Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Deswinta terbangun dengan bingung, saat melihat tubuhnya telanjang dengan selimut tebal menutupi. Ia menatap langit-langit kamar, mengerjap bingung dan samar-samar mendengar suara seperti orang menyeduh kopi. Menggelengkan kepalanya yang terasa berat, dengan pikiran mencerna apa yang sudah terjadi. Kenapa ia ada di kamar ini. Ia menggeliat dan merasakan tubuhnya sakit. Mendesah, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan yang bercokol di benaknya.

Dengan siapa ia tidur tadi malam? Ini di mana? Hotel atau apartemen? Siapa yang membawanya kemari? Tidak mungkin ia datang sendiri ke tempat ini. Bangkit dengan perlahan dan merasakan pangkal pahanya nyeri, Deswinta merangkak turun dari ranjang dan menyambar jubah dari lemari yang terbuka. Berdiri menatap bayangannya di cermin dengan tertegun. Ada banyak tanda merah di sekujur tubuhnya. Dari mulai leher, pundak, dan banyak lagi di dadanya.

Deswinta mendesah, mengusap bilur-bilur itu dan bayangan dirinya bercinta dengan seorang laki-laki membuat bulu kuduknya meremang. Ia memejam dan bayangan itu masuk semakin kuat dalam ingatannya. Ia tidak salah ingat, tadi malam memang dirinya terlibat percintaan yang panas. Bukan hanya panas dan brutal tapi juga liar. Padahal, ini pertama kalinya melakukan sex.

Mengepalkan tangan takut-takut, ia melangkah ke luar dari kamar menuju suara-suara itu. Sampai di depan pintu, ia dibuat tertegun saat melihat sosok laki-laki di depan meja kopi. Postur laki-lai itu tinggi menjulang dengan punggung kokoh. Memakai pakaian lengkap, kemeja yang kusut dan celana panjang. Rupanya, sudah selesai mandi kalau dilihat dari rambutnya yang basah. Bayangan tentang dirinya mencium dan mencumbu laki-laki itu, muncul kembali dan membuatnya menelan ludah dengan gugup.

Laki-laki itu seolah menyadari keberadaanya, membalikkan tubuh dan tersenyum.

"Selamat pagi, Deswinta. Apa tidurmu nyenyak?"

Deswinta tercengang dengan sapaan itu. Ia bermalam bersama laki-laki itu. Tunggu, bagaimana mungkin bisa terjadi? Mereka memang berada di klub yang sama? Bagaimana bisa berakhir di hotel? Ia ingat menubruk laki-laki itu saat sedang berjuang mengatasi gejolak tubuhnya. Lalu, bagaimana bisa berakhir di ranjang?

"Pak, ke-kenapa kita di sini?" tanyanya gagap.

Laki-laki itu tersenyum. "Entahlah, aku sendiri juga bingung. Yang aku ingat hanya satu, tentang erangan dan desahanmu, Deswinta. Aku tidak tahu minuman apa yang mereka berikan padamu, tapi kamu membuatku sangat kelelahan. Apa kamu tahu? Semalaman kamu tidak ingin berhenti bercinta? Memintaku untuk menyetubuhimu tanpa henti."

Melihat wajah Deswinta yang memucat, laki-laki itu mendekat. Terbersit rasa iba karena gadis di depannya terlihat shock. "Mereka memberimu obat perangsang, aku sendiri dalam keadaan mabuk berat. Di sinilah kita berakhir, Deswinta."

Deswinta memejam, berdiri dengan tangan terkepal menahan malu. Yang dikatakan laki-laki itu memang benar, ia ingat samar-samar tentang tubuhnya yang menggila ingin bersetubuh. Seakan tidak pernah puas ingin disetubuhi. Menyeret laki-laki itu dalam kegilaan dan akhirnya, mereka di sini. Menghela napas panjang, Deswinta menegakkan kepala untuk menatap laki-laki itu.

"Maaf, ta-tapi ini nggak akan terulang, Pak."

Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk. "Apanya yang nggak akan terulang?"

"Ini, soal itu."

"Duduklah, dan minum kopinya. Aku buat manis, biar nyaman di lambungmu. Makanan yang aku pesan sebentar lagi datang."

Deswinta tercabik antara keinginan untuk melarikan diri atau duduk. Akhirnya, demi sopan santun ia duduk di sofa dan menerima gelas berisi kopi. Meneguk perlahan, membiarkan kehangatan masuk ke tubuhnya.

"Apa kamu ingat, siapa yang memberimu minuman tadi malam? Bisa jadi kamu salah memesan?" Laki-laki itu mengenyakkan diri di sampingnya. Deswinta berjengit, saat celana panjang laki-laki itu menyentuh lututnya yang telanjang. Ia mendesah, menahan diri untuk tetap waras.

"Waktu baru datang, aku pesan hanya cocktail. Lalu menari tanpa minum apa-apa lagi. Sampai seorang gadis menghampiriku. Kami nggak kenal, dia mengajakku mengobrol dan mengatakan ingin merayakan ulang tahunya bersama."

Laki-laki itu mengernyit. "Gadis itu yang memberimu minuman?"

Deswinta mengangguk. "Iya, Pak. Segelas cocktail. Setelah meminumnya, tubuhku rasanya terbakar. Benar-benar tidak nyaman."

Deswinta menahan napas, saat tangan Laki-laki itu menyentuh lututnya. Ia mengusap wajah dan leher, berusaha menganggap kalau sentuhan itu tidak berarti apa-apa.

"Deswinta, apa kamu tahu kalau di tempat umum, dilarang meminum apa pun yang diberikan orang asing padamu?"

Deswinta mengangguk. "Iya, Pak. Tapi, saat itu aku cuma merasa kasihan padanya."

"Hanya dia yang kamu temui? Nggak ada orang lain? Agak aneh kalau orang yang nggak kamu kenal, berusaha menjebakmu. Kecuali, dia bagian dari sindikat sex, yang berusaha mengelabuhi gadis-gadis muda."

"Entahlah, Pak." Deswinta menunduk, menatap jemari Laki-laki itu yang kini berada di atas pahanya. Mengingat dengan susah payah, apa yang sudah dilakukannya sebelum akhirnya berada di tempat ini. Seingatnya, ia hanya minum dan menari. Sampai gadis yang tidak dikenalnya itu datang.

**

Cerita dewasa ini bisa kalian dapatkan di Karyakarsa. Tim buku bisa menunggu, akan dicetak bersamaan dengan Kutunggu Dudamu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro