12 - Logika Perasaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rasanya, Aksara ingin memacu motornya dengan kecepatan penuh. Namun, akhir pekan bukanlah pilihan yang tepat untuk menarik gas dengan maksimal karena jalanan penuh dengan para manusia berakhir pekan ke kota. Jantungnya berdebar tak karuan karena perasaan yang campur aduk—merasa bersalah, merasa diburu waktu, dan merasa penasaran sepenting apa jawabannya bagi seorang Rasya Ghaida.

Beberapa lampu merah harus menghentikannya selama kurang lebih tiga sampai lima menit. Perjalanan dari rumah ke taman kota yang seharusnya bisa ditempuh kurang dari tiga puluh menit dengan kecepatan penuh nyatanya harus menghabiskan waktu seperti jika ia menggunakan angkutan umum. Keramaian jalan membuat pikirannya pun semakin ramai dengan beragam pertanyaan. Apakah Rasya marah? Apakah ia melakukan kesalahan? Apakah ia terlihat seperti lelaki yang tidak bertanggung jawab atas janjinya? Apakah ....

Pertanyaan dalam benak Aksara mendadak hilang saat lensa matanya menangkap sosok seorang perempuan dengan kardigan abu-abu duduk sendiri di bangku taman kota. Segera ia parkirkan motor di pinggir taman dan berlari menuju perempuan yang mengkucir setengah rambutnya itu.

"Maaf. Makasih udah tunggu," sapa Aksara dengan napas yang terengah-engah.

Perempuan itu tersenyum. "Santai aja. Maaf juga kalo aku ganggu waktu luang kamu. Hari ini nggak part-time?"

"Enggak. Kalo weekend saya dibolehin libur. Kecuali, di hari kerja ada izin, jadi gantinya bisa Sabtu atau Minggu."

Tak ada kata yang terlontar untuk membalas kalimat itu. Aksara pun merasa sedikit canggung berhadapan dengan perempuan itu lagi, Rasya Ghaida. Ia bahkan masih berdiri sambil memegang tali tas selempang berwarna hitam yang tersampir di pundak kanannya.

"Kamu nggak duduk?" tanya Rasya membuat Aksara sedikit salah tingkah. Ah, ia tidak pernah bertemu dengan perempuan berduaan seperti ini. Biasanya, ia bergaul dengan teman-teman perempuan di kampus pun hanya sebatas untuk kerja kelompok atau presentasi kuliah saja.

"Boleh duduk?" Aksara sedikit menyesali pertanyaan bodoh yang terlontar akibat kecanggungan ini. Ia menarik sudut bibirnya saat melihat perempuan di hadapannya tertawa, lalu duduk menjajari dengan jarak dua jengkal.

Lagi-lagi hening. Hanya embusan angin siang hari yang membelai rambut keduanya. Aksara pun sedikit memperhatikan perempuan di sampingnya itu dalam diam. Ada yang berbeda dengan gaya rambut Rasya hari itu. Sedikit rambutnya dikepang kanan kiri, lalu dikucir jadi satu ke belakang.

"Laper, nggak? Udah siang, makan dulu, yuk. Aku traktir kamu sambil ngobrol lagi." Selalu Rasya yang memulai obrolan. Aksara tidak mengerti mengapa tak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk memulai pembahasan mengenai puisinya yang menjadi tujuan utama pertemuan mereka itu.

"Eh, jangan. Bayar sendiri aja," tolak Aksara dengan halus.

"Nggak apa-apa. Lagian aku yang ngajak kamu ketemu. Yuk!"

Rasya sudah berdiri dan berjalan lebih dulu, seolah tak memberi kesempatan pada lelaki yang mengenakan kemeja garis-garis dengan kaos putih sebagai dalamannya. Jelas, Aksara tak diberi kesempatan untuk menolak. Maka ia hanya bisa mengikuti perempuan di depannya dan menyusul agar bisa berjalan bersisian.

"Sejak kapan kamu nulis puisi?"

"Nggak tau. Dari kecil emang suka nulis," jawab Aksara singkat. Rasanya masih sulit untuk bisa baik-baik saja tanpa jantung berdebar tersebab diri yang tak biasa berada dalam kondisi ini.

"Oh, kenapa suka nulis?"

Aksara tidak langsung menjawab. Pertanyaan itu membuatnya kembali teringat sang ayah dan memori indah yang mereka lalui sejak ia kecil. Ia bergumam pelan. Menimbang-nimbang jawaban apa yang bisa diucapkan tanpa menyinggung kisah pribadinya. Bagi lelaki penyuka hitam ini, menceritakan hal pribadi pada orang yang baru dikenal bukanlah hal yang tepat. Setidaknya, perlu hubungan yang lebih dekat agar kepercayaan terjalin satu sama lain.

"Ehm, kenapa kamu mau tahu?"

"Nggak apa-apa. Aku baru mulai nulis soalnya." Rasya mengeluarkan buku hitam yang sama persis seperti milik Aksara dari dalam tas kecil yang bergantung di bahu kirinya. "Nih, makanya beli buku ini juga."

"Kenapa kamu mulai nulis?" Setidaknya, daripada dirinya yang bercerita, Aksara lebih penasaran dengan perempuan berwajah sendu ini. Wajah yang sama seperti saat ia kehilangan ayahnya. Ia menduga-duga, apakah alasannya karena kehilangan yang juga dirasakan?

"Kalo aku disuruh psikolog." Perempuan itu menjawab dengan enteng.

"Psikolog?"

"Iya. Panjang ceritanya. Mending kita masuk situ dulu."

Aksara mengalihkan pandangannya mengikuti telunjuk perempuan itu yang mengarah ke sebuah restoran. Ah, restoran See & Meet, tempatnya bekerja.

"Serius di sini?" tanya Aksara sedikit tidak percaya.

"Iya, kenapa?"

Bukan apa-apa. Aksara hanya tidak mau rekan kerja yang mengenalnya berspekulasi macam-macam dan menanyainya banyak hal ketika ia bekerja di hari Senin nanti. Ada ketidaksukaan yang muncul jika orang baru ikut campur dan penasaran dengan masalah pribadinya. Lebih tepatnya, ia tidak nyaman.

Rasya tersenyum dan masuk lebih dulu—bahkan sebelum pertanyaannya terjawab—meninggalkan Aksara yang mengusap-usap kepalanya. Terpaksa, Aksara harus mengikuti perempuan itu. Setidaknya, biar obrolan mereka cepat selesai dan beban akan janji untuk menjawab pertanyaan Rasya bisa terangkat dari pundaknya.

Keduanya memesan makanan yang sama. Sebenarnya, itu karena Aksara malas memilih menu yang setiap hari sudah ia lihat saat kerja sambilan. Ia juga menangkap lirikan nakal dari beberapa waiter yang mencatat dan mengantar makanan. Semoga mereka nggak mikir aneh-aneh, harap Aksara dalam hatinya.

"Jadi, kenapa kamu butuh ketemu saya?" Kali ini Aksara memberanikan diri untuk membuka obrolan. Dorongan hatinya menguat karena rasa tidak nyaman melihat pandangan jahil rekan-rekan kerjanya yang berlalu lalang.

Perempuan di hadapannya menatap buku hitam yang ada di atas meja. Ia terlihat sedang berpikir, lalu akhirnya mengarahkan iris cokelat muda miliknya menatap Aksara. "Jawaban pertanyaanku waktu itu. Boleh jelasin kehilangan itu rasanya kayak gimana?"

"Emang kamu nggak pernah kehilangan?" Spontan pertanyaan itu keluar dari bibir Aksara, yang kemudian ia sesali. Mengingat wajah sendu perempuan itu saat mereka bertemu, pastinya perempuan ini pernah kehilangan. Mengapa harus ditanyakan lagi? Bukankah akan membuka lukanya yang belum mengering?

"Pernah, sih. Tapi, ya udah. Cuma kalo baca puisimu, kayak ada yang nyeri gitu di sini." Tangan Rasya bergerak ke dada kirinya. "Aku nggak tau kenapa."

"Mungkin karena kamu ngerasa sedih inget sama hal yang hilang dari hidupmu."

"Sedih, ya? Bisa jadi. Tapi kenapa aku harus sedih? Toh, semuanya akan hilang pada saatnya."

Perkataan Rasya memang tidak salah. Namun, Aksara merasakan sebuah lubang besar yang menganga dari kalimat itu. Logis, tetapi kosong. Entah apa yang menciptakan kekosongan itu.

"Iya, semua emang akan hilang pada saatnya. Tapi, kehilangan akan suatu hal yang selalu ada di sisi kita, itu menyakitkan. Kayak, bisa bikin hidupmu nggak ada arti dan tujuan lagi."

"Oh, ya? Sampai kayak gitu?"

Aksara menatap wajah Rasya. Ia bingung, apakah perempuan ini benar-benar pernah kehilangan atau dirinya hanya salah mengira? Apakah perempuan ini benar-benar tidak tahu rasanya kehilangan?

"Kamu pernah nangis?" tanya Aksara yang dibalas anggukan oleh Rasya. "Berarti kamu pernah sedih, kan?"

"Kayaknya."

"Kayaknya?"

Rasya menghela napas panjang. "Respons kamu sama kayak psikologku."

"Sorry, tapi ... kenapa kamu sampai harus ke psikolog? Ada ... gangg ... em, masalah?" Awalnya Aksara mau menyebut gangguan mental. Namun, ia ingat kata kakaknya bahwa tidak semua orang yang ke psikolog itu memiliki gangguan mental. Mungkin, mereka hanya butuh tempat cerita atau memang punya masalah yang tak bisa diselesaikan sendiri.

"Awalnya, aku ngerasa nggak ada apa-apa, sih. Ada, tapi masalah fisik. Suka tiba-tiba deg-degan nggak jelas, tiba-tiba panas dingin dan gemeter, sampai kupikir aku punya penyakit aneh. Aku sempet periksa ke dokter umum, tapi sama dokter disuruh ke psikolog. Katanya, masalah fisikku berhubungan sama psikologisku."

Cerita Rasya terpotong ketika pesanan mereka diantar. Setelah waiter yang mengantar makanan pergi, ia melanjutkan, "Akhirnya, aku dateng ke psikolog tanpa tau aku kenapa. Ya, aku selalu ngerasa baik-baik aja. Kalo disuruh ke psikolog, tuh, rasanya kayak aku jadi orang stres apa depresi atau semacam itu. Padahal jelas-jelas aku ngerasa baik-baik aja."

"Tapi ternyata nggak baik-baik aja?"

Rasya mengangguk. "Entah gimana ceritanya, aku nangis kayak orang aneh di depan psikologku. Dan dia nyuruh aku nulis diary buat nge-record apa yang terjadi sama aku sehari-hari. Dan pas aku ngajak kamu ketemu itu, aku ada jadwal konsultasi lagi. Di situlah aku sedikit nangkep apa yang terjadi sama diriku."

"Apa?"

"Nggak tau pasti. Tapi, aku disuruh belajar soal emosi dan nulis emosi yang aku rasain setiap hari. Katanya, diary-ku kayak cuma aktivitas biasa aja. Coba kamu baca, deh!"

Rasya menyodorkan buku hitam di atas meja itu pada Aksara. Meski sedikit enggan untuk membaca tulisan pribadi seseorang, lelaki yang memiliki buku hitam yang sama ini membuka lembar demi lembarnya. Benar, isinya hanya sebatas aktivitas harian yang dilaporkan. Terasa hampa karena tidak ada ungkapan perasaan di dalamnya. Sangat berbeda dengan dirinya yang selalu menuliskan perasaannya dan menuangkan emosi di setiap lembar buku hitam miliknya.

"Gimana? Menurutmu tulisanku kayak laporan biasa jugakah?" tanya Rasya lelaki di hadapannya mengembalikan buku hitam itu.

"Semacam itu. Terus apa hubungannya sama jawaban saya soal kehilangan?"

Dua ujung bibir perempuan itu menaik. "Seenggaknya, aku bisa tahu caranya deskripsiin satu hal. Kehilangan. Itu yang kamu rasain pas nulis puisi 'Malam', 'kan?"

"Tiap orang beda-beda dalam memaknai kehilangan. Mungkin apa yang saya rasakan bisa beda dengan kamu karena kehilangan itu bisa bikin ngerasain banyak hal. Sedih, marah, kecewa, bahkan mungkin ada rasa lega di dalamnya."

"Aku ... Entahlah. Kata psikologku, aku selalu menolak emosi makanya nggak tau caranya ngejelasin perasaanku."

"Kenapa? Karena kamu mau terus menjadi orang yang baik-baik aja?"

Rasya terdiam dan menunduk dalam. Tak lama, Aksara melihat ada yang jatuh dan membasahi rok abu-abu yang dikenakan oleh perempuan itu hingga menimbulkan tanya dalam benaknya. Apakah ia telah membuat seorang perempuan menangis?

***

Rasya tidak tahu alasan dibalik air matanya yang mendadak mendesak pelupuk matanya. Namun, saat mendengar pertanyaan terakhir yang terlontar dari lelaki di hadapannya, ia merasa seperti ada yang menusuk dadanya. Perih, tanpa darah. Apa yang terjadi padanya?

Kondisi itu hadir kembali. Jantungnya yang berdegup tak karuan, tangan dan badan yang mulai gemetar, keringat dingin yang menetes di punggungnya, juga air mata yang tiba-tiba membasahi rok abu-abunya.

"Kamu nangis? Apa saya salah bicara?"

Suara yang sedikit berat itu menyadarkan Rasya dari pikiran-pikirannya. Tangannya buru-buru menghapus air mata dan ia mengangkat kepala. "Enggak. Aku juga nggak tau kenapa tiba-tiba nangis."

"Apa ada perkataan saya yang menyinggung atau bikin kamu ingat sesuatu yang bikin nangis?"

Rasya menggeleng sambil tersenyum. Namun, lagi-lagi pertanyaan Aksara membuatnya berpikir dan menyadari bahwa ia sempat teringat dengan mamanya. Sekilas, ingatan masa kecil saat makanan yang ia beli dengan penuh perjuangan direbut oleh sepupunya, ingatan saat mamanya menyuruh dan mengharuskan ia menjadi perempuan yang kuat, dan ingatan saat mendengar orang tuanya bertengkar. Apa itu penyebab kehadiran segala reaksi fisik yang ia rasakan?

"Rasya?"

"Aksara, aku nggak tau kenapa. Tapi, pas kamu bilang soal aku yang ingin terus baik-baik aja, rasanya kayak ada yang nusuk. Sakit."

"Kenapa?"

"Aku nggak tahu. Aku cuma ... tiba-tiba inget sama beberapa hal." Saat berkata demikian, lagi-lagi air matanya menetes.

"Apa yang kamu rasain sekarang?"

"Sakit. Nggak tau. Aku bingung. Maaf. Aku jadi nangis nggak jelas di depan kamu."

"Nangis dulu aja. Nggak apa-apa."

Aneh. Perasaan aneh apa yang ini yang hadir dalam diri Rasya? Aksara adalah orang kedua setelah psikolognya, Rayen, yang berkata 'tidak apa-apa' saat ia menangis. Pikirannya belum bisa menerima bahwa menangis adalah hal yang benar untuk saat ini. Ia merasa malu. Bisa-bisanya menangis tanpa sebab yang jelas di depan seorang laki-laki, bahkan ini adalah laki-laki yang baru di kenalnya!

Rasya benar-benar tak habis pikir. Ia pun permisi pada Aksara untuk pergi ke toilet, untuk mencuci muka. Sialnya, air mata justru tak berhenti mengalir saat ia tiba di toilet. Beragam ingatan kembali terlintas dalam pikirannya dan kini, memori akan mantan pacarnya pun kembali berputar memenuhi benak. Dirinya harus segera tenang. Bukankah ketenangan bisa membuatnya berpikir dengan lebih jernih dan logis?

Butuh beberapa menit hingga Rasya akhirnya berhasil menghentikan hujan di pipi. Setelah tenang, ia pun mencuci muka dan berdiam sejenak memandangi wajahnya yang terpantul di cermin.

Kenapa harus malu? Kenapa aku seperti mempermalukan diri sendiri? Kenapa juga aku nangis? Rasya terus mengulang pertanyaan itu, tetapi ia tak mampu temukan jawaban dibalik rasa yang terus berusaha ia logikakan. Ia benar-benar malu untuk bertemu Aksara lagi karena tidak tahu penjelasan seperti apa yang bisa ia berikan untuk tangis yang tiba-tiba datang. Niatnya bertemu hanya untuk mendapatkan satu deskripsi emosi perihal kehilangan, tetapi justru rasa malu hadir untuk kembali melanjutkan niat itu. Kini, ia harus bagaimana?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro