23 - Kesempatan, Keberanian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tempat sampah di samping meja belajar sudah tak mampu lagi menampung banyaknya remasan kertas. Bola-bola kertas itu pun berserakan di lantai kamar tanpa dipedulikan oleh sang pemilik kamar, Aksara. Kalau ada ungkapan yang bisa mendeskripsikan kondisi kamar lelaki penyuka puisi ini, mungkin kapal pecah menjadi salah satunya. Selama pekan UAS berlangsung, lelaki ini tidak hanya belajar, tetapi juga terus mencoret-coret kertas menggunakan tangan kirinya.

"Ya ampun, Aksara. Lu mau bikin arena mandi bola kertas apa gimana?" Andra sudah berdiri di depan pintu kamar Aksara. Psikolog muda ini menerobos masuk karena ketukannya di pintu tak kunjung bersambut.

"Berisik, ah!" gerutu Aksara tanpa berpaling. Ia masih sibuk menarikan tangan kirinya di atas kertas. Menulis beberapa kata dan lagi-lagi meremas kertas itu karena hasilnya tak sesuai harapan.

"Itu tempat sampah sampai penuh. Lu bikin apaan, sih? Bukannya udah dapet keringanan dari kampus buat UAS?"

Ah, iya. Tersebab tangan kanannya tak bisa digunakan, Aksara akhirnya meminta keringanan untuk UAS yang mengharuskannya menulis esai. Untungnya, tidak semua mata kuliah menggunakan ujian tulis. Beberapa mata kuliah menugaskan makalah dan laporan analisis karya sastra sebagai tugas ujian akhir.

"Bukan buat UAS." jawab Aksara singkat.

"Terus buat apa?" Andra masih penasaran dengan kegiatan adiknya itu. Namun, pertanyaannya tak kunjung mendapat jawaban dan membuatnya berjalan mendekati meja belajar. "Lu belajar nulis pakai tangan kiri? Ngapain? Ntar kalo mulai kuliah lagi, gua pinjemin recorder, deh, buat ngerekam pas dosen ngajar."

Dengkusan kasar terdengar dari Aksara. Ia lagi-lagi melempar bola kertas dengan asal ke belakang. "Kalo gua nunggu tangan ini sembuh, kapan gua bisa nulis puisi lagi?"

"Kan, bisa ngetik di laptop atau hape."

"Beda feel-nya!"

"Buat Rasya?"

Mendengar nama perempuan yang selalu mengusik pikirannya setiap malam—setiap Aksara belajar menulis dengan tangan kiri—gerakan tangannya pun terhenti. Ia terkesiap ketika mengetahui kakaknya menyebutkan nama yang tak pernah ia sampaikan di rumah.

"Mas Andra tau Rasya?" Mendadak nada bicara Aksara melembut dan mengenal tata krama pada kakaknya itu.

Andra tersenyum miring dan duduk di kasur. "Sebegitu pengennya nulis buat Rasya?"

Akhirnya, Aksara menyerah. Ia benar-benar menghentikan aktivitasnya dan memutar kursi menghadap sang kakak. "Iya, sepenting itu sejak senyumnya muncul habis baca puisi gua. Gua pikir, nggak ada lagi yang bakal menikmati puisi-puisi yang gua tulis setelah Ayah pergi. Tapi, semesta ngirimin Rasya."

Lelaki yang memiliki tahi lalat di tempat yang sama seperti Aksara itu mengangkat alis, seolah kalimat adiknya terasa menggantung.

Bersamaan dengan itu, Aksara mengambil buku hitamnya yang tersimpan rapi di ujung meja dan membuka sebuah halaman. Ia pun menyerahkan buku itu pada Andra karena, seperti biasa, ia sulit menjelaskan perasaannya dengan panjang dan gamblang. Puisi adalah jalan ninja seorang Aksara.

----
Keajaiban itu hadir
Hanya melalui tawa kecilmu yang menggetarkan gendang telingaku

Keajaiban itu hadir
Hanya melalui ucapan terima kasih darimu

Keajaiban ...

Aku hampir menyumpah serapahinya
Atas ketidakhadirannya selama ini
Atas keengganannya menghapus derita yang menghantui

Bagaimana bisa semua hanya karena pertemuan nyata ... denganmu?

Apakah kau pesulap hati?
Atau kau adalah deputi yang Tuhan kirim sebagai jawaban atas segala doa kami?
----

"Boleh baca yang lainnya?" tanya Andra usai membaca halaman yang ditunjukkan oleh adiknya itu. Anggukan ringan dari Aksara membuatnya ini membuka lembar demi lembar setelah puisi yang dibacanya.

"Semuanya ... tentang Rasya."

Andra mengangguk-angguk mendengar tiga kata yang diucapkan oleh adiknya dengan lirih. Ia dapat melihat puisi-puisi yang ditulis Aksara menunjukkan keinginan kuatnya untuk terus menulis karena Rasya. Bagaimana keduanya bertemu, menghabiskan waktu bersama, tujuan Aksara menulis puisi, dan bagaimana perasaan Aksara saat mendapati senyum di wajah sendu milik Rasya, semua terekam dalam bait-bait puisi dalam buku hitam itu.

"Kenapa harus Rasya?"

Aksara tertegun. Pertanyaan dari Andra seperti mencekik tenggorokannya. Apakah itu sebuah pertanyaan karena kakaknya benar-benar tidak tahu atau hanya untuk memastikan? Seharusnya, melalui tulisan yang tersaji di hadapan kakaknya, perasaannya dapat tergambar dengan jelas.

"Gua mau mastiin aja. Sekali aja, jawab dengan mulut lu sendiri, Aksara," lanjut Andra saat mendapati adiknya terdiam cukup lama dan menatapnya dengan tatapan menusuk.

"Karena cuma dia yang bisa nikmatin puisi gua, kayak Ayah."

"Menurut lu, gua sama Ibu nggak nikmatin puisi lu gitu?"

Aksara menghela napas panjang. "Ngaku aja, lu nggak bener-bener ngerti apa yang gua tulis, kan? Mas Andra sama Ibu baca puisi gua cuma buat cari tau apa yang gua rasain karena gua nggak bisa nyampein perasaan gua secara gamblang."

"Ya, tapi bukan berarti nggak menikmati."

"Beda. Gua juga pengen puisi itu dinikmati, bukan cuma buat cari informasi soal perasaan gua."

Andra terkekeh. "Emang dasar lu aja yang udah bucin sama Rasya."

Pukulan ringan melayang dari tangan kiri Aksara yang bebas gips. Kakaknya itu mengaduh pelan sambil mengusap-usap lengan yang di pukul. "Btw, Mas Andra kok bisa tahu Rasya? Kayaknya, gua nggak pernah nyebut namanya, deh."

Pertanyaan itu membuat Andra mengingat kembali pertemuan tak terduganya dengan Rasya beberapa hari lalu. Cerita itu mengalir tanpa beban dan akhirnya, ia pun menemukan waktu yang tepat untuk menyampaikan pesan Rasya yang dititipkan untuk Aksara.

"Makanya, jangan kelamaan kabur."

"Bukan kabur," sanggah Aksara. "Gua nggak mau Rasya sedih liat kondisi ini. Waktu kejadian di resto aja, muka dia ... Ah, nggak sanggup liatnya."

Andra menepuk pelan pundak adiknya. "Ya, intinya, Mas Pujangga ini nggak mau liat Rasya sedih karena dirinya sendiri, kan? Emang lu pikir, dengan nggak bales pesannya dan nggak ngabarin sama sekali, dia nggak sedih?"

Kedua alis Aksara menyentak pelan. Kepalanya lantas menunduk dan kedua tangannya menyatu di atas paha. Perkataan kakaknya tidak salah. Akan tetapi, daripada membuat Rasya khawatir dengan kondisinya seperti ini, bukankah lebih baik ia menghubungi perempuan berwajah sendu itu ketika dirinya siap dan mampu menulis puisi lagi?

"Itulah kenapa, gua belajar nulis pakai tangan kiri," ujar Aksara beralasan. "Seenggaknya, gua bisa ngasih dia puisi pas kita ketemu."

"Kalo nggak ketemu lagi?"

"Emang dia mau pergi?"

Bahu Andra mengedik pelan. Ia hanya tersenyum misterius dan mengembalikan buku hitam dalam genggamannya ke dalam genggaman Aksara. Tanpa penjelasan lebih lanjut, psikolog muda itu bangkit dan melangkah keluar kamar. Meninggalkan Aksara yang jantungnya mendadak berdebar cepat dan banyak pikiran yang hadir dalam benaknya.

***

Rasya lebih senang jika ujian semester hanya perlu datang ke kampus untuk mengerjakan soal, lalu pulang setelah selesai. Sayangnya, harapan itu hanya terwujud di dua mata kuliah saja. Sisanya, ia harus menyelesaikan tugas kelompok dan laporan praktikum laboratorium bersama teman-temannya. Itulah mengapa, hari ini pun ia sampai rumah tepat saat azan isya berkumandang.

Langkah Rasya terasa berat hingga terdengar suara sepatu yang diseret saat ia masuk ke rumah. Rasanya, ingin segera merebahkan badan ke kasur dan memejam mata, barang kali sosok yang dirindukannya mampir menjadi bunga tidurnya. Namun, saat ia melewati kamar orang tua, telinganya mendengar sebuah percakapan. Tampaknya, mamanya sedang mendapatkan telepon. Mendengar respons dari mamanya, sudah dipastikan itu telepon dari kakak mamanya yang lagi-lagi meminta uang. Entah kali ini untuk apa, Rasya tidak menangkap informasi itu.

Rasya merasakan gemuruh di dadanya. Ia ingin menahan itu, tetapi ingatannya kembali pada perkataan Rayen saat konsultasi terakhir mereka.

Kamu juga punya hak untuk menyampaikan isi hatimu sama orang lain. Biar mereka pun paham dengan kamu.

Ya, kali ini Rasya enggan diam. Ia tak bisa melihat mamanya terus menerus mengorbankan diri dan keluarganya untuk membantu orang-orang yang tidak tahu diri itu. Bisa-bisanya mereka terus meminta pinjaman tanpa mengembalikan.

Selepas suara percakapan di dalam kamar hilang, Rasya mengetuk pintu dan masuk ke kamar orang tuanya setelah mendapat izin. Hanya ada mamanya di dalam. Sepertinya papanya belum pulang dan masih di restoran. Mungkin, ini saat yang tepat untuk berbicara berdua saja dengan mamanya.

"Baru pulang, sayang?"

Rasya mengangguk lemah. Tangannya meremas tali tas yang menggantung di bahu kanannya. Ia juga mengulum bibirnya, menimbang-nimbang kata-kata yang harus diucapkan pada wanita yang telah melahirkannya itu. "Ma, boleh Rasya nyampein sesuatu?"

"Kenapa, sayang? Nilai UAS-mu kurang? Nggak apa-apa kalo—"

"Bukan, Ma," sela Rasya pelan. "Tadi, Rasya ... sempet denger telponan Mama sama Pakdhe Rian. Dan ... ehm, apa Mama bisa berhenti ngasih uang ke keluarganya Pakdhe Rian? Mereka ... kalo Mama terus-terusan ngasih cuma-cuma, mereka bakal bergantung ke kita. Mereka harusnya usaha sendiri. Jujur, Rasya nggak tega liat Mama yang seolah dijadiin bank uang sama mereka. Dikit-dikit minta. Kenapa, sih, nggak nahan diri aja kalo mereka belum mampu bayar atau beli sesuatu?"

Lisa menghela napas. Mulutnya sedikit terbuka seperti mau mengatakan sesuatu. Namun, Rasya langsung melanjutkan kalimatnya seolah menunjukkan bahwa saat ini ia ingin didengar. Bukan disanggah.

"Ma, tolong. Mama nggak pernah nanya perasaan Rasya kayak gimana. Mama selalu ngelarang Rasya buat iri, sedih, dan harus selalu baik sama orang lain. Harus selalu ikhlas. Tapi, Rasya masih nggak sekuat itu, Ma. Bahkan sejak kecil, pas barang milik Rasya direbut sama Sarah, Mama nggak ada ngebela Rasya. Anak Mama itu siapa sebenernya? Rasya selalu mikir kalo mau minta uang, biar nggak bebanin Mama atau Papa. Kalo Rasya nggak sanggup beli sesuatu, Rasya nahan diri dan nabung. Rasya belajar buat tau diri. Tapi mereka? Apa mereka mikirin gimana kerja kerasnya Mama sama Papa kerja? Apa mereka nggak pernah nabung? Apa mereka nggak malu minta uang ke Mama buat bayar SPP Sarah, buat bayar cicilan rumah, buat segala hal yang sebenernya belum kapasitas mereka?"

"Rasya, dengerin Mama dulu, sayang ...."

"Rasya sedih, Ma. Amat sangat sedih liat Mama dimanfaatin kayak gitu. Rasya sedih liat Mama stres dan capek mikirin cara buat bantu mereka. Iya, Rasya tau kita harus bantu saudara. Tapi, nggak gini caranya, Ma. Kalo mereka bergantung dan nggak ngukur kemampuan diri mereka, bisa keterusan. Bahkan mungkin Rasya bisa kena imbas juga kalo Mama atau Papa udah nggak ada."

Ruangan berukuran 7x3 meter persegi itu diliputi keheningan. Ibu dan anak yang saling berhadapan tak mampu saling menatap dan hanya terpaku pada tempatnya masing-masing. Keheningan dalam ruangan diisi dengan suara napas Rasya yang terengah-engah setelah mengungkapkan perasaannya secara panjang lebar. Perempuan itu pun menghela napas panjang dan mengangkat kepalanya perlahan.

"Rasya bilang gini, biar Mama tau apa yang Rasya rasain. Rasya sedih, kecewa, takut, campur aduk dan nggak bisa diem aja untuk nerima semua ini," lirihnya dengan suara bergetar. "Rasya cuma mau nyampein perasaan Rasya, bukan buat ngelarang Mama ngapa-ngapain. Mama mau tetap bantu mereka, silakan. Lagi pula, uang Mama adalah hak Mama, bebas mau dipakai untuk apa pun. Tapi, Rasya bener-bener hilang respek sama keluarga Pakdhe Rian dan jangan paksa Rasya untuk baik-baik aja."

Setelah menyampaikan kalimat terakhir, Rasya melangkah cepat menuju kamarnya dan menangis. Semua perasaannya telah ia curahkan. Semua kesedihan yang ia pendam sejak kecil akhirnya tersampaikan meski harus berakhir dengan air mata. Entah bagaimana tanggapan mamanya setelah ini, ia tidak peduli.

Tangan Rasya pun merogoh tas dan mengeluarkan buku hitamnya. Ia membuka beberapa lembar hingga sampai di sebuah puisi dari Aksara yang ia abadikan dalam bukunya.

----
Berat dan sunyi
Bagi kita yang penuh duri

Namun, ringan dan ramai
Baginya yang hadir di tepi

Musim hujan
Tak hanya di luar
Pun di dalam

Di bawah atap yang bisu
Kita melalui musim hujan bersama, melalui sakit yang sama pula

Kuharap, kebersamaan itulah yang menguatkan kita melalui musim-musim lainnya

Kau setuju?
----

Air mata Rasya semakin deras ketika membaca puisi itu. Tetesannya membasahi tinta biru dalam lembar buku hitamnya. Dadanya semakin sesak, kepalanya semakin berat.

"Aksara, kapan kita bisa ketemu lagi? Aku ...," lirihnya terbata-bata di sela tangisan, "rindu kamu."

Bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu kamar yang terbuka. Rasya enggan menengok, tetapi berusaha mengontrol tangisannya. Ia bisa menduga siapa yang datang ke kamarnya. Langkah kaki itu mendekat dan berhenti tepat di belakangnya.

"Maafin Mama, sayang," bisik wanita berbaju terusan cokelat yang perlahan memutar tubuh Rasya, lalu memeluknya erat.

Sontak, tangis Rasya kembali pecah. Pelukan hangat ini sudah lama ia nantikan. Pelukan yang benar-benar terasa tulus hingga merasuk dalam jiwa. Tak pernah ia dapatkan pelukan sehangat ini dari mamanya. Ingatannya hanya mampu melayangkan memori pelukan-pelukan dingin sebagai bentuk formalitas saja. Formalitas setiap dirinya berangkat atau sekadar ucapan selamat selewat lalu jika ia memenangkan sesuatu.

"Maafin Mama yang nggak bisa ngerti perasaan kamu."

Kalimat maaf terus terdengar dari lisan mamanya yang jugabergetar menahan tangis. Keduanya hanya bisa saling memeluk dan menangis,menyesali banyak hal, tetapi juga mensyukuri berbagai hal. Salah satunya,kejujuran dan keberanian Rasya yang membuat keduanya, akhirnya, berbagi rasadari hati ke hati. Selayaknya ibu dan anak yang ingin berusaha saling memahamitanpa melarang hadirnya emosi.

***


A

ksara yang galau habis diceramahin kakaknya


A

ndra memandang masa depan Aksara yang bikin greget

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro