Surabaya, 2 Juni 2019

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menelis untuk hari ini pada bagian hari yang terang. Temperatur cukup panas, titik pusat tata surya menyilaukan apalagi aku sekarang berada di tribun lapangan atletik. Menunggu seseorang yang sibuk di tengah lapangan.

Kata Radit tempat ini bernama lapangan THOR awalnya aku tidak percaya tetapi setelah aku semakin lama di tempat ini dengan mendengarkan orang-orang di sekitarku yang menyatakan bahwa lapangan ini bernama lapangan THOR atau Tot Heil Onzer Ribbenkast, sangat pelik untuk orang yang baru belajar mengeja. Tidak apa nama yang keren sekali.

Duduk di sini sama seperti menyaksikan keseharian Radit seperti apa, aku kira dia adalah guru olahraga di sekolah ternyata dia adalah pelatih olahraga cabang altetik. Sekarang dia sedang sibuk dengan lima belas atlet lari kira-kira masih pelajar SMP karena mereka tampak lucu dan menggemaskan, dari apa yang aku lihat mereka sungguh yakin jika Radit sangat dapat dipercaya.

Aku datang ke tempat ini sekitar pukul enam pagi, terlalu pagi memang untuk Radit bangun. Setahu aku dia akan terbangun pukul sembilan namun pukuk lima pagi tadi aku mendengar suara ketukan pintu kamar. Aku sendiri bingung saat aku membuka puntu tatapan Radit masih tersimpan rasa kesal, aku tahu itu bukan berarti langit tidak mengingatkanku. Boleh jadi pikirannya masih siang mungkin nanti jika sore aku akan bisa menjelaskan kepadanya.

Bukan urusan sepele membuatnya tersenyum lagi, ini kali pertama yang pernah aku rasakan jika dia terus membisu kepadaku. Aku juga tidak tahu apa yang menjadi masalah di kepalanya, apakah panas matahari kali ini tidak mampu meluluhkan hatinya? Langit bantulah aku, jujur aku kebingungan dengan sikapnya sekarang.

Jika Radit mampu menghiburku dikala aku sedang kesal terhadapnya lantas kenapa aku tersuntuk. Seolah gerhana total melanda hatiku yang kebingungan aku hanya mampu terdiam sembari hati tahu jika sebenarnya yang membuat dia girang hati namun tidak tepat jika membuatnya tersenyum sekarang.

Sepertinya dia akan datang menghampiriku jadi aku harus mengakhiri tulisanku sekarang, aku tidak ingin dia terlalu penasaran dengan buku merah yang selalu aku bawa ke mana-mana ini.

Untuk sekarang rasanya sudah aman, aku sudah melepas Radit di lobi hotel. Sekarang aku duduk di atas tempat tidur dengan pikiran yang sama mengenai Radit dan kata hati di kepalanya. Sekadar mengingat tadi siang dengan keringat bercucuran dia duduk di sebelahku, segera aku memberikan handuk kering kepadanya. Kau pastinya tahu jika dia masih bersikap dingin kepadaku.

"Sudah sejak kemarin malam kamu mulai bersikap dingin kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi? Kamu kesal denganku datang ke Surabaya tidak memberitahumu lebih dulu? Atau kamu kesal denganku karena duduk berdua denfan Rendy di stasiun?"

Dia menatapku sejenak saat itu aku langsung merasa masuk ke dalam lautan terdalam ketika aku mulai menjelajah matanya yang mengisikan jawaban semua pertanyaanku. Waktu itu dia mencoba untuk tersenyum kepadaku lalu melarangku untuk membahas kejadian kemarin. Aku langsung terdiam.

Boleh jadi menunggunya di tribun membuatku lelah jadi aku memilih untuk pulang dan Radit segera menyetujuhinya. Anehnya dia tidak menahanku dan  mengantarku dengan cuma-cuma ke hotel tidak mengantarkanku sampai ke kamar melainkan hanya di lobi. Aku hanya mampu menghela napas waktu sama sekali tidak ingin memprotesnya. Dalam hati memang aku tidak ingin keadaan di antara kami semakin buruk.

Saat pertama kali membuka pintu kamar kau tahu apa yang terjadi dengan kamarku? Ya, boneka monyet yang aku bawa dari semarang kini duduk di atas taburan kelopak bunga mawar merah dan putih dengan di depannya tertera tulisan.

Maafkan tuanku ratu Aila.

Boneka itu masih di tempat semula sekarang aku hanya mampu tersenyum-senyum sendiri seperti orang yang kehilangan akal sehat tertawa terbahak-bahak seperti melihat acara komedi di televisi dan akhirnya aku meneteskan air mata bukan berarti aku sedang membaca novel dengan cerita sedih melainkan tangisanku melambangkan betapa mulianya aku di mata Radit dengan segala kelumpuhanku untuk meredam rasa kesalnya.

Aku langsung menelepon dia waktu itu, dia segera mengangkat dan sepertinya sedang berada di perjalanan pulang karena suara kendaraan yang riuh-rendah. Saat aku mengatakan terima kasih dan meminta maaf namun dia mencegahku, meminta agar membiarkan dia berbicara.

"Aku menyesal baru menyiapkan ini kepadamu saat kamu datang ke Surabaya. Maaf, jika memang sikapku membuatmu tidak nyaman. Jujur waktu itu aku kebingungan segaligus kecewa saat mendengar kabar kamu akan datang ke Surabaya namun kamu tidak kunjung memberitahuku. Mengenai Rendy aku tidak ada masalah, namun jika memang dia tidak menyakitimu dia akan selalu aman. Kamu tahu maksud aku?"

Ya, aku tahu benar apa yang dia katakan. Dia sebenarnya cemburu namun tidak diungkapkan dalam kata-kata yang dia ungkapkan namun aku bisa membaca dari sikapnya. Akan tetapi jika dia seperti itu kepadaku di saat aku mempunyai salah maka selanjutnya aku akan mampu mengitropekso diri sendiri sebelum akhirnya aku menyalahkan orang lain. Aku tahu jika dunia ini pasti akan menuntunku ke jalan yang benar namun jika pilihanku salah  maka dunia akan menjerumuskanku ke dalam jurang yang tidak diketahui dasarnya.

Untuk seterusnya aku akan terus belajar mehamimu sebelum akhirnya kita menikah, yang aku tahu selama ini bahwa hubungan jarak jauh tidak selamanya akan menunjukan sebenarnya yang terjadi karena bumi akan tetap membisu sampi takdir mempertemukan. Terima kasih kau telah mengingatkaku hari ini.

((BERSAMBUNG))

Bukankah dalam sebuah hubungan itu harus saling memahami, tetapi aku tahu jika hubungan jarak jauh tidak akan menunjukan hati yang sebenarnya kecuali jika dipertemukan pada belahan bumi yang sama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro