Song(fic): Namaku Pertiwi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gugur Bunga - Ismail Marzuki

Shia - Kelompok 1 (Bung Tomo)
shianacaa

°🍀🍀🍀°

Apa yang kau inginkan di ulang tahun ini, Ibuku Pertiwi?

Kematianmu.

•••

Waktu telah berlalu, tetapi rasa sakitnya tidak pernah berubah.

"Hei, Anakku. Tidak bisakah kau bergantung padaku, barang sedikit saja?"

Kalimat itu terkelu di ujung lidah. Hari semakin gelap, kala anak-anakku berbalik di ujung pintu dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang hendak menimba ilmu demi hidup layak, ada pula yang merengek demi fantasi semu semata.

Perkara menjadi ibu memang tidak pernah mudah. Hari-hari kala harapan terlahir, semua penuh bahagia. Anak-anakku yang manis mengatakan cinta. Diciumnya punggung tanganku dengan derai air mata.

Kami menyayangimu, Ibu.

Maka, kami akan melakukan apa pun demi hidupmu, Ibu, begitulah awal mula anak-anakku yang polos tumbuh menjadi pria dan wanita yang hebat.

Nahas. Bak sepah dibuang, kala waktu beranjak tua, mereka sendiri mulai lupa. Pulangnya mereka tak selalu rumah. Bahagianya mereka tak selalu keluarga. Rasa cintanya tak selalu untuk negeri.

Namun, bagian yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa hal yang bisa kulakukan sebagai ganti hatiku yang diam-diam tercubit nyeri hanyalah menyembunyikan tangis sambil tersenyum menatap mereka.

"Tak apa, Anakku. Ibu selalu mendukungmu. Maju dan pergilah, cari kebahagiaanmu."

Mungkin aku sudah terlalu renta. Bisa apa aku, ketika anak-anak lugu yang selalu mencium telapak kakiku dengan lembut kini sudah bisa berdiri di atas kakinya sendiri?

Mungkin aku sudah terlalu lemah. Bisa apa aku, ketika anak-anakku yang dulu tetap tersenyum kala tubuhnya luka sana-sini kini menangis dengan mudah hanya dengan sebaris kalimat fana?

Menjadi seorang ibu, benar-benar sulit, bukan?

Aku membesarkan anakku dengan hati yang teguh. Menanamkan jiwa berbudi luhur dan cinta kasih yang kuat. Kudidik mereka menjadi jiwa hebat, agar kelak mereka akan menjadi pahlawan bagi keluarga kecilnya.

Lantas, kusebut apa sosok pahlawan yang meninggalkan ibu serta negerinya sendiri?

Nyatanya, anak-anakku tidak pernah kembali. Baru-baru ini, kuketahui hidupnya sudah laksana saudagar di negeri seberang. Tubuh tidak lagi penuh luka, serta keluarganya tumbuh tanpa kekurangan.

Waktu tidak pernah berhenti. Hari-hariku sebagai ibu tidak lagi seindah hari lalu. Sejumlah kecil tetap di sampingku, dengan rangkulan lemah berkat ejekan bahwa aku tak lagi berharga.

Sampai suatu waktu, akhirnya aku sadar satu hal; Selama ini, di mata anak-anakku yang telah pergi, aku hanyalah sebuah ... kesendirian.

Maka, untuk apa aku berpura-pura jadi sosok ibu yang baik lagi, bukan?

Jadi, di suatu malam yang dingin, aku meninggalkan anakku. Melupakan sekat-sekat kenyataan bahwa aku menyayangi mereka. Lunglai aku menempuh hidup dalam keabadian di balik layar. Kutatapi anak-anakku berkembang di luar pengawasan.

Anak-anakku yang bodoh, membangun peradaban.

--maka, rasa hati ingin mengingatkan; bagaimanakah konsep sesungguhnya dari tempat yang kau sebut rumah itu, wahai Anakku?

Anak-anakku yang pintar, mencari pembuktian.

--maka, rasa hati ingin menanyakan; apakah pengorbanan ibumu ini setara dengan negeri asing di luar sana, wahai Anakku?

Namun, hanya anak-anakku yang baik, selalu kembali tanpa sebuah tuntutan.

--maka, rasa hati mulai tersedu; aku selalu mencintaimu, selalu menangis untukmu, selalu berdoa untuk keselamatanmu, serta berteriak lirih dalam duka, "Maaf aku tidak bisa menjadi ibu yang lebih baik."

Jika dulu aku adalah ibu yang melindungi seluruh keluargaku, kini aku menjelema menjadi mimpi buruk bahkan untuk anak-anakku sendiri.

"Anakku, jika menurutmu hidup di negeri ini adalah kegagalan, bukankah mata pisau di atas meja itu akan membuatmu lebih baik?"

Kukatakan itu dengan nada yang lembut. Membuainya dengan rasa putus asa. Kemudian membimbingnya sambil meratap dalam-dalam.

Anak-anakku yang kini telah menyisakan nama dengan rasa sayangnya yang begitu besar tidak mati agar perjuangannya dapat disia-siakan. Pengabdiannya dulu adalah hal yang kulindungi.

Terlepas kelak anakku, yang dewasa tanpa bersyukur akan segala hal yang diberi, sadar bahwa ibunya kini penuh luka sambil merangkul pada keabadian, semua sudah terlanjur salah--

Kau tidak pernah bisa lari dariku. Tidak kemarin, tidak kini, ataupun nanti.

Maka, kau tidak perlu khawatir. Aku tetap di sini, selalu di sini.

Sampai kau ingat ... apa saja hal yang sudah kau abaikan hingga kini.

--jadi, matilah, wahai anak-anakku.

•••

Betapa hatiku takkan pilu.

Telah gugur pahlawanku.

Betapa hatiku takkan sedih.

Hamba ditinggal sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro