7. Hasil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bara kesal sekali pesannya diabaikan. Beberapa kali ia mencoba menelepon, selalu saja panggilannya tak diangkat sepanjang perjalanan pulang ke rumah di daerah Dharmahusada.  Pria itu terpaksa menjeda kekhawatirannya begitu tiba di rumah berlantai dua yang sudah sejak kecil ia tinggali, tepat di sebelah rumah yang pernah ditinggali keluarga Agni.

Bisa ditebak, sesampainya ia di rumah, Yangkung sudah menghadangnya, bersiap untuk mencecar dengan pertanyaan.

“Piye kabar Agni sekarang?” tanya Yangkung begitu Bara duduk di sofa depan televisi. Ia membuka jaket dan menyandarkan badannya kasar di sandaran sofa.

“Baik. Sehat.” Bara menjawab sekenanya. Ia sengaja belum memberitahu perihal Kembar karena tidak ingin membuat spekulasi tentang anak-anak itu.

“Sudah menikah?” lanjut Yangkung.

“Belum, Kung.”

Senyum Yangkung yang memperlihatkan deretan protesa gigi itu semakin lebar. Mata di balik kelopak berkeriputnya berbinar. “Ayo, bawa pulang. Kamu ini sudah dipasrahi Agni sama papanya, eh malah ditinggal, sampai Agni minta cerai pula.”

Sejak awal Yangkung salah sangka, berpikir Agni-lah yang menceraikan Bara. Namun, Bara tidak berusaha mengurai kesalah pahaman itu karena pasti ia akan membuat Yangkung jantungan bila tahu Baralah yang menceraikan Agni yang kepergok berduaan dengan Cakra di kamar mereka.

“Dulu, Agni datang bawa KK terbaru dan ngasih tahu kalau kalian sudah cerai dan dia bakal balik ke rumah ibunya. Ternyata selama ini dia sudah mengurus sendiri perceraian sampai kepikiran mecah KK.” Raut wajah Yangkung terlihat nelangsa. Kulit tuanya semakin tampak berkeriput. “Saat itu, Yangkung cuma melongo pas Agni peluk Yangkung. Yangkung ga iso nahan Agni supaya ga pergi.” Mata Yangkung berkaca-kaca.

Ada rasa bersalah menyusup batin Bara. Ternyata perpisahannya dengan Agni menyisakan luka pula di hati Yangkung yang selalu menyayangi mantan istrinya seperti cucu sendiri.

“Le, yo opo se kamu ga iso jaga Agni? Kamu sudah sanggupi wasiat papanya Agni loh.” Lagi-lagi topik yang sama terlontar.

Bara mendengkus. “Nanti kita lihat.” Ia bangkit dari duduknya menghindari percakapan yang membuatnya lelah. Sekarang ia harus fokus dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Kalau semisal Kembar adalah anak-anaknya … Bara menggeleng, menepis harapan yang terlalu tinggi itu. Ia ingat kalau ia selalu memakai pengaman untuk mencegah kehamilan. Terakhir mereka melakukannya, saat ia akan berangkat ke London. Cukup panas waktu itu karena Agni lebih aktif dari biasanya.

Detik berikutnya, secuil kenangan menyembul di kepalanya.

***

“Ni, kondomnya habis. Cukup ya?” tanya Bara waktu itu selepas melepaskan pengaman yang berisi cairan putih pekat.

Agni menggeleng lemah. Saat itu, Agni belum mencapai puncak dan Bara yang lelah jiwa raganya, sudah lebih dulu menyemburkan benihnya. Saat Bara bermaksud menyudahi karena kelelahan, Agni melemparkan sorot mata polos yang berkabut gairah. Ekspresi Agni waktu itu seperti anak kecil yang diganggu kesenangannya. Begitu menggemaskan, sampai akhirnya Bara terpantik untuk menggemburkan lahan Agni lagi walau tanpa pengaman. Namun, ia yakin sekali, malam itu ia sudah mencabut pada saat yang tepat sebelum mencapai pelepasannya.

***

Bara menepuk dahinya. Buru-buru ia membuka gawai dan mengetikkan kalimat di laman pencarian. “Apakah perempuan bisa hamil walau sperma dikeluarkan di luar?” gumam Bara sambil menarikan jempolnya di atas layar smartphone.

Tak menunggu lama, jawaban keluar dari situs kesehatan. “Mengeluarkan sperma di luar memang dapat mengurangi risiko kehamilan, tetapi risiko terjadinya kehamilan tetap ada, bahkan cukup besar.”

Jakun Bara naik turun. Bila benar nanti hasil tes DNA membuktikan Kembar adalah anak-anaknya, berarti ia menjadi ayah. Itu artinya ia harus mendapatkan hak asuh bagi anak-anaknya.

Bara lalu buru-buru mencari kontak Agni dan menghubunginya. Sayangnya sampai detik ini, Agni tak bisa dihubungi sehingga akhirnya ia memilih mengistirahatkan dulu badannya yang lelah.

***
Hingga hari keenam, Agni belum bisa dihubungi. Nomor Bara seolah diblokir sehingga pesan dan panggilannya tak tersambung. Sebanyak apapun kegiatan yang ia lakukan : membuat desain untuk sepupunya yang ingin membangun rumah baru, pergi ke gym, berenang, atau bahkan sesekali ikut futsal bersama teman-teman SMAnya, otak Bara tetap dipenuhi Agni dan Si Kembar.

Raditya-Raina.

Setiap Bara bangun, dadanya terasa sesak oleh kerinduan yang mengganjal. Ia ingin sekali mencium aroma telon yang sangat menenangkan yang pernah ia hidui walau hanya beberapa saat. Dalam hati, Bara berharap Kembar benar-benar darah dagingnya.

“Belum ada kabar dari Agni?” tanya Yangkung saat sarapan yang sedikit terlambat pada pukul delapan pagi ini.

“Sik ta lah, Kung. Ini udah enam kali Yangkung tanya loh!” Bara berusaha mengais kesabarannya.

“Iya ta?” Yangkung mengernyitkan alis putihnya.

Bara mengembuskan napas panjang. Pasrah. Seharusnya ia sudah hafal dengan kebiasaan kakeknya yang mulai pikun. Bahkan lebih parah dari tujuh tahun lalu. Tapi tetap saja ia kesal kalau ditanya Yangkung pertanyaan yang sama. Laki-laki hanya berdeham kesal.

Tawa Yangkung mengudara. “Makanya cepetan bawa pulang Agni. Dia paling maklum sama kepikunan eyang kakungmu ini.”

Selalu saja Yangkung berhasil menghubung-hubungkan pembicaraan apapun dengan Agni. Namun, saat ia akan merespon, notifikasi pesan masuk ke ponsel pintarnya.

Rumah sakit Kasih Bunda

Buru-buru Bara menarik tisu untuk membersihkan mulut yang berminyak, lalu dengan tangan bergetar ia membuka pesan yang berisi sapaan dengan tautan dokumen pdf. Jantungnya seketika berdetak kencang dengan peluh tipis membasahi dahi.

Paha Bara bergerak naik turun ketika ponselnya masih memproses membuka dokumen. Begitu dokumen terbuka, Bara segera menempelkan jari telunjuk dan jempolnya untuk memperbesar tampilan layar. Matanya bergulir ke bawah, melewati tabel dengan angka-angka yang tidak ia mengerti, langsung menuju ke bagian kesimpulan di bawah.

“Probabilitas Bara Wisanggeni sebagai ayah biologis dari Raditya Ananta dan Raina Anantari adalah 99,99998%.” Bara mengerjap berulang. Ia menyipitkan matanya memastikan tidak salah membaca. Lalu pandangannya menumbuk ke bagian atas paragraf terakhir. “Probability of paternity : 99,99998%.”

Bibir Bara seketika tertarik ke samping. Ia melompat begitu saja dari kursi, persis seperti waktu ia menonton klub sepak bola favoritnya bisa memasukkan bola ke gawang lawan. Reaksi spontan Bara itu tentu saja membuat Yangkung terlonjak.

“Opo’o? Agni hubungi kamu?”

Bara terkekeh dan memeluk eyangnya. “Kung, jangan kaget, ya?”

Yangkung mendorong badan Bara dengan pandangan kesal di balik kacamatanya. “Ada apa? Beritahu dulu baru Yangkung tahu bakal kaget opo ga! Ncen seje nemen arek iki!(Memang beda benar anak ini!)”

Dada Bara masih kembang kempis tak keruan. Ia berusaha menguasai diri. “Kung ….” Susah payah Bara menelan ludahnya. “Agni punya anak.”

Wajah Yangkung seketika membeku, menatap dingin cucunya. Ia mendorong Bara yang masih membungkuk. “Ah, ternyata dia sudah punya anak.” Yangkung mengangguk-angguk. “Apesmu, Bar!”

“Loh, kok Yangkung marah?”

Dentuman keras terdengar sesudahnya saat Yangkung menggebrak meja yang kemudian disambut dentingan sendok garpu yang bergetar. “Ya, marah! Yangkung sudah kehilangan cucu mantu yang Yangkung sayang gara-gara kamu ga iso jaga Agni!”

Bara kembali duduk. “Denger dulu, Kung.” Derak kaki kursi yang ditarik Bara mendekat ke arah Yangkung menjeda percakapan. Ia menangkup tangan keriput laki-laki yang merawatnya sejak kecil. “Anak Agni itu anak saya.”

Alis Yangkung mengerut. “Anakmu?” Laki-laki tua itu sampai mengorek telinganya.

“Iya. Anak saya,” jawab Bara tegas dan jelas. Bibirnya bergetar menyembunyikan senyuman yang ingin terus terurai.

“Piye carane? Kamu di London, trus setelah kamu pergi, Agni juga ga ngerti di mana batang hidungnya. Piye bisa hamil?” Yangkung masih menyangkal. “Mok kira iso ditransfer ta spermamu?”

Bara menarik napas panjang ketika akan membuat penjelasan panjang lebar. “Agni hamil. Sebelum cerai.”

“Nonsens! Piye carane coba?” Yangkung menggeleng-geleng.

“Duh, Gusti! Carane ya kami pernah begituan tanpa pengaman sewaktu masih kumpul to, Kung.” Bara berdecak kesal. Pipinya memerah, mengakui apa yang ia perbuat pada perempuan yang berjarak sepuluh tahun darinya.

Alih-alih merasakan kebahagiaan Bara, Yangkung justru menjitak kepalanya. “Jadi selama ini kamu sarungan di saat Yangkung pengin cicit?”

“Kung!” Bara mengernyit kesal. “Saya mikirin Agni waktu itu. Saya juga ndak nyangka yang terakhir gituan sebelum berangkat itu bakal jadi,” kilah Bara cepat.

“Sekarang apa yang mau kamu lakukan? Kalian sudah cerai, bisa jadi sekarang sudah ada laki-laki yang jadi bapaknya anakmu.”

Bara menggeleng. “Itu ga bakal terjadi. Yangkung tenang saja, saya mau ambil Kembar. Bapaknya Kembar cuma saya!”

“Kembar?” Alis putih itu mengernyit.

“Anak kami kembar. Namanya Raditya sama Raina.” Bara mengulur handphonenya dan menunjukkan foto jalan-jalan mereka dalam galeri.

Mata berkeriput itu perlahan berkaca menatap gambar Bara, Agni, dan kedua anak mereka. “Terus ibunya … kamu tinggal gitu saja?”

“Saya tetep bakalan jaga Agni meski kami berpisah. Yangkung tahu sendiri, Papa Arkan kan sudah kaya orang tua saya sendiri.” Bara menunduk teringat saat ia berusia lima tahun. Waktu itu ia pindah ke rumah Yangkung setelah Papi meninggal dan Mami sering membawa selingkuhannya ke rumah. Di saat ia kesepian, Om Arkan yang waktu itu masih single dan tinggal di sebelah rumah mereka, sering mengajaknya pergi berpacaran dengan Tante Mirta. Terkadang Om Arkan dan Tante Mirta membelikan ia kue, mainan, bahkan baju. Sebenarnya, masih banyak lagi kebaikan Om Arkan yang tak bisa ia lupakan sehingga setelah dewasa ia berjanji akan berbakti pada laki-laki yang menjadi figur ayahnya, dengan menjaga Agni.

“Le, kalian sudah anulasi belum?”

Bara kembali menggeleng. “Setelah ini, saya akan ajukan anulasi.”

“Jangan! Kalau belum kebacut anulasi, perjuangkan Agni. Sekarang kalian masih terikat. Sakramen pernikahan kalian masih diakui gereja.” Yangkung mengembuskan napas panjang. “Sebaiknya kalian rujuk saja.”

“Rujuk?” Bara membeliak. Menggeleng berulang. “Ga mungkin, Kung.”

“Ga mungkin piye?” Nada Yangkung kembali meninggi.

“Agni sudah punya kehidupan sendiri.”

“Ga iso ngunu. Kalian sudah punya anak. Anak-anakmu butuh sosok ayah dan ibu yang mendampingi. Kamu tahu sendiri bagaimana hidup tanpa papi mamimu kan?” Yangkung menyergah dengan nada mendominasi.

Bara termangu, mencerna kata-kata keras Yangkung. Otaknya memutar kembali kenangan masa kecilnya ketika ia tiba-tiba kehilangan Papi setelah pertengkaran hebat ketika Papi melihat istrinya melenguh di bawah kungkungan laki-laki lain di kamar utama. Ingatan Bara akan maminya yang saat itu tak memakai sehelai kain bersama laki-laki asing itu, begitu membekas karena berdampak pada perpecahan dalam keluarganya yang awalnya seperti surga. Malam itu juga, Papi pergi membawa Bara dan mengendarai mobil. dalam keadaan emosi. Mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi akhirnya oleng dan tak bisa lagi dikendalikan hingga kecelakaan pun tak bisa dihindarkan dan merenggut nyawa Papi demi melindunginya. Sejak saat itu, ia membenci maminya yang membuatnya kehilangan Papi. Sejak saat itu, ia memilih mengikuti Yangkung dan seiring berjalannya waktu, ingatan masa kecil yang tertoreh lekat di benaknya membuat Bara enggan mempunyai perasaan mendalam pada perempuan.

“Yangkung tenang saja. Saya bakal ambil hak asuh mereka sehingga mereka ga bakal kekurangan kasih sayang ayah. Kembar juga bisa ketemu mami mereka.”

“Le ….”

Namun, keputusan Bara sudah bulat. Ia bangkit, menyudahi percakapannya dengan Yangkung, lalu menelepon seseorang yang ia selalu percaya dalam urusan hukum.

“Hak asuh? Mas punya anak sama Agni?” Cyra terdengar terkejut.

“Iya, Ra. Kamu bisa bantuin aku?” tanya Bara. “Pastiin aku menang gugatan di pengadilan.

“Mas tenang aja. Semua bisa dikondisikan. Nanti kalau sudah siap, aku kasih tahu Mas Bara.”

Bara tersenyum miring. “Ra, makasih ya. Kamu selalu bantuin aku.”

“Apa sih yang ga buat Mas?” Cyra terkekeh.

💕Dee_ane💕

Happy weekend🥰 Bara, Agni, dan Kembar datang lagi. Jangan lupa jejak cintanya🫰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro