Part 42.2: Darkest Hour

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Surprise!! as always, extra update buat telat update minggu lalu hehehe  ^^ jangan lupa vote and comment. Thank you

Sehari telah berlalu sejak pertempuran Underworld. Artinya hanya tersisa hari ini dan besok. Matahari pagi seolah menghapus kesuraman kemarin, memberi kehidupan kembali pada kota ini. Meski begitu, aku tak bersemangat membuka mata, padahal ini akhir pekan.

Kecupan lembut di keningku dan usapan di pipiku, membuat kelopakku mengerjap malas.

"Morning." Suara familiar menyapa. Seperti dalam impianku, sepasang mata abu-abu yang menghanyutkan, menjadi hal pertama yang kulihat saat membuka mata di pagi hari. Lengan Will melingkupiku dengan ringan.

"Morning." Aku tersenyum mengantuk. Walaupun Mom telah memberinya kamar paling jauh dari kamarku, tak ada yang bisa menghalangi Will menyelinap ke kamarku semalam. Aku harus mengingatkan diri, pacarku seorang Demon.

Will membuat Mom percaya keadaan belum aman—aku hanya diam sambil berdoa Mom tak mengendus rencana busuknya.

"Kembalilah, sebelum Mom mengecek kamar kita masing-masing." Jemariku menyusuri wajah rupawannya. Sinar matahari pagi memperjelas siluet lekuk wajahnya yang sempurna.

"Kau berkata begitu, namun matamu berkata tak ingin aku pergi." Will tersenyum nakal. "Tak masalah. Aku hanya harus menghadapi amukan Alyson lagi. Sepadan dengan ini." Ia memelukku lebih erat.

Aku tersenyum geli, teringat kembali ekspresi syok Will saat Mom membentaknya. Pada akhirnya aku tetap menyuruh Will keluar, sebelum image nya di mata Mom semakin buruk.

"Sampai jumpa di ruang makan," kataku, menyaksikan Will keluar ke balkonku.

Jauh di balik senyuman kami, ada kegelisahan yang menggunung, tidak ingin berpisah sedetik pun. Selebihnya aku ingin Will terus berada disisiku agar ia tak melabrak Caleum.

Kami bersikap sewajar pasangan yang baru pertama kali menghabiskan waktu bersama keluarga pacarnya. Menyantap sarapan sambil mengobrol ringan. Will bahkan bisa mengimbangi perbincangan bisnis Mom, membuatnya terkesan.

Dalam hati aku mencentang salah satu impianku yang terwujud. Terbangun dengan Will berada disisiku, dan sekarang sarapan bersama dengan dua orang yang paling kucintai—Mom dan Will.

Diam-diam aku menuliskan hal-hal yang akan kulakukan di buku kecil, agar waktu yang singkat ini tak terbuang sia-sia. Ketika semuanya akan berakhir, aku baru menyadari momen paling sempurna adalah sekarang.

Hari ini berjalan begitu damai, tanpa serangan mendadak yang merusak segalanya. Seperti kiasan munculnya pelangi setelah badai. Hanya saja realitanya itu bukan akhir, pasti akan ada badai lagi setelahnya.

Diatas segala yang terjadi kemarin, Auntie Charlene dan Uncle Dave tetap melaksanakan pesta ulang tahun pernikahan mereka, atas desakan putrinya yang sudah mengatur semua acara ini.

Lizzie mengundang semua teman-teman kami. Bernard, Will, Kyle, Nick, Adelyn, Jessa. Semua terlihat begitu akrab, duduk di meja yang sama, ditengah taman luas. Sinar matahari sore menembus diantara dekor bunga-bunga dan hidangan afternoon tea tersaji melimpah.

Nick sudah mulai membawa Adelyn untuk berkumpul dengan kami, dengan was-was aku mengamati Jessa. Namun, ace Cheerleader itu tersenyum tulus. Semua terlihat begitu sempurna. Aku menyadari saat ini mungkin terakhir kalinya aku berkumpul dengan mereka. Gelak tawa di meja ini adalah gambaran indah terakhir tentang teman-temanku.

Satu lagi impian yang kutulis tercapai. Menghabiskan momen terakhir dengan teman-temanku tanpa air mata.

Satu hal yang kusyukuri, Will berkata tak akan ada manusia yang mengingatku ketika aku pergi dari dunia ini. Seolah aku tak pernah ada.

Para tamu mulai memenuhi lantai dansa yang didirikan diatas hamparan rumput. Sesuai motto Lizzie, bukan pesta bila tak ada tarian dan dansa. Kami bersenang-senang, berganti-ganti pasangan seiring lagu berganti. Will tidak ikut bergabung. Dengan arogan ia berkata dirinya terlalu sempurna untuk berpasangan dengan cewek lain.

"Jika sainganku bukan raja neraka yang seolah bisa membunuh dengan tatapannya, mungkin aku sudah mengajakmu berkencan, Isabelle." Kyle berkata jahil. Kami sedang berdansa sambil menoleh ke arah Will yang bersidekap dan mengangkat alis ke arah kami. Jelas ia bisa mendengar percakapanku.

"Berhentilah menggoda cewek-cewek, Kyle. Temukan cinta sejatimu sendiri, bertobatlah." Aku memutar bola mata, beralih menatap mata biru Kyle.

"Aku mulai berpikir cinta sesungguhnya begitu mengerikan. Bisa menjerat seseorang seperti Will hingga bertekuk lutut." Kyle menggeleng, tertawa tak percaya.

"Cinta adalah hal yang indah, bukan mengerikan," protesku. "Karena bisa menggali sisi terbaik dari dirimu, yang mungkin tak kau ketahui sebelumnya."

Kami melanjutkan berdansa.

"Aku harus menemukan penasihat baru setelah ini. Karena aku tak bisa lagi mengingat semua kata-katamu." Kesenduan mencemari binar mata biru Kyle. Aku menyadari arah pembicaraan Kyle. Perpisahan. Senyumku meredup.

"Thank you, untuk semua yang kaulakukan untukku dan Will," kataku sungguh-sungguh. "Aku tak percaya kita bisa menjadi sahabat."

"Aku juga. Awalnya kukira kau akan menjadi pacarku," sahut Kyle, mengulas senyum mempesona, alasan gadis-gadis melemparkan diri padanya. Aku tertawa, berhasil mencegah air mata yang hampir menetes.

Lagu telah berganti. Seandainya saja Will bisa berdansa.

Aku hendak menuju meja, saat Will menghampiri, meraih pinggangku, membuatku berhadapan dengannya.

"Dance with me." Will menatapku lembut.

Jantungku hampir lepas, mengira ia bisa membaca pikiranku. Aku hanya mengangguk. Kakiku terasa lemas setiap kali ia menatapku seperti itu.

Kami kembali ke lantai dansa. Irama gerakan kami menyatu dengan indah. Aku tidak menyangka Will langsung mahir hanya dari memperhatikan orang-orang barusan. Tatapan kami terkunci satu sama lain, dunia seolah menghilang.

"Dengan kekuatanku, aku bisa mendapatkan hampir semua hal di dunia ini." Will memulai, memecah keheningan diantara kami. "Ironisnya, hal yang tak bisa kudapatkan adalah satu-satunya yang kuinginkan. Yaitu untuk bisa bersamamu."

Aku bersandar di bahunya, ketika lagu mulai mengalun lembut.

"Kadang untuk mendapatkan apa yang kita inginkan bukan dengan mengumpulkan kekuatan sebanyak-banyaknya. Namun, dengan melepaskan sesuatu untuk meraih hal yang lebih penting," jawabku.

Will terdiam sejenak seolah menyadari sesuatu dari kata-kataku. "Mungkin itu benar."

Pada akhirnya entah berapa lagu yang kuhabiskan untuk berdansa dengan Will. Suasana keemasan sinar matahari sore semakin menggelap, berganti nuansa kebiruan menjelang senja. Satu hari lagi hampir berakhir.

***

Sebuah mobil sport hitam berhenti di pekarangan rumah bergaya colonial bernuansa putih. Beberapa jam yang lalu, Isabelle langsung sumringah begitu Alyson mengijinkannya menghabiskan akhir pekan dengan Will. Dan tempat pertama yang terpikir oleh Will adalah rumah ini.

Dalam perjalanan, ia dan Isabelle berhenti ke salah satu supermarket. Berbelanja untuk makan malam mereka. Setelah membantu Isabelle membongkar belanjaan mereka di dapur, Will berkata harus pergi ke suatu tempat sebentar. Isabelle menatapnya was-was. Namun, Will berhasil meyakinkan, ia tidak berencana melakukan sesuatu yang buruk dan segera kembali.

Will tidak berbohong, hanya saja Isabelle tidak tahu, tempat yang dituju adalah Caleum. Ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya untuk tidak menyerah. Tak peduli sesulit mengharap hujan ditengah padang gurun. Karena Isabelle berarti segalanya untuk Will, surga bagi dirinya.

Malaikat yang berjaga di pintu masuk tak berani mencegahnya. Will terus menapaki tangga tersembunyi di Library of Congress. Sederet malaikat didepan Hall of Justice menghentikannya. Pasca kejadian kemarin, Caleum masih dalam status waspada.

"Aku kemari bukan untuk membuat kekacauan." Will memperingatkan. Selama beberapa saat tak ada yang bereaksi. Menyadari Will tak menyerang, malaikat itu bergeser membiarkannya masuk.

Will berjalan ke hadapan para Dewan Tetua yang menatap tenang. Sedetik kemudian ia melakukan hal tak terduga.

Sang raja Underworld jatuh berlutut.

Beberapa malaikat lain menarik nafas tajam. Bahkan untuk pertama kali, beberapa Dewan Tetua tampak terkejut.

Seluruh ego Will seolah meluruh ke lantai. Hal ini membutuhkan usaha lebih besar daripada mengorbankan nyawa.

Will teringat kata-kata Isabelle tadi. "Kadang untuk mendapatkan apa yang kita inginkan bukan dengan mengumpulkan kekuatan sebanyak-bannyaknya. Namun, dengan melepaskan sesuatu untuk meraih hal yang lebih penting,"

Pertahanan dirinya runtuh. Tubuh pemuda itu bergetar oleh emosi menyakitkan yang berusaha ia tahan selama ini.

"Aku memohon padamu...." Will bergumam lirih, tertunduk pasrah.

Tangannya mengepal kuat, menahan desakan air mata yang akan menetes. Dengan kesungguhan ia menatap Dewan Tetua satu persatu.

"Aku akan melakukan apapun yang kalian minta asal kalian mencabut syarat itu. Seraphine tidak bersalah, ia bahkan tak menyalahkan kalian─"

Tenggorokannya tercekat, nafasnya begitu sesak.

"—Seraphine hanyalah orang yang menanggung semua akibatnya."

Will tersenyum miris. "Mungkin kesalahan satu-satunya adalah jatuh cinta padaku."

***

Terakhir kali Aurielle menapakkan kaki di Underworld adalah saat ia memungut kalung Baetylus Stone dari timbunan puing-puing bebatuan. Kali ini, ia kembali kemari pasca peristiwa buruk lainnya.

Secara keseluruhan Underworld modern sudah cukup layak dipakai beraktifitas kembali. Tinggal kerusakan minor yang masih membekas.

Akhirnya Aurielle menemukan sosok yang dicarinya. Berdasarkan informasi dari resepsionist Demons di lobby gedung ini, ia menduduki posisi kekuasaan kedua setelah Will. "Kau Cateno? aku ingin Orcus dikembalikan padaku."

Cateno mengamati malaikat itu sejenak, dan langsung mengenalinya. Tak ada informasi yang luput dari Cateno. "Aurielle. Seharusnya kau memintanya dari His Majesty."

"Will berkata kau yang ditugaskan memberikan belati itu padaku." Ya, Aurielle langsung menghubungi Will begitu mendengar kabar Moorson terbunuh. Ia tak bisa tenang jika belati itu belum kembali dalam pengawasannya.

Cateno, dengan ekspresi datarnya menatap tak mengerti.

"Belati itu terlalu bahaya untuk disimpan disini." Aurielle mendesak. Apa malaikat iblis ini sengaja menyimpan untuk dirinya sendiri?

"Aku benar-benar tidak tahu," seru Cateno frustasi. Kabar buruknya, ia tidak terlihat berbohong.

Aurielle mendesah cemas. "Dengar, apa yang bisa dilakukan belati itu lebih dari sekedar yang kalian ketahui selama ini. Kumohon, Orcus harus─"

"Kalian sedang mencari Orcus?" tiba-tiba seorang malaikat iblis wanita menyela, membuat mereka berdua menoleh.

Untungnya wanita berparas amerika latin itu mengetahui keberadaan terakhir Orcus. Ternyata Will tidak langsung memberikannya pada Cateno.

"Jadi, dimana seseorang bernama Ragnor ini?" Aurielle bertanya pada wanita itu, dan langsung disela oleh Cateno.

"Kau jangan bercanda, Beatrix." Cateno tertawa kaku. Aurielle menatap heran saat pemuda bertampang serius ini ternyata bisa tertawa."Aku sendiri yang membakar jasadnya. Ragnor sudah tiada bahkan sebelum His Majesty kemari."    

https://www.youtube.com/watch?v=Wtk7SBUxvrc

A drop in the Ocean. A change in the weather.
I was praying for you and me might end up together.
It's like wishing for rain as I stand in the dessert.
But I'm holding you closer than most.
'Cause you are my heaven.

Setetes di lautan. Sebuah perubahan pada cuaca.
Aku berdoa agar kau dan aku akhirnya bersama.
Seolah memohon hujan saat aku berdiri di gurun.
Namun aku memelukmu lebih dekat dari semuanya.
Karena kaulah surgaku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro