9. Hari-H

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam ini tak ada lagi drama tentang outing class. Sepertinya anak-anak sudah pasrah bila mereka hanya akan ditemani Agni saat kelas di luar gedung nanti. Namun, bukannya tenang, semalaman Agni tak bisa tidur. Kepalanya dipenuhi bagaimana cara mempertahankan hak asuh anak-anak dan tentang pertanyaan Cakra yang membuatnya merasa bersalah.

Seandainya tak ada Bara, mungkin saja Agni bisa mempertimbangkan Cakra menjadi sosok ayah untuk anak-anaknya. Sejak Agni menerima akta cerai, dokter anak itu selalu menemaninya. Walau Agni pindah ke Solo, Cakra bahkan nekat mendaftar internship di kota ini hingga sekolah spesialis dan akhirnya bekerja sebagai pediatrik di tempat ini juga. Jelas Agni bisa melihat perjuangan Cakra untuk merebut hatinya.

Namun, sekarang ia harus membuat Cakra menyerah. Ia tak ingin kedekatannya dengan Cakra akan memperkeruh masalah yang timbul setelah kedatangan Si Borokokok. Agni yakin Bara akan menggunakan segala cara untuk mengambil Kembar termasuk akan mengungkit isu perselingkuhannya dengan Cakra sehingga bisa membuatnya kehilangan Kembar. Walau kedua anak itu sering membuatnya pusing dan hidupnya sulit, Agni tak rela jauh dari mereka.

Semalaman Agni tak bisa memejamkan mata karena kecemasannya bila ia bangun nanti anak-anaknya menghilang. Suara detak detikan jarum jam dinding, seperti suara langkah orang mengendap yang ingin mengambil anak-anaknya. Berulang kali Agni melihat ke arah pintu kamar yang tertutup dan menoleh ke mastikan Raina dan Raditya masih berbaring nyenyak di sebelahnya. 

“Mi, bangun!” Pekikan Raina membuat Agni tersentak. Seingat Agni, ia tak bisa tidur sampai azan subuh berkumandang. Namun, sekarang waktu sudah menunjukkan pukul lima, yang berarti ia hanya bisa terlelap selama lima belas menit.

“Kak, bangun!” Raina menarik selimut yang menyelubungi kakak laki-laki yang lahir lima menit lebih awal.

Agni bergegas menegakkan tubuh sambil menggosok kasar wajahnya, menepis kantuk yang mulai meraja. Akibat tak bisa tidur semalaman akhirnya ia merasakan badannya tak nyaman. “Kak, ayo bangun. Minum air dulu habis itu mandi.”

“Udah pagi ya, Mi?” Susah payah Raditya membuka matanya. 

“Ayo, Kak, jangan sampai telat. Nanti—”

“Adek mandi dulu. Kakak nanti,” potong Raditya.

Agni menatap kedua anaknya yang begitu bersemangat mengikuti outing class. Padahal pagi sebelumnya, Raina sempat merajuk karena Agni tak memperbolehkan mengajak papinya.

Pada akhirnya, pagi hari ini dimulai dengan kerepotan yang melebihi hari biasanya. Antusias anak-anak membuat Agni kewalahan karena ia belum menyiapkan barang-barangnya sendiri. Apalagi Raditya berulang kali mengingatkannya agar segera berangkat. Setelah persiapan kilat yang terburu-buru, mereka pun tiba di halaman TK pada pukul 06.30. Rencananya rombongan akan berangkat pada pukul 07.00. Walau masih ada waktu setengah jam, Raina sudah cerewet sepanjang perjalanan karena takut terlambat. Persis sekali dengan kebiasaan super disiplin Bara yang kakunya macam triplek.

“Tuh, masih sepi.” Susah payah Agni mengatur napasnya karena kepayahan mengikuti polah dua anak itu. Dengan tas bergambar timbul Spiderman di pundak kanan dan tas ungu Little Mermaid di pundak kiri, Agni benar-benar kerepotan sendiri. Belum ia menggendong dua tasnya sendiri : yang satu, tas kecil berisi dompet dan hape dan yang satu, berisi baju ganti. 

“Tuh, Renza sudah datang.” Raditya menunjuk di salah satu sisi halaman. 

Agni mengurut arah jari kecil Raditya. Dalam jarak sepuluh langkah dari tempat Agni berdiri, ia bisa melihat dengan jelas Renza diapit orang tuanya. Sang ayah menggendong dua tas, sementara ibunya hanya membawa tas kecil dan tampak masih rapi di pagi hari.  Berbeda dengannya yang harus terengah-engah sendiri dan peluh sudah menetes di dahinya.

Kalau melihat pemandangan orangtua lengkap dan anak mereka, sejujurnya ada gejolak dalam diri Agni. Tak ada yang ingin memilih memiliki jalan hidup sebagai ibu tunggal. Tapi, selama hampir tujuh tahun ini, Agni menjalaninya dengan air mata dan peluh. 

“Halo ….” Laki-laki yang ia kenal sebagai Papa Renza itu menyapanya. Ia juga mencolek istrinya memberi tanda kedatangan Agni. 

Agni tersenyum memberi salam keduanya dengan tubuh mungil yang ditimpa banyak tas. 

“Sini, Mom, ditaruh aja tasnya.” Ribka, istri Jeremy, berinisiatif membantu menurunkan tas Raina.

“Tas ini aja. Raina ga seneng kotor-kotor.” Agni menyodorkan lengannya agar Ribka bisa membantu menurunkan tas Raditya. Kalau dipikir-pikir, gara-gara Renza dan Raditya sering berkelahi, ia paling mengenal Ribka dari semua wali murid yang ada.

“Bara tidak ikutkah?” tanya Jeremy sewaktu Agni menegakkan tubuh setelah meletakkan tasnya sendiri.

Agni mengerjap, dengan tarikan bibir canggung. “Ga. Sibuk.”

“Pa, jangan gitu to! Senengnya kok nggodain.” Ribka menyikut suaminya. Jeremy meringis seolah kesakitan, entah itu betulan atau hanya akting saja. 

Melihat interaksi orang tua Renza, Agni semakin canggung. Ingin rasanya ia bisa mempunyai jubah tembus pandang milik Harry Potter agar tak perlu bersosialisasi dengan banyak orang seperti ini. Apalagi dia bukan type yang gampang membaur sehingga hanya nyaman saja dengan Ribka.

“Aku nggak nyangka loh, maminya Kembar itu istrinya Om Bara.”

“Mantan istri, Mah.” Jeremy membetulkan.

Ribka melotot ke arah Jeremy sambil mencubitnya. “Please deh, Pa! Sori, ya Mom.”

Agni memberikan cengiran. Kali ini pasti cubitan Ribka sangat keras karena membekas merah di lengan Jeremy. “Ga papa, Mom.”

“Kami dulu juga datang waktu nikahan kalian. Tapi bener-bener pangling.” Ribka melanjutkan topik yang sama. “Ayu banget.”

Agni hanya menarik bibir mungil penuhnya saja. Ia tak terbiasa basa-basi, sehingga ketika bel berbunyi tanda anak-anak dan orangtua diminta berbaris menurut kelas untuk menerima penjelasan, ia bisa bernapas lega. Namun, saat ia sudah menempatkan diri bersama Raina, Raditya belum memasuki barisan. Agni memandang ke sekeliling halaman dan mendapati Raditya berdiri di dekat gerbang.

“Lah, lapo ae se arek iku?” gumam Agni geregetan. Ia lantas berlari mendapati anak laki-lakinya.“Kak, ayo baris dulu.” 

“Sebentar—”

“Sebentar, sebentar piye? Wes katene mulai briefing kok (Udah mau mulai briefing kok).” Agni terpaksa menggendong Raditya. 

Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, pekikan Raditya membuatnya terlonjak. “Papi!” Anak itu meronta hingga Agni kewalahan. Tubuh Raditya pun melorot dari gendongan dan secepat kilat ia berlari kembali ke gerbang diikuti pekikan melengking kembarannya. “Papi datang!”

Agni menoleh. Matanya seketika membeliak mendapati Bara sudah berjongkok dan memeluk Raditya. Sementara itu Raina berlari melewatinya begitu saja dan menghambur memeluk papi mereka. 

“Mas Bara?” Lidah Agni kelu. Kepalanya seketika berdenyut dilanda emosi yang campur aduk. Ia tak mengira Bara datang ke mari karena ia tak pernah menyinggung soal outing class kali ini. Dari mana laki-laki itu bisa tahu?

Bara bangkit dengan menggendong kedua anak kembar yang bergelanyut manja di kedua lengannya. Diakui Agni, Bara terlihat seperti hot daddy yang mampu membuatnya berdecak. Kemeja kotak merah muda yang melapisi kaus merah marun dan dipadukan dengan celana jin membuat Bara terlihat muda walau usainya sudah hampir kepala empat. 

Agni melengos, dengan pipi memerah. Bagaimana bisa ia terpesona dengan wajah berahang tegas dan berhidung mancung itu? Apalagi sekarang Bara sudah mencukur kumis dan jenggot tipisnya sehingga wajahnya terlihat lebih bersih.

“Ayo, Mi. Wes katene mulai iku.” Bara menyapanya saat menghampiri Agni yang masih tertegun.

Agni terlonjak, lantas buru-buru membuntuti Bara. Mereka harus melewati tengah lapangan dan menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di situ hingga akhirnya mereka sampai ke barisan khusus orang tua. 

“Loh, aku pikir kamu tidak ikut, Bar.” Jeremy bersalaman dan memeluk Bara seolah lama tak berjumpa begitu Bara menurunkan anak-anak ke barisan siswa.

“Ikutlah.” Bara berdiri di sebelah Jeremy.

Agni yang ada di samping Bara masih termangu. Bingung. Bagaimana bisa Bara tiba-tiba datang? Namun, rasa penasarannya hanya bisa ia telan lagi karena pembekalan sebelum keberangkatan telah dimulai.

Begitu briefing selesai, Agni bergegas mengambil tas yang ia letakkan di pinggir halaman bersama tas yang lain. Saat ia hendak menggendong tasnya, tangan besar mengambil alih dengan mudahnya. “Kamu mau minggat atau mau pergi  sehari. Berat banget!”

Agni mendengkus. Selalu saja Si Irit Kata itu sekalinya bicara langsung tak enak didengar. Bara selalu memperlakukannya seperti anak kecil. “Biar aku bawa sendiri.”

Namun, Bara tak merespon. “Mana tasnya Kembar?” 

Agni menunjuk dan Bara mengambil dua tas milik anak-anaknya. Kini beban yang tadi ia pikul telah beralih ke pundak Bara. Tak seperti dirinya yang terlihat kepayahan, Bara dengan entengnya membawa dua tas dewasa di pundak kanan kirinya dan menenteng tas kembar. Tanpa kata, mereka mengikuti arahan wali kelas untuk menuju ke bus yang sudah disiapkan. 

Sementara Bara menitipkan tas mereka di bagasi, Agni naik ke bus lebih dulu. Mereka mendapat di barisan tengah dan Agni memilih tempat duduk dekat jendela. Begitu dia duduk di kursi bus yang empuk, Agni bisa menghela napas panjang. Sepanjang briefing tadi, badannya terasa tak nyaman. Mungkin karena semalam ia kurang tidur sehingga sekarang seluruh tubuhnya terasa lemas setelah berdiri sekitar lima belas menit.

Sejurus kemudian, Bara duduk di sebelahnya. Walau jarak antar kursi cukup lapang, tetap saja kaki panjang Bara memenuhi ruang yang ada. 

“Kamu pucat. Sakit?” Tiba-tiba Bara membuka suara sambil melepas topi hitamnya.

Agni tak berani menoleh. Ia hanya melihat ke arah luar jendela. Namun, Bara menarik dagunya sehingga kini wajah mereka bertemu. 

“Wes sarapan?” tanya Bara lagi dengan rambut acak-acakan. Sepertinya ia sengaja tak memakai pomade sehingga rambut ikalnya terlihat menggemaskan mirip seperti Raditya. 

Agni mengangguk.

“Ini aku bawa susu sama roti.” Bara merogoh tas plastik putih yang ada di pangkuannya. “Mau ga?”

Susah payah Agni menelan ludahnya sendiri, menatap nanar susu stroberi kesukaannya. Ternyata Bara masih ingat rasa susu kesukaannya karena ia selalu ngambek kalau Yangkung atau Bara salah membeli es krim atau susu pesanannya sewaktu masih kecil dulu. Namun, ia menepis pikiran itu. Siapa tahu Bara bersikap baik karena mau mengambil hatinya untuk merebut anak-anak. 

There is no free lunch. Tak ada yang cuma-cuma dan Agni harus lebih berhati-hati dengan Bara agar kekecewaan besar yang pernah ia alami tak merongrongnya lagi.

Agni mengambil alih roti semir dan susu kotak dari tangan Bara. Sepertinya ia butuh asupan energi agar bisa melewati hari ini tanpa drama gula darah ngedrop. 

“Mas, kok Mas bisa datang?” Agni tak bisa lagi menyembunyikan keingin tahuannya.

“Kembar semalam telepon.” 

Agni memutar bola mata, jengah. Ia lampiaskan begitu saja kekesalannya dengan menusuk lapisan aluminium foil di bagian penutup kotak susu dengan ujung lancip sedotan. Alih-alih tertusuk, yang ada sedotan putih itu menjadi bengkok. Dengan sigap Bara justru memberi susu stroberi yang sudah terpasang sedotannya kepada Agni dan mengambil lagi kotak susu yang Agni pegang. 

“Koen pancet ae grusa-grusa (Kamu tetep aja terburu-buru),” komentar Bara tenang. 

Telinga Agni terasa panas. Ia tak akan ceroboh seperti tadi kalau tak ada Bara di sampingnya.

“Mas, soal anak-anak ….”

“Kita bicarain nanti,” potong Bara cepat. 

Agni melengos, menyembunyikan wajah kusutnya. Ia menarik roti semir yang ia gigit dengan kuat seolah ingin menggigit kuat-kuat lengan Bara. Namun, baru saja ia menelan roti yang ia sudah lembut ia kunyah, perutnya bergolak. Ia meringis, menahan nyeri. Sepertinya Bara berhasil membuat emosinya terpancing sehingga asam lambungnya meningkat. Daripada kesal sendiri, ia memilih memejamkan mata untuk mengurai perasaan yang kusut. 

Titenono sampe kamu mau ambil anak-anak, aku bakal ngadepin kamu!

💕Dee_ane💕

Si Kembar dan ortunya datang lagi. Silakan kasih jejak kalian yak. Oh, ya, aku nulis cerita baru di KBM. Kali aja ada yang mau mampir.

Ini contekan blurbnya :
Zara Fatima merindukan pasangan setia karena tak ingin mengulangi nasib pernikahan orangtuanya di mana abinya berpoligami. Sewaktu hidupnya terpuruk, Zara bertemu Claudio Christian yang mampu menggetarkan hatinya.
Di sisi lain, Dio pun mempunyai perasaan yang sama dengan Zara. Mereka akhirnya berpacaran sembunyi-sembunyi sampai akhirnya Zara didesak untuk menikah.

Akankah cinta mereka bersatu ketika ada perbedaan yang memisahkan mereka?

"Mas, kamu mau ngucap syahadat?" ---Zara
"Ehm, gimana kalau kamu baptis dulu?" ---Dio

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro