. Kukira kegelisahanku menghilang, namun ternyata semakin parah melilit perutku. Sosok pemuda berpakaian casual itu sedang bersandar diambang pintu. Siluet paling sempurna yang pernah kulihat—ok, aku mulai berlebihan. Mungkin setelah ini aku akan menyuruh Will berhenti memakai shirt bernuansa gelap—warna favoritnya—yang melekat pas di tubuhnya, demi kewarasanku.

"Kemana saja kau dua hari ini?" Akhirnya kalimat itu meluncur begitu saja tanpa tersaring. Ingin rasanya aku menepuk mulutku sendiri.

"Kau terdengar merindukanku," Will pura-pura terpana. Sial, aku pasti terdengar seperti pacar yang ditinggal berbulan-bulan, batinku sambil menggigit bibir.

Will tertawa pelan melihat ekspresiku, lalu berjalan mendekat. "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, Isabelle." Mata abu-abunya yang tajam dengan mudah menginvasiku. Ia mengisyaratkan untuk mengikutinya.

Aku mengangguk lalu mengikuti Will yang entah hendak memanduku kemana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro