Part 41.2: Hourglass

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Surprise! aku kasih bonus up, soalnya bakal molor update hari minggu ;) hope you enjoy it. Jangan lupa vote & comment. Thank you!

Kurasa tak ada hari yang bisa lebih buruk dari sekarang. Alam tiba-tiba bergejolak. Gelombang yang begitu besar menyapu sepanjang sungai Hudson, menyebabkan daerah sekitarnya tergenang. Jembatan yang melintang ke arah Manhattan tak bisa dilewati karena rusak. Berita bencana dimana-mana, membuatku mematikan radio mobilku. Kepanikan itu tak berhasil menyamai kekalutanku sekarang.

Setelah pulang dari apartment Aurielle, aku berniat menginap di rumah Lizzie, menunggu kondisi besok pagi. Namun, pada akhirnya mendapati diriku mengemudi menuju kota kecil yang pernah ditunjukkan Will. Tempat rumah masa depan kami. Kota kecil ini begitu sunyi di malam hari. Will bahkan berkata ia tak perlu repot-repot mengunci rumah ini. Cukup mempekerjakan seorang manusia yang merawat beberapa hari sekali.

Aku turun dari mobil, melintasi pekarangan rumput dan kerikil sebuah rumah kolonial. Berdiam sejenak untuk merengguk siluetnya.

'Caleum hanya memberi waktu tiga hari setelah kau mengingat semuanya, sebelum mengambil kembali hidupmu.' Aurielle berkata.

Sekali lagi, semua ini tinggal impian. Rasanya air mataku telah mengering. Aku masih berdiri memandang rumah bernuansa putih di hadapanku, saat terbayang kembali pertemuanku dengan Aurielle.

Setelah mendengar segalanya, kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. "Terima kasih. Dan aku memaafkan semua perbuatanmu."

Aurielle sama terkejutnya dengan diriku sendiri pada awalnya.

"Kata terima kasih dan maafmu adalah hal yang paling tak pantas kudapatkan, Isabelle." Aurielle tersenyum pahit.

Aku menggeleng, menyadari alasanku. "Kau telah melakukan sebisamu untuk menebus kesalahanmu. Membuat perjanjian dengan Caleum, memberiku kesempatan untuk kembali ke dunia ini. Mempertemukanku dengan Mom dan Dad di kehidupan ini." Setelah mendengar ceritanya, aku sadar Aurielle sengaja memberikanku untuk diadopsi keluarga Cleveland. Air mata menetes jatuh dari pelupukku.

"Dan yang terpenting aku bisa bertemu dengan Will kembali. Menjadi diriku sendiri saat bersamanya. Tak peduli sesingkat apa waktu yang kami miliki, semua momen ini bahkan tak berani kuimpikan di masa lalu." Aku tak lagi membendung air mata yang menetes lebih banyak.

Tak ada yang suci diantara kami. Masing-masing memiliki kesalahannya sendiri.

"Akulah penyebab sesungguhnya ayahmu terbunuh. Meskipun Moorson yang melakukannya," bantahnya dengan tatapan berkaca-kaca.

"Dan aku juga sudah memaafkanmu atas hal itu." Aku tak lagi membendung air mata yang mengalir dipipiku. Air mata kelegaan.

Beban besar yang menimpa hidupku terangkat satu persatu. Aku tak tahu kata maaf memiliki dampak yang begitu besar. "Kau harus mulai memaafkan dirimu sendiri, Aurielle. Jangan membenci dirimu, seperti aku tak bisa membencimu. Pada akhirnya kau masih sahabatku." Senyum tipis terulas dibibirku.

Tangis Aurielle pecah. Aku tahu ia memendam rasa bersalah begitu lama. Semua pengkhianatan, kesalahan, telah dilepaskan. Tak ada gunanya menyalahkan siapapun atas hal yang telah berlalu, lebih baik memikirkan apa yang harus dilakukan saat ini. Memulai lembaran putih, membuang lembaran lama yang penuh noda darah. Tak lagi melihat bayangan, namun beralih melihat sisi terangnya.

Mata biru cerah itu penuh rasa terima kasih yang tak terungkap oleh kata-kata. "Aku mengaku kalah. Tidak ada yang lebih pantas bersanding disisi Will selain dirimu. Di kehidupan ini, maupun di masa lalu, kau selalu menemukan sisi positif dari semuanya. Tiga hari yang tersisa... kuharap kau menjalaninya sesuai impianmu."

Setitik air mata tejatuh dari pelupukku. Aku menghirup nafas dalam-dalam. Seperti kata Aurielle, aku akan mencoba melihat keadaan ini dari sudut terang.

Tanganku menggenggam kalung Baetylus Stone yang selalu kukenakan. Aku memejamkan mata teringat wajah bahagia Will saat aku menyerahkan pasangan kalung ini.

Aku mengenakan kalung ini tak lama setelah mengungkapkan perasaanku pada Will di tepi Tartarus. Sudah waktunya. Baetylus Stone ini akan segera berpendar biru.

Aku menggenggam kalung yang satu lagi, menunggu Will di tempat favourite kami. Ivory Hills.

"Satu untukmu, satu untukku." Aku melewatkan seutas kalung Baetylus Stone, dari atas kepala Will.

"Apa ini?" tanya Will, mengerutkan kening.

"Benda yang akan membuat kita menjadi manusia." Aku tersenyum, menutupi kebohongan lainnya.

Will tampak terpana. "Kau menemukan cara melenyapkan perbedaan diantara kita." Ia berkata takjub.

Aku menggangguk, masih tersenyum. Perlahan wajahnya dipenuhi oleh kebahagiaan. Will memelukku hingga kakiku terangkat. Aku tertawa saat ia mendesak tak sabar, kapan bisa berhenti berpura-pura agar malaikat lain tak menyadari hubungan kami.

Ingatan itu berlalu.

Bibirku mengulas senyum tipis saat mengingat semua kebersamaan kami dimasa lalu. Dan suatu momen yang membuatku masih merinding oleh kebahagiaan ketika mengingatnya sekarang.

"Aku tahu, kau pernah berkata janji suci pernikahan itu bisa membakar lidahku. Tetapi, kita akan segera menjadi manusia. Jadi, Aurielle, would you marry me?"

Aku meluluh oleh binar ketulusan dan bahagia di mata abu-abunya. Will berbaring disampingku, diatas rerumputan. Tadinya taburan bintang diangkasa begitu indah, hingga menatap Will mengalahkan semua itu. Namun, kebahagiaan itu ternoda oleh fakta menyakitkan yang sama besarnya.

Aku tak akan bersama Will didunia manusia.

Tidak ingin Will menyadari perubahan suasana hatiku, aku tersenyum lembut. Bagaimanapun kata-katanya tadi membuatku melayang dalam kebahagiaan.

"Will—"

"Tunggu. Aku ingin kau menjawabnya saat kita akan melakukan ritual untuk menjadi manusia itu."

Aku membeku. Saat itu mungkin aku tak akan ada disana untuk menjawab. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain mengangguk meyakinkan.

Aurielle mengetahui tentang hal itu. Ia sungguh-sungguh berusaha mencari cara agar tak perlu ada pengorbanan untuk menjadi manusia, membatalkan sihir kalung ini. Aku tahu Aurielle begitu putus asa oleh rasa bersalahnya padaku. Hingga aku menyuruhnya berhenti. Semua itu sia-sia. Tak ada jalan kembali.

Akhirnya Aurielle memaksa, aku yang harus menjawab lamaran Will sendiri, atau ia tak mau menerima kalungku. Karenanya, malam itu aku tetap menemui Will di Ivory Hill. Aku ingin menolak, karena takut setelah melihat Will, aku tak sanggup pergi. Dan entah hal tak terduga apa yang akan kulakukan—tiba-tiba menangis sedih misalnya.

Aurielle mengatur dengan hati-hati, aku baru menyerahkan kalung ini padanya setelah menemui Will untuk terakhir kali. Namun, semua hancur berantakan saat Gregory menyabotase surat Will dan Dean datang menghampiriku.

Aku membuka mata, melangkahkan kakiku menaiki tangga teras diantara kedua pilar megah. Tak peduli di masa lalu ataupun sekarang, aku menatapnya dengan kesan yang sama. Rumah berisi impian yang tak akan tercapai.

Déjà vu menderaku, ketika teringat kembali ratusan ribu tahun lalu. Di tempat ini, saat semuanya hampir berakhir.

Langkahku berhenti di depan sebuah rumah manusia berdinding batu, ditengah hamparan pedesaan yang damai. Aku tahu Will menyiapkan rumah ini dan melarangku kemari. Kejutan pertama yang akan ia berikan padaku saat kami menjadi manusia. Sayangnya saat itu terjadi, aku tak ada lagi di dunia ini. Maka aku kemari, melepas bros confiniumku. Untuk sejenak menjadi diriku sendiri.

Aku bisa berjam-jam berdiri disini. Membayangkan seperti apa suasana didalam sana jika aku dan Will menjadi manusia. Gelak tawa akan terdengar hampir tiap makan malam, perapian yang menyala penuh kehangatan, sepasang malaikat dan iblis yang telah menjadi manusia saling menatap dengan penuh cinta. Beberapa tahun kemudian, mungkin gelak tawa itu akan bertambah, dan seorang anak manusia berlarian ceria. Mungkin rambut anak itu akan sewarna rambutku, dengan mata abu-abu semenawan Will.

Imajinasi itu begitu indah. Aku tersenyum sedih, hampir menitikkan air mata. Aku senang setidaknya Will akan menikmati semua itu, meskipun aku tak ada.

Aku begitu terlena hingga tak menyadari seseorang melangkah mendekat, memanggil namaku. Betapa aku menginginkan Will mengucapkan nama itu dengan segala perasaannya.

"Seraphine...?"

Hanya saja, suara itu terdengar terlalu nyata. Bukan berasal dari ingatanku. Aku tersentak kembali ke masa sekarang.

Aku menoleh kebelakang. Will baru saja menjejak tanah, kedua sayapnya masih terentang kokoh, hampir menyatu dengan kegelapan malam. Sepasang mata abu-abu indah melebar menatapku, tak menyangka akan melihatku disini.

"Will? Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku spontan.

Will terdiam sejenak sebelum berkata lirih, "Seharusnya aku yang bertanya begitu...." Kami sama-sama menyadari suasana serupa di masa lalu.

Tanpa kata-kata, aku langsung berlari menuruni balkon, melemparkan diriku kedalam pelukannya. Will menyambut sama eratnya, wajahnya terbenam dirambutku, menghirupku dalam-dalam. Akhirnya aku tahu kenapa Will memelukku seolah dunia akan runtuh.

Aku tidak menyadari seberapa besar kerinduanku hingga berada dalam dekapan Will. Semua emosi, kelegaan, kerinduan yang selama ini tertimbun bersama ingatanku, tercurah dalam tangisan yang menyesakkan. Will terus mengusap rambutku, lengannya mendekap erat tubuhku yang terguncang oleh isakan.

"Isabelle... semua ingatanmu telah kembali," bisiknya, terdengar memilukan. Aku mengangguk, masih sesenggukan.

Pandangan kami bertemu.

Penuh emosi yang tak terungkap oleh kata-kata.

Will merengkuh tengkukku, tangannya menyelip di rambutku. Bibirnya menyambut bibirku. Jemariku menyusup ke rambut Will. Ciuman kami begitu menuntut dengan kerinduan yang meluap-luap. Segala kelegaan karena telah menemukan kembali setelah waktu yang sangat lama, tercermin oleh lumatan dalamnya.

"Tak pernah aku membayangkan akan melihatmu lagi suatu saat. Bahkan dalam imajinasi putus asaku sekalipun," selanya, berbisik didepan bibirku.

"Yet, here I am. Falling for you again," bisikku, kehabisan nafas.

Meskipun tak ada air mata yang menetes, aku melihat sepasang mata abu-abu itu berkilau basah.

Will kembali menciumku. Tangisku berangsur reda, digantikan oleh deru nafas saat aku membalas ciuman intensnya dengan kerakusan yang sama. Menghilangkan celah diantara kami.

"Bagaimana bisa kau hidup seperti ini selama ratusan ribu tahun? Kutukan itu...." lirihku, setelah melepaskan tautan bibir kami. "Aku sudah berkata jangan melakukan hal-hal bodoh hanya gara-gara aku meninggalkanmu."

Will dengan lembut menghapus air mata yang menuruni pipiku, mengecup bibirku. "Karena saat kehilanganmu, rasanya seperti kehilangan duniaku. Tak ada yang berarti lagi."

Aku menatap Will. Seolah melihatnya untuk pertama kali lagi, setelah ingatanku kembali. Ia tak berubah sedikitpun. Tanganku menyusuri lekuk wajah rupawannya, helaian sayap hitamnya yang masih terentang dibalik punggung. Siluet terindah yang pernah kulihat. Hanya cincin merah di irisnya—tanda Lucifer's Curse, yang tak ada dalam ingatan masa laluku.

"Saat itu, di masa lalu, ketika aku melihatmu kemari, seharusnya aku mengenali kaulah yang kucintai selama ini." Will menatapku nanar.

Aku menggeleng, membantah. "Semua ini salahku karena terlalu takut untuk mengungkap kebohonganku."

"Dan itu karena jawaban bodohku atas pertanyaanmu waktu itu." Ia tertunduk, tertawa miris. "Padahal jauh lebih baik mengetahui kau berbohong daripada menemukan kau diam-diam mengorbankan hidupmu."

"Will," panggilku, merengkuh wajahnya, mengunci tatapan kami. "Yang terpenting adalah kita berada disini sekarang. Biarkan semua itu tetap berada di masa lalu." Aku tersenyum lembut.

Sorot mata abu-abunya melunak. Will menghela nafas, mengusap kepalaku. "Kau benar."

Will menggandengku masuk, menuju sofa besar di ruang keluarga. Ia menarikku ke pangkuannya, dan aku menekuk lutut, meringkuk disana.

Bersandar di dada Will, mendengar degup jantungnya yang menenangkan, dengan lengannya melingkupi tubuhku, terasa begitu nyaman. Sejenak kami hanya memejamkan mata, menikmati kehadiran satu sama lain. Tak ada yang bicara.

"Diatas segalanya, aku tidak menyesal mengingat dan mengetahui semuanya." Aku membuka mata, mendongak menatap Will. "Kau menyesal?"

Will seolah teringat sesuatu, ia mengulas senyum samar. "Tidak." Ia melanjutkan, "Aku akhirnya menemukanmu siapa yang sesungguhnya kucintai. Ratusan ribu tahun lalu, saat ini, dan selamanya." Will mengecup puncak kepalaku.

"Then, terimalah kenyataan kita hanya memiliki waktu tiga hari." Aku berkata was-was, bisa kuduga Will tak akan senang dengan pemikiranku.

"Isabelle." Will mengerutkan kening tak bisa menerima. "Aku akan melakukan apapun agar Caleum mencabut syarat itu."

"Will." Aku mengusap wajahnya, memperingatkan. Aku tak ingin tragedi yang sama terulang kembali. Ratusan ribu tahun lalu, Will mengklaim Lucifer's Curse untuk meledakkan Underworld, aku tidak ingin mengetahui apa yang terpikir olehnya sekarang.

"Kita tak pernah membayangkan akan ada saat seperti ini. Bisa melihatmu, memelukmu. Setelah mengingat semuanya, Caleum tak langsung mengambil hidupku. Anggaplah tiga hari ini adalah hadiah dari mereka." Aku berusaha tersenyum. Sorot abu-abu itu memperhatikanku lekat-lekat.

Will mengatupkan bibirnya membentuk segaris lurus. Dari rahangnya yang mengetat, aku tahu ia sedang berpikir keras tentang ucapanku. Bergulat dengan pemikirannya. "Aku tak mengerti, Isabelle. Bagaimana bisa kau menemukan kebaikan didalam kekejaman fakta itu?"

Tentu saja, aku tersiksa mengetahui tak akan bertemu Will lagi. Begitu juga sebaliknya.

Aku mengutuk takdir yang begitu kejam.

Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya di depan Dewan Tetua Caleum.

Namun, aku hanya mendatangkan neraka lebih awal jika menghabiskan tiga hari ini untuk terpuruk. Ketika kita mensyukuri apa yang kita punya, saat itulah kebahagiaan baru merebak.

"Caleum belum pasti menghapus syarat itu. Yang pasti adalah kita. Saat ini. Aku ingin menghabiskan semua waktu ini denganmu, Will. Tak terpikir apapun, hanya kita. Melakukan hal yang tak sempat kita lakukan. Menimbun kepahitan masa lalu dengan kenangan indah." Aku mengalungkan lengan kebahunya, memeluk Will. Wajahku menyuruk di ceruk lehernya.

Perlahan, aku merasakan tubuh Will merileks. "Fine. Aku akan menjalankan sesuai keinginanmu. Kejadian di masa lalu tak akan terulang lagi, namun aku tak menjamin akan menyerah memaksa Caleum hingga detik terakhir."

Aku mengangguk, mengeratkan pelukanku. Jawaban Will lebih baik daripada perkiraanku.

Kami terdiam lagi.

"Apa yang ingin kau lakukan sekarang?" bisik Will.

"First, just stay like this for a while." Kelopak mataku terasa berat sehabis menangis. Usapan lembut Will di rambutku terasa menghipnotis.

"Ok." Will mengecup keningku lama.

***

Isabelle tertidur lelap, meringkuk di pelukannya, bersandar di bahu Will. Wajahnya terlihat begitu damai. Bulu mata lentiknya membayang panjang. Will tak akan bosan menatapnya hingga pagi.

Setiap teringat persyaratan Caleum, darahnya mendidih. Namun ia telah membuat kesepakatan dengan Isabelle, tak akan membahas hal itu. Walaupun tak mengerti pemikiran Isabelle, ia akan melakukan apapun yang diingankan gadis itu. Kebahagiaan Isabelle adalah kebahagiaannya.

Will tak keberatan Isabelle tidur dipangkuannya sepanjang malam. Namun, saat Alyson menemukan kamar Isabelle kosong besok pagi, itu bukan hal yang bagus.

"Isabelle, kau harus pulang," bisik Will, menepuk pelan pipinya. Namun, gadis itu malah mengalungkan lengan ke lehernya semakin erat. "Alyson akan mencarimu."

Bulu mata indah itu mengerjap mengantuk. Sepasang mata turquoise itu seolah selalu menyerap jiwa Will kedalamnya. "Aku belum ingin sendirian."

Will juga tidak. Merasakan Isabelle dalam dekapannya adalah satu-satunya hal yang menahan Will mengacaukan Caleum saat ini.

"Kalau begitu, malam ini aku benar-benar tak akan memulangkanmu." Will meraih pinggang Isabelle. Ia berdiri, dengan gadis itu dalam gendongannya.

Isabelle langsung membuka mata terkejut. Menyadari langkah Will menuju sebuah kamar bernuansa putih dan abu-abu yang terkesan menenangkan, sepasang mata turquoise itu melebar.

Will bisa mendengar degup jantung Isabelle semakin keras. Ia tak bisa menahan tersenyum miring.

"Apa yang kau pikiran Isabelle?" mata Will berbinar jahil.

"Kenapa kau membawaku kemari?" Isabelle terlihat serba salah, menahan nafas dengan pipi merona. Will menahan tawanya.

Ia membaringkan gadis itu dengan perlahan, sengaja tak segera bangkit berdiri. Tangannya bertumpu dikedua sisi tubuh Isabelle, menatapnya setenang arus yang menghanyutkan didalam. Sementara Isabelle mengerjap gelisah, mengalihkan tatapannya.

Will tak bisa menahan tawa pelan terlepas dari bibirnya. "Aku tak mungkin membiarkanmu tidur meringkuk di sofa semalaman."

Will menarik selimut melingkupi tubuh gadis itu, lalu berbaring menyamping disisinya. Ia membiarkan Isabelle berbaring nyaman diatas lengannya dan mendekapnya kembali. Gadis itu menyambut pelukan Will.

Sekilas pandangan Will jatuh pada kalung Baetylus Stone yang dikenakan Isabelle.

"Sungguh ironis. Kalung ini awal mula semua pengorbanan itu, namun kalung inilah yang mendekatkan kita saat bertemu kembali," gumamnya. "Gara-gara benda ini, aku menyusun rencana merayumu."

"Mm-hm. Usahamu untuk mendapatkannya dariku sungguh licik." Isabelle mendongak, memicing ke arah Will.

Will tersenyum arogan. "Sangat hebat sebenarnya. Berhasil membuat kalung itu jatuh ke tanganku, sekaligus kau jatuh cinta padaku." Ia berhenti, lalu melanjutkan, "Dan aku juga berakhir jatuh cinta padamu sekali lagi, malaikat paling keras kepala dan nekat yang pernah kutemui."

Isabelle gagal mempertahankan ekspresi jengkelnya, akhirnya tersenyum. Will tak pernah berhenti terpesona, perasaan hangat mengaliri hatinya setiap melihat gadis itu tersenyum. Jemari rampingnya menyusuri wajah Will, tatapannya berbinar takjub seolah mengagumi satu-satunya hal yang berarti baginya.

Will mengecup kening Isabelle, kelopak matanya, pipinya, dan berdiam lebih lama mencium lembut bibirnya.

Isabelle berbaring nyaman dalam dekapan Will. Nafasnya semakin halus. Will memejamkan mata, merengguk momen ini. Sejenak semua bencana diluar sana terlupakan, tak peduli jika besok kiamat. Mereka sedang berada dalam safe haven satu sama lain. Untuk pertama kali, Will berharap matahari esok tak akan terbit.

https://youtu.be/ZxbPfkTwBGY

Take a breath. Take a long look around before you step.

'Cause the tide is coming swallowing the ground.
And there's no way to tell if we will drown tonight or we'll be found tonight
Ambil nafas. Perhatikanlah sekeliling sebelum kau melangkah.
Karena ombak pasang akan datang menelan daratan.
Dan kita tak tahu apakah akan tenggelam malam ini ataukah kita akan ditemukan.

Come in close. If the current gets us then it gets us both.
And we can't wait here anymore.
So if the waves come, let'em take us.
As they cover you and me, and the pull us underneath.
Mendekatlah. Jika arus mengejar kita, maka akan menyeret kita berdua.
Dan kita tak bisa lagi menunggu di sini.
Maka saat ombak datang, biarlah membawa kita.
Seiring ombak membungkusmu dan aku, dan menarik kita kebawah.

When it leaves it's hard to know.
But I will not let you go.
Kapan ini berlalu, sulit diketahui.
Tapi aku takkan melepaskanmu.

I hope that fate will forgive us
For tempting the sea
I hope that they won't forget us
No we cannot go back to the way it used to be
Kuharap nasib akan memaafkan kita karena tlah menguji laut.
Kuharap mereka takkan lupakan kita.
Tidak, kita tak bisa kembali seperti dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro