01. Desa Akar Merah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berjam-jam mendaki dan menyebrangi laut, akhirnya aku dan Morgan sampai di tempat yang ingin kami datangi. Bukan hotel mewah, bukan restoran yang jarang ditemui, dan bukan juga tempat indah yang jarang ditemui. Melainkan desa kecil yang terbengkalai dan penuh misteri, setidaknya itu yang dikatakan Morgan

"Akhirnya sampai!!" Morgan membuatku terkejut karena ia berteriak di tempat sepi.

"Kaget! Jangan teriak juga!" seruku kesal.

"Kenapa? Takut ada hantu muncul?" tanya Morgan dengan senyuman jail.

"Kalau hantu sih masih mending, kalau bangunannya roboh itu baru serem," kataku kesal sambil membetulkan kembali gendongan tas ransel lalu berjalan mendahuluinya.

"Itu benar juga," kata Morgan yang diam sejenak sebelum akhirnya mengikutiku dari belakang.

Di sini terlihat toko-toko kecil yang terbengkalai. Masih terlihat bentuk-bentuk spanduk yang tertahan. Di bagian tengah-tengah diantara toko-toko kecil yang saling berhadapan juga ada beberapa meja yang bentuknya masih utuh. Semua itu ditutupi oleh akar-akar coklat kusam kering yang seakan-akan menyatu dengan semua perabotan.

"Ini dia tempatnya! Desa ­­­Laka! Dikatakan semua yang tinggal di sini tidak ada yang berhasil selamat!" Mulai lagi deh ini anak. "Tempat ini penuh dengan misteri! Akar-akar coklat ini yang datang entah dari mana dan orang-orang yang menghilang tanpa jejak!"

"Orang-orang yang menghilang?!" tanyaku kaget.

"Itu benar!" seru Morgan yang memperbaiki letak kacamatanya dengan senyuman lebar. "Entah ini kejadian pembunuhan atau supernatural!" seru Morgan seperti mengeluarkan api dari iris coklat gelapnya

"Kenapa supernatural?" tanyaku bingung.

"Bisa di lihat di sini bahwa tempat-tempat ini ditutupi oleh akar-akar pohon yang warnanya merah kecoklatan. Secara logika ini aneh. Pertama dari posisi antara bangunan di sini dengan pohon-pohon, mungkin memang ada beberapa bangunan yang dekat dengan pohon tetapi meja ini jauh dari pohon." Morgan mendekati salah satu meja yang sudah rusak. "Lalu kedua, pohon di sini warnanya lebih sedikit kemerahan dibandingkan pohon-pohon pada umumnya. Apalagi pohon di sana yang batangnya lebih gelap dibandingkan ini," kata Morgan sambil melihat ke satu arah dimana sebuah pohon yang dililit akar coklat dan terlihat batangnya yang berwarna coklat gelap.

"Itu semua tidak salah sih, tetapi yang menjadi pertanyaanku sekarang kamu tahu dari mana?" tanyaku sambil menatap Morgan malas. "Kamu bilang sendiri baru pertama kali datang."

"Tentu saja! Karena ayahku adalah detektif yang menangani kasus ini!" seru Morgan bangga.

"Oh iya aku lupa ayahmu detektif," kataku sambil memukul pelan jidat sendiri.

"Seharusnya Helena ingat saat memberikan surat persetujuan ke orang tuamu," kata Morgan dengan nada kesal.

"Aku malas cek," kataku polos yang di balas hela nafas pasrah oleh Morgan. "Oh iya trus bagaimana dengan tempat tinggal kita selama di sini?" tanyaku sambil membetulkan ikatan ekor kuda rambut hitamku yang melonggar.

"Tenang saja, semua sudah aku urus kok. Baik tempat tinggal, makan, dan saat kita pergi nanti. Tapi sekarang aku akan melihat ke sekeliling!" kata Morgan yang mulai mendekati toko-toko itu.

Aku menaikan kedua bahuku dan mulai mengikutinya dari belakang. Saat Morgan mengecek di dalam toko yang masih dapat dijangkau, aku memilih mendekati rumah kecil yang kalau ingin dimasuki harus menunduk. Ini luar biasa, bahkan di dalamnya tidak tertutupi oleh akar. Akar-akar ini seakan-akan menjadi pelapis yang menyatu dengan dinding.

Di sana aku bisa menemukan tumpukan kertas yang dikumpulkan menjadi buku. Isinya adalah gambar-gambar anak kecil yang di gambar dengan crayon. Kalau di lihat sekilas terlihat seperti buku harian bergambar. Tak sengaja aku menemukan halaman yang menunjukan deretan angka acak. Apa maksudmu—

"Helena, apa yang sedang kamu lakukan?" Morgan menyusulku dengan kepala yang masuk ke daun pintu yang terbuka.

Sebelum kembali berbicara aku menghela nafasku pelan, kaget tiba-tiba Morgan muncul. "Aku menemukan ini," kataku sambil menaikan sedikit buku di tanganku.

"Apa itu?" tanya Morgan yang mengintip ke buku yang di tanganku.

"Seperti buku harian dan ... angka. Apakah menurutmu ini mengartikan sesuatu?" tanyaku.

Morgan langsung mengambil kertas yang berisi deretan angka. "Tentu saja! Kita harus membaca buku harianya!"

"Bukankah kurang sopan membaca buku harian seorang gadis?" tanyaku jail.

"Aku tidak ingin dikatakan oleh orang yang sudah membuka buku harian itu duluan." Aku tertawa mendengar perkataan Morgan.

"Apakah anda yang bernama Morgan?" tanya seseorang di luar yang membuatku bingung. Bukankah di sini tidak ada orang selain kami berdua?

"Tentu!" Morgan langsung menarik tubuhnya keluar tanpa tersentak kaget, berbeda denganku. Setelah Morgan pergi dari daun pintu aku perlahan beranjak dari posisiku. "Ada masalah?"

"Tidak, ada masalah saya hanya tidak sengaja lewat dan melihat anda. Untuk tempat penginapannya sudah siap, apa mau langsung masuk?" tanya seorang Wanita dengan senyuman lembut.

Aku yang sudah berdiri menatap Wanita itu kaget. Tidak mungkin bukan? Padahal ... tidak, mungkin saja dia hanya seseorang yang mirip. Tetapi dari awal ... mengapa ada orang di sini? Padahal pemukiman ini cukup jauh dari pemukiman yang lebih besar. Aku bisa merasakan dadaku sesak.

"Helena?" Aku mengangkat kepalaku dan melihat Morgan yang khawatir. "Kenapa? Apa aku terlalu memaksamu? Mau beristirahat saja?"

"Tidak apa-apa! Aku sedikit sesak karena debu tadi di dalam!" seruku cepat.

"Helena ... ya?" Mataku kini beralih ke arah Wanita itu yang terlihat kaget melihatku. Tak lama ia tersenyum manis. "Kalau tidak ingin langsung ke penginapan, ada tempat makan untuk beristirahat di sana," katanya dengan sorot mata yang entah kenapa sangat senang.

"Ide bagus. Ayo Helena," ajak Morgan yang berjalan terlebih dahulu.

"Mari saya antar," ajak Wanita itu yang dibalas anggukan Morgan. Aku hanya mengikuti dalam diam di belakang mereka.

Ternyata beberapa Langkah di sebelah toko-toko terbengkalai itu ada sebuah pemukiman kecil yang mirip seperti toko-toko tadi. Entah kenapa rasanya ini membawa–

"Tidakah ini mirip seperti tempat tadi?" bisik Morgan ke arahku.

"Ternyata kita sependapat," balasku dengan bisikan juga.

Wanita itu sampai di suatu meja di depan sebuah warung yang tulisannya terdapat minuman dan makanan, baik yang berat mau pun ringan. "Penginapan ada di sebelah sana," tunjuknya.

"Baik, kami akan ke sana setelah melihat-lihat." Morgan melepaskan tali tasnya. Sebenarnya apa yang ingin dilihat sih? Aku hanya bisa ngedumel dalam hati saja. "Aku pesankan sesuatu ya, mau pesan apa?"

"Apa aja," kataku malas. Morgan hanya mengangguk lalu langsung beranjak. Aku merentangkan tanganku di meja, melepaskan perasaan lelahku.

Kepalaku mengingat kembali sebelum akhirnya aku memilih untuk ikut dengan Morgan ke sini. Awalnya kami hanya teman satu ekstra di kampus. Tidak sengaja aku dan Morgan termasuk kelompok yang menyukai misteri dan tidak sengaja pula aku tidak bisa pulang dilibur pendek ini. Akhirnya surat dari orang tua Morgan yang meminta persetujuan sampai ke tangan orang tuaku.

"Memikirkan apa? Kemisteriusan tempat tadi ya?" tanya Morgan jail.

Aku mendengus kesal. "Hanya memikirkan kembali kenapa aku mau aja ikut laki-laki yang lebih mementingkan kasus misteri dari pada cinta," kataku malas dengan tangan yang menumpu daguku.

"Kasus misteri itu sangat menarik!" seru Morgan yang dari matanya aku bisa melihatnya berapi-api.

"Iya-iya aku tahu aku sangat tidak menarik, bahkan aku rasa aku tidak dilihat sebagai seorang wanita."

"Tidak juga kok." Aku menatap Morgan kaget. Dia serius bilang begitu. "Kenapa dengan ekspresimu? Ayo kita lihat buku hariannya." Morgan berpindah duduk di sebelahku.

Aku menegakkan tubuhku dan menggeser buku harian agar lebih mudah dilihat oleh kita berdua.

"Wah! Gambarnya bagus!" seru Morgan. "Bahkan gambarku lebih jelek dibandingkan dia," kata Morgan yang tertawa hambar.

"Aku tidak menyangka itu yang pertama kali dikomentarin," kataku dengan tawa pelan.

"Benar kok, dengan gambar ini saja kita sudah mengetahui apa yang terjadi sedikit. Untuk tulisan di bawahnya menjelaskan lebih banyak," kata Morgan dengan sorot serius. Beneran deh kalau tampang seriusnya emang cakep.

"Ini minumannya." Sebuah gelas diletakkan di depanku.

Aku mengambil gelas kedua sebelum mendarat di meja. "Terima kasih .... " Aku terdiam melihat wajahnya. Seorang Wanita paruh baya dengan garis tegas di wajahnya.

"Hm, sama-sama," katanya dengan senyuman tipis lalu beranjak.

Mataku masih melihatnya. Dadaku kembali sesak. Kemungkinan tidak mungkin datang untuk kedua kalinya bukan? Lalu kenapa –

"Na!" Aku tersentak karena Morgan mengguncangkan lenganku. "Kamu beneran ga papa? Jangan menahan diri kalau butuh istirahat," kata Morgan khawatir.

"Aku ga papa kok ... hanya ...."

"Hanya?"

"Hanya belum terbiasa," kataku dengan senyuman, berusaha tidak membuat Morgan khawatir.

Morgan menatapku sejenak. "Ya sudah tapi jangan memaksakan dirimu. Kita hanya sekitar seminggu di sini. Kalau tidak kuat aku masih bisa menghubungi ayah untuk memanggil jemputan," kata Morgan yang membetulkan posisi duduknya.

"Bukannya di sini tidak ada sinyal?" tanyaku bingung.

"Menghubungi seseorang tidak hanya menggunakan hp yang bersinyal." Aku mengangguk mengerti. "Kalau begitu, kembali ke buku harian."

Kami menikmati buku harian itu. Dari isinya terlihat bahwa yang mempunyai buku harian dekat dengan neneknya dan tinggal di pemukiman tadi. Sayangnya ia harus ditinggal selamanya oleh sang nenek dan diasuh oleh saudara dari neneknya yang lebih muda. Ia menceritakan kesehariannya berinteraksi dengan pemukiman kecil itu. Di halaman lainnya ia mengatakan bertemu dengan teman baru yang menginap di sana sebentar dan mereka bermain bersama. Halaman selanjutnya ia merasakan ada hal yang aneh di dalam tubuhnya saat ia merasa marah dan kesal.

"INI DIA!"

"Astaga kaget!" Aku mengelus dadaku perlahan.

"Ini masalahnya!" seru Morgan yang menunjuk gambar yang terakhir kali kami lihat. "Setelah ini adalah bagian serunya!" Aku merasa mengerikan melihatnya.

Pada halaman berikutnya tidak ada yang aneh karena ia kembali bermain. Tetapi pada lembar berikutnya terlihat bahwa dia berlari menuju hutan dengan perasaan sedih karena tidak ada yang menjelaskan mengenai orang tuanya dan ia iri karena temannya yang menceritakan mengenai orang tua kandung. Di dalam hutan itu ia menemukan pohon aneh dengan batang yang berwarna merah yang seakan-akan memanggilnya. Tetapi sebelum mendekat, orang-orang sudah mendatanginya dan memintanya untuk pulang. Setelah itu ia dimarahi oleh walinya dan temannya menangis karena panik, karena merasa kapok ia tidak akan ke sana lagi. Halaman selanjutnya mengatakan bahwa ia bahagia tetapi di sampingnya ada halaman yang sudah di robek dan halaman yang berisikan angka.

Morgan menutup buku itu. "Oke, ayo kita ke hutan," katanya langsung menggendong tasnya.

"TUNGGU DULU!" seruku sambil menahan tas Morgan panik. "Langit sudah mulai malam! Masa ke hutan sekarang?! Yang ada tersesat baru tau rasa!".

"Tetapi ini seru!"

"Seru sih seru! Tapi kalau sampai tersesat itu tidak seru!" seruku kukuh.

"Benar kata gadis itu. Besok siang minta saja Azel, pemilik penginapan untuk mengajak kalian ke hutan," kata Wanita yang tadi mengantarkan minuman dari balik meja.

Azel. Aku terdiam mendengar namanya.

"Baiklah. Helena juga juga sepertinya kurang baik hari ini. Kita ke penginapan sekarang," kata Morgan.

Mataku yang masih melihat wanita itu, tersenyum tipis saat namaku disebut.

"Na?"

"Oh iya, ayo," kataku sambil menggendong kembali tasku.

Morgan memimpin jalan menuju penginapan. Aku hanya menunduk. Mengapa semua ini terlalu kebetulan? Apa benar semua ini hanya kebetulan?

Karena pintu yang tidak di tutup, Morgan langsung masuk dan terlihat sepasang suami-istri yang saling berbincang itu melihat ke arah kami yang baru masuk.

Sang suami melihat ke arah kami dengan senyuman lebar. "Selamat datang. Dari cerita istri saya anda adalah tuan Morgan dan temannya Helena." Pandangan matanya terlihat sangat lembut, itu membuatku merasa aneh.

"Panggil saja Morgan, saya lebih muda dari pada anda," kata Morgan dengan tawa kecil.

"Kalau begitu mari abaikan keformalan untuk lebih nyaman," kata sang suami yang dibalas anggukan oleh Morgan dan anggukan kecil dariku. "Perkenalkan aku Azel dan ini istriku, Medira," katanya sambil memperkenalkan istrinya.

Aku bisa merasakan dadaku kembali sakit.

"Dari perkataan wanita di tempat makan tadi, bapak bisa mengantarkan kami ke hutan?" tanya Morgan yang bisa aku dengar antusiasnya dari belakang.

"Tentu saja. Aku akan mengantarkan kalian saat siang, kalau pagi nanti akan tertutup kabut," kata pak Azel dengan tawa kecil.

"Baik pak tidak masalah," kata Morgan yang terdengar sangat bahagia.

"Kamar untuk kalian berdua sudah tersedia di lantai dua, apa mau langsung menempati?" tanya bu Medira dengan senyuman manis.

"Itu benar," balas Morgan.

"Kalau begitu ini kunci dengan nomor kamarnya, mari saya antarkan," ajak bu Medira.

"Terima kasih," kata Morgan sebelum akhirnya kami mengikutinya dari belakang.

Kami mengikuti bu Medira naik ke tangga. Di sini perabotan menggunakan serba kayu. Benar-benar membawa kenangan. Tidak lama bu Medira berhenti di depan salah satu pintu.

"Ini salah satu kamarnya dan kamar satu lagi berada di sampingnya," jelas bu Medira.

"Baik, terima kasih bu Medira," kata Morgan dengan senyuman.

"Sama-sama, silahkan anggap rumah kalian sendiri. Kalau ada masalah kalian boleh turun dan mengatakannya langsung. Kami akan selalu ada di bawah." Setelah itu bu Medira pamit.

Aku dan Morgan langsung memasuki kamar kami masing-masing. Aku memilih untuk duduk di atas kasur sambil melihat sekeliling. Perasaanku aneh. Tempat ini nyaman, orang-orangnya ramah, bahkan terlalu ramah tetapi entah mengapa itu yang mengganjal di hatiku. Apalagi nama-nama mereka dan keadaan ini.

.
.
.
.
.

Jadi mulai sekarang saya akan update setiap 2x seminggu.
Ini dia list ceritanya:

1. The 7 Element Controllers

2. New Daily Life Royal Twins

3. A Little Hope [Revisi]

4. As Blue Sea

5. My Family is Perfect But I'm Not

6. Akar Merah
Itu dia urutannya, bisa dicari setelah saya posting.
Mungkin ada perubahan dari tata bahasa dsb-dsb tapi semoga kenyamanan dalam membaca masih bisa dinikmati yaa~

Sampai jumpa kembali :3


-(25/05/23)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro