1. Kusut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dulu Agni berpikir, pernikahan adalah sebuah akhir yang membahagiakan seperti di dalam dongeng putri Disney. Nyatanya, pernikahan Agni dan Bara bukanlah penghujung cerita yang membahagiakan. Bagi Agni, pernikahannya tujuh tahun lalu justru menjadi gerbang awal menuju kenestapaan yang membuatnya tak percaya lagi romantisme cinta saat biduk rumah tangganya harus hancur sebelum merasakan wedding anniversary yang pertama. 

Selembar kertas bertuliskan ‘Akta Cerai’ berhasil menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping dan menyisakan benih yang baru ia sadari telah bersemayam di rahimnya setelah Bara benar-benar meninggalkannya. 

Kini janin itu sudah menjelma menjadi dua manusia kecil yang setiap hari semakin kritis dengan semua pertanyaan acak mereka. Termasuk tentang keberadaan papi mereka. 

“Mi, apa Adek dan Kakak ndak punya Papi?” Untuk kesekian kali Raina mengajukan pertanyaan yang sama. Parahnya, sekarang gadis cilik itu melipat bibir erat, tak mau memasukkan satu butir nasipun ke dalam mulut mungilnya.

Agni hanya bisa memejamkan matanya dan mengatur napas. Ia lelah setelah seharian bekerja dan sekarang ia harus disuguhi rengekan manja Raina. “Sudah dibilang, Kakak dan Adek punya Papi.”

“Tapi, Kakak sama Adek belum pernah ketemu Papi. Kata teman-teman di sekolah, Kakak sama Adek lahir dari batu.” Raditya yang lahir dua menit lebih awal dari Raina ikut menyerang.

Kalau sudah begini, Agni mulai kelabakan. Di satu sisi, ia jengkel sekali dengan teman-teman sekolah Kembar yang mengarang cerita seperti sinetron. Tapi, di sisi lainnya, ia tak bisa menjelaskan kenapa kedua anak kembarnya tak pernah bertemu papi mereka. Keduanya masih terlalu kecil untuk memahami permasalahan orang dewasa. “Kan sudah Mami bilang kalau Papi itu kerja di luar negeri.”

“Temen-temen ndak percaya, Mi! Mereka bilang Kakak bohong.”

Agni meringis menepis gundah. Si Kembar sudah semakin besar, dan jawabannya sekarang sudah tak lagi memuaskan mereka. “Papi sibuk, Sayang. Kaya Mami yang suka lembur.” Agni masih melontarkan dusta.

“Tapi Mami kan masih punya hari libur. Kalau akhir tahun juga Mami ambil libur panjang,” dalih Raina yang selalu lebih kritis. 

“Lagian, papanya Desta yang kerja di luar negeri, juga sesekali pulang,” timpal Raditya. “Bener kata temen-temen berarti ….”

Agni meremas pahanya berusaha menguras stok kesabarannya. Ia tak bisa menjawab lagi pertanyaan Raina karena kebingungan sendiri dengan kebohongan yang ia buat. 

Kalau dipikir, menjadi single mother sebenarnya bukanlah pilihan hidup Agni. Namun, ia harus menjalaninya di saat usianya masih dua puluh tahun. Seandainya waktu itu ia tak mengiyakan saja lamaran keluarga Bara Wisanggeni, tentunya sekarang ia akan menjadi gadis perawan yang bahagia dan bebas menentukan jalan hidupnya tanpa banyak pertimbangan. 

Tapi, takdir berkata lain ….

Ketika Papa telah memasrahkan Agni pada Bara yang diam-diam ia puja sejak ia masih kecil sebelum Papa meninggal, ia hanya menyetujui saja wasiat itu. Di usia dasawarsa kedua, status single telah Agni tanggalkan, tepat setelah hukum gereja dan negara mengesahkannya menjadi istri Bara yang membuat ia menjadi seorang ibu dari sepasang anak dampit. 

“Oke! Sekarang Mami tanya, Adek sama Kakak mau nurut Mami atau percaya sama omongan teman-teman kalian?” Kesabaran Agni sudah menguap. Suara Agni mulai meninggi. Wajahnya sudah kusut, sekusut hatinya yang sepertinya sedang dipermainkan hormon menjelang datang bulan.

“Ada apa, to?” Suara Tante Mirna, adik Mama menyeruak mengisi keheningan yang sempat bergelayut di ruang makan. Untungnya ada Tante Mirna yang bisa mencegah meledaknya amarah Agni. 

Sontak Si Kembar meloncat dari kursi, menghampiri oma mereka yang masih terlihat muda. 

“Oma, Mami galak!” Raina mulai mengadu. 

“Kenapa kok galak? Kakak nakal?” tanya Tante Mirna sambil melirik ke arah Agni yang bibirnya sudah maju beberapa senti.

“Ndak!” Suara Raditya melengking. Ia memang sering menjadi tersangka utama kemarahan Agni karena sering bertengkar di sekolah. “Adek tadi nanya apa kami ndak punya Papi karena Papi ndak pernah kelihatan.”

Pandangan Tante Mirna bersirobok dengan Agni. Seperti dirinya, wanita berusia lima puluh tahun itu sudah sangat hafal dengan drama anak-anaknya kalau menyangkut soal papi mereka. “Loh, Papi kalian kan lagi tugas.” Tante Mirna mengangkat cucu perempuannya dan ikut duduk mengitari meja makan. “Tadi, Oma dengar, katanya saking pinternya Papi kalian, Papi kalian mendapat tugas penting terus. Jadi, Raina dan Raditya harus berdoa agar Papi dikasih kesehatan.”

Untungnya, ada Tante Mirna yang menjadi pawang si kembar. Walau wanita paruh baya itu tak menikah dan tak punya anak, tapi jiwa keibuannya begitu mendarah daging. Tak seperti dirinya yang selalu kebingungan menghadapi Kembar sejak kedua anaknya lahir prematur dengan berat badan lahir rendah. 

“Iya. Makanya Adek sama Kakak makan yang banyak biar Papi ga kepikiran. Oke?” Agni berganti mengelus kepala Kembar sambil menarik bibir tipis. Dalam hati ia terkekeh geli. Bagaimana bisa Bara akan memikirkan mereka kalau mereka putus kontak sejak bercerai? Mungkin nama Agni juga sudah tak lagi ada dalam memori Bara. 

***

Malam ini, setelah anak-anak sudah terlelap, seperti biasa Agni akan menghabiskan waktu untuk menonton drama korea kesukaannya ditemani boneka Cinnamoroll pemberian Cakra untuk Raina. Tak seperti biasanya, Tante Mirna yang lebih menyukai membaca, ikut duduk bersama Agni setelah menyodorkan secangkir teh melati yang masih mengepulkan uap hangat.

“Udah mulai sibuk?” Tante Mirna memulai basa-basinya. Biasanya di akhir tahun seperti ini, Agni memang disibukkan dengan tugas di bagian keuangan puskesmas tempat ia bekerja, dan Tante Mirna sudah sangat hafal rutinitas tersebut selama ia bekerja sebagai ASN lima tahun ini. Kalau percakapan random seperti ini sudah terlontar dari bibir Tante Mirna, Agni tahu pasti akan ada hal penting yang dibicarakan.

Namun, Agni tak lantas menjawab. Ia masih memejamkan mata menikmati wangi melati yang menguar dari teh buatan Tante Marni yang selalu berhasil menenangkan pikiran kalutnya. Setelah menyeruput cairan merah bata yang manisnya pas, ia membuka mulut. “Sudah. Paling sampai tanggal lima belas nanti, saya masih lembur terus.”

Tante Mirna mengangguk-angguk. Ia memangku tangan yang menangkup cangkir keramik di pahanya. “Soal papinya Kembar. Apa ndak sebaiknya kamu kasih tahu ….”

“Nte!” Agni mendengkus. Bila ada yang menyebut ‘papinya kembar’, moodnya selalu berhasil terjun bebas. Siapa yang tak sakit hati bila diceraikan sepihak? Apalagi alasan gugatan cerainya tidak masuk akal.

Perselingkuhan. Pernikahan tanpa cinta.

Kalau dipikir siapa yang berselingkuh? Bara memelintir fakta bahwa sebenarnya dialah yang bermain-main dengan anak pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Tapi, sejak awal Agni memendam kecemburuannya karena tak ingin terlihat menjadi istri pencemburu yang menyebalkan. Apalagi Agni saat itu masih kuliah dan Baralah satu-satunya tempat untuk bersandar secara materi. 

Tante Mirna menarik tangan Agni dan mengusap punggung tangannya. “Cukup kasih tahu mereka bagaimana muka papi mereka. Mereka semakin besar dan berhak tahu.”

“Tahu kalau papi mereka tukang selingkuh?” tukas Agni ketus. “

Tante Mirna mengembuskan napas kasar. “Nduk, mantan suami dan istri itu ada. Tapi ndak ada mantan anak, mantan ayah, atau mantan ibu.”

“Saya tahu, Nte. Tapi saya belum siap melihat muka Mas Bara lagi. Mungkin dulu saya terlalu bucin, jadinya malah kecewa.” Pandangan Agni menerawang mengingat betapa polos dirinya saat Bara memenuhi permintaan Papa karena menganggap laki-laki yang usianya lebih tua sepuluh tahun itu menyukainya. 

“Oh, ya, kemarin mamanya Cakra telepon Tante. Nanyain hubungan kalian.” 

Agni berdecak dengan wajah yang semakin kusut. Tak dimungkiri Cakra adalah orang yang berjasa menemaninya saat ia terpuruk. Cakralah yang melarangnya menggugurkan kandungan ketika Agni mengetahui ia hamil setelah perceraian. Laki-laki yang sekarang berprofesi sebagai dokter anak itu juga ikut menungguinya saat persalinan dan di mata Kembar, Cakra adalah sosok kebapakan yang tak bisa mereka temukan di dalam diri Agni. 

“Entahlah. Sementara kami ya masih begini-begini saja.”

“Kamu trauma menikah?” tebak Tante Mirna.

Agni menunduk, menatap teh  yang tinggal separuh di dalam cangkir. “Mungkin.”

“Kamu sudah mengenal Cakra cukup lama. Tujuh tahun kamu melihat sendiri ketulusan Cakra.” Tante Mirna menyeruput teh buatannya sendiri. “Apa ndak sebaiknya kamu pertimbangkan untuk membuka hatimu, Ni?”

“Saya belum siap, Nte. Saya takut menyakiti Mas Cakra yang udah segitu baiknya sama saya.” Agni menggeleng dengan tatapan nanar. 

“Sebaiknya kamu pikirkan baik-baik. Cakra ndak cuma sayang kamu, tapi juga sayang sama anak-anak.” Tante Mirna bangkit dari duduknya, meninggalkan Agni yang sudah tak tertarik lagi dengan tontonan drama korea karena otaknya masih dipenuhi pertanyaan Kembar hingga obrolan singkatnya dengan Tante Mirna yang sudah ia anggap sebagai pengganti Mama.

“Membuka hati?” Agni menggigit-gigit kuku jempolnya yang sudah tandas karena kebiasaannya saat ia cemas masih melekat hingga dewasa. “Apa aku bisa?”

Pertanyaan-pertanyaan itu berhasil mengganggu tidur malam Agni. Ia benar-benar memikirkan obrolannya dengan Tante Mirna tentang Cakra. Memang minggu lalu, Cakra kembali menembaknya untuk yang kesekian kali yang tak bisa dihitung sejak tujuh tahun lalu. Walau selalu mendapati penolakan, Cakra tak pernah menyerah. Parahnya, kali lalu Cakra tak memintanya jadi kekasih, tapi lebih meminta ia menjadi daddy bagi Kembar dan suami untuknya.

Sampai detik ini, Agni tak bisa menjawab. Tidak mungkin ia memberi tahu Kembar bahwa tiba-tiba mereka akan mendapatkan ayah tiri sementara dalam benak mereka sang papi sedang bertugas bekerja di luar negeri. Dan sepertinya, alasan inilah yang selalu ia lontarkan saat memupuskan harapan Cakra. 

“Ni, anak-anak udah semakin gede. Mereka butuh figur ayah.” Siang itu Cakra mengajaknya makan di luar selepas kerja. Ia lagi-lagi kembali mengemukakan cerita yang persis seperti yang dilontarkan Tante Mirna tentang mamanya yang bertanya soal hubungan mereka.

Agni mengembuskan napas panjang. “Aku tahu Mas sayang sama anak-anak. Tapi aku ….”

“Ni, aku janji bakal jaga kamu.” Cakra menggenggam tangan kanan Agni yang menumpu di meja makan di samping piring yang sudah tandas.

Serta merta Agni menarik tangannya. “Maaf, Mas. Aku ….”

“Kamu … masih belum melupakan bapaknya Kembar?”

💕Dee_ane💕

Taraaa ...
Ada cerita baru lagi! Semoga kalian tertarik mengikuti cerita romansa ini. Aku lempar bab satu dulu, kasih jejak banyak-banyak biar aku semangat nabung tulisannya.

😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro